https://jatim.times.co.id/
Opini

Santri dan Polemik Trans7

Jumat, 17 Oktober 2025 - 00:09
Santri dan Polemik Trans7 Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

TIMES JATIM, MALANG – Sejak awal peradaban Islam di Nusantara, pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga kawah candradimuka pembentukan akhlak dan karakter bangsa. Di balik temboknya yang sederhana, lahir generasi ulama, pejuang, dan pemimpin moral yang mewarnai perjalanan republik ini. Mereka disebut santri kaum yang menapaki jalan ilmu dengan kesabaran, keikhlasan, dan kesantunan yang menjadi napas hidupnya.

Dalam catatan sejarah, pesantren sudah eksis sejak abad ke-15, seiring peran para wali dalam menyebarkan Islam di Jawa. Lembaga ini tumbuh mandiri, berbasis masyarakat, dan berperan sebagai pusat pendidikan, dakwah, sekaligus pemberdayaan sosial. 

Model pendidikannya khas: kiai sebagai figur pengasuh dan pengajar, santri sebagai murid yang tinggal bersama dalam sistem asrama. Hubungan keduanya bukan hubungan struktural, melainkan hubungan ruhani ikatan antara penuntut ilmu dengan pembawa ilmu.

Pesantren melahirkan generasi yang berperan penting dalam sejarah bangsa. Dari resolusi jihad KH. Hasyim Asy‘ari tahun 1945, hingga perjuangan kemerdekaan di berbagai daerah, santri tidak pernah absen. 

Karena itu pula, 22 Oktober kini diperingati sebagai Hari Santri Nasional penghormatan atas peran moral dan kultural mereka dalam menjaga republik ini. Tetapi di tengah arus informasi yang makin gaduh, penghormatan itu seolah dirusak oleh ketidaktahuan sebagian media dalam memahami nilai luhur pesantren.

Beberapa hari terakhir, publik diguncang oleh tayangan salah satu program Trans7 yang menampilkan narasi merendahkan dunia pesantren. Dalam tayangan itu, santri digambarkan “rela ngesot untuk mencium tangan”, sementara kiai disorot seolah menikmati penghormatan secara berlebihan. 

Narasi yang lahir dari ruang redaksi metropolitan itu mengabaikan konteks kultural pesantren, sehingga yang tampak di layar bukanlah realitas, melainkan distorsi, antara penghormatan yang dipelintir menjadi perbudakan, antara adab yang diterjemahkan sebagai ketundukan.

Padahal dalam dunia pesantren, adab adalah jiwa dari segala ilmu. Sebelum menuntut ilmu, seorang santri dituntut menata adabnya lebih dahulu. Sebab, ilmu tidak akan menetap di hati yang sombong atau berdebu oleh kesia-siaan. 

Inilah ajaran yang bersumber langsung dari Al-Qur’an: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11).

Menghormati guru berarti menghormati perantara ilmu. Dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, bahkan seorang rasul sekalipun memohon izin dengan rendah hati untuk berguru, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66). 

Inilah model etika murid terhadap guru yang diwarisi pesantren selama berabad-abad: tunduk bukan karena takut, tetapi karena sadar bahwa ilmu adalah cahaya yang butuh kerendahan hati untuk diterima.

Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua kami, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kami.” (HR. Ahmad). 

Hadis ini menjadi pondasi pendidikan pesantren. Karena itu, gestur-gestur santri seperti mencium tangan kiai, membungkuk, atau memberi hadiah bukanlah tanda keterbelakangan, melainkan simbol cinta dan penghormatan terhadap ilmu.

 Dalam kitab Ta‘lim al-Muta‘allim, Syekh Az-Zarnuji menegaskan: “Ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan menghormati ilmu, guru, dan sesama pencari ilmu.” Sayangnya, simbol-simbol spiritual seperti ini sering gagal dipahami oleh media modern yang menilai segalanya dari lensa duniawi. Mereka lupa bahwa dalam pesantren, tindakan kecil pun memiliki makna batin yang besar.

Adab santri juga tercermin dalam tradisi Ro’an kerja bakti bersama di lingkungan pesantren. Setiap pekan, santri membersihkan kamar, masjid, dapur, dan halaman tanpa diperintah, tanpa pamrih. 

Bagi mereka, menyapu halaman sama mulianya dengan membaca kitab, selama diniatkan sebagai ibadah. Ro’an menanamkan nilai ikhlas, tanggung jawab, dan kebersamaan. Di situ, adab berwujud nyata, tidak ada senioritas, tidak ada kelas sosial, yang ada hanyalah rasa khidmah terhadap pesantren dan kiai.

Dalam dunia yang makin individualistik, tradisi seperti Ro’an adalah oase moral. Ia menunjukkan bahwa pesantren melatih solidaritas sosial jauh sebelum istilah volunteering populer di pendidikan modern. 

Maka ketika media menggambarkan santri dengan nada inferior, mereka sesungguhnya menistakan nilai luhur gotong royong yang menjadi akar kemandirian bangsa ini.

Relasi santri dan kiai tidak pernah bertumpu pada amplop atau imbalan materi. Santri memberi bukan karena disuruh, tetapi karena cinta. Rasulullah bersabda: “Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari). Memberi bingkisan kepada guru adalah bagian dari tradisi kasih sayang dan rasa syukur, bukan transaksi atau simbol kemiskinan spiritual.

Kesalahan terbesar tayangan Trans7 adalah memaknai penghormatan itu dengan logika ekonomi. Ia lupa bahwa pesantren adalah dunia nilai, bukan pasar. Santri bersimpuh bukan karena tunduk pada manusia, melainkan karena mengharap ridha Ilahi melalui keberkahan ilmu. Itulah spiritualitas yang tidak bisa dibingkai oleh kamera.

Kini, setelah kritik publik meluas, Trans7 memang telah meminta maaf. Namun luka moral yang ditinggalkan tidak bisa sembuh hanya dengan pernyataan maaf. Ia harus ditebus dengan perubahan cara pandang dengan kesediaan media untuk memahami, bukan menilai. Sebab yang dilukai bukan sekadar lembaga, tapi martabat budaya dan peradaban adab yang sudah dijaga berabad-abad.

Pesantren tidak membutuhkan pembelaan agresif. Adab santri sendiri sudah menjadi pembelaan paling kuat terhadap fitnah zaman. Dalam diamnya, mereka sedang mengajarkan bahwa menjaga kehormatan lebih berharga daripada membalas cercaan. 

Bahwa kebersihan hati lebih tinggi nilainya daripada kebisingan opini. Dan bahwa dalam dunia yang mudah menertawakan yang suci, santri tetap berdiri tegak bukan karena marah, tapi karena yakin, adab adalah benteng terakhir peradaban.

***

*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.