TIMES JATIM, MALANG – Presiden Prabowo Subianto, tepat pada momen Peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025 menyetujui pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren di bawah Kementerian Agama. Kabar ini disambut dengan suka cita oleh kalangan pesantren disaat perayaan kemeriahan HSN 2025.
Kebijakan ini menjadikan perubahan serius dalam pengakuan negara terhadap institusi pesantren, dan merupakan implementasi dari Undang-undang pesantren yang mengamanatkan bahwa pesantren sebagai lembaga sosial-keagamaan dan pendidikan yang lahir dari inisiatif masyarakat.
Namun, di balik euforia ini, tersimpan beberapa pertanyaan mendasar: Akankah kehadiran Ditjen Pesantren justru memperkokoh independensi pesantren, atau malah menyeretnya ke dalam labirin birokrasi yang rumit?
Apakah kebijakan ini akan melahirkan gelombang dukungan dan pengakuan yang lebih besar, atau justru memicu serangkaian persoalan administrasi yang merongrong kebebasan pesantren? Ataukah ini hanya untuk meninabobokkan pesantren atas berbagai tuntutan yang beberapa hari ini ramai dimedia masa.
Setelah Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 disahkan, pemerintah seperti sudah dinyatakan dengan jelas kalau pesantren itu bukan sekadar institusi pendidikan biasa, tapi juga tempat untuk menyebarkan ilmu agama dan lembaga sosial masyarakat.
Di dalam undang-undang pesantren juga menyatakan bahwa kalau pemerintah wajib ikut mengembangkan pesantren, memberikan bantuan, dan menjamin pesantren tetap berjalan sebagaimana mestinya tanpa mengubah kurikulum yang sudah ada selama ini.
Sayangnya, dalam kenyataannya, bantuan tersebut seringkali tidak terlalu diperhatikan. Program-program untuk pesantren ada di berbagai tempat di Kemenag, tanpa ada satu bagian yang benar-benar fokus mengurusinya.
Di sinilah pentingnya dibentuk Ditjen Pesantren: ini adalah cara yang tepat untuk menjalankan apa yang telah diamanahkan didalam undang-undang. Struktur baru ini (Ditjen pesantren), akan dapat merencanakan program-program dengan lebih baik, dan merancang anggaran secara sah dari APBN untuk pesantren.
Pengakuan Negara: Peluang dan Akses Program
Secara teoritis, keberadaan Direktorat Jenderal Pesantren seharusnya bisa memperkokoh kedudukan pesantren di mata pemerintah. Dalam tata kelola pemerintahan, instansi semacam Ditjen itu punya peran krusial, mereka berwenang mengusulkan program, mengajukan anggaran, serta mengawasi implementasinya.
Artinya, sekarang pesantren punya peluang emas untuk berpartisipasi aktif dalam alur kebijakan publik yang formal, tidak sekadar menjadi pihak yang menerima kucuran dana secara acak.
Dana yang difokuskan pada peningkatan mutu, bantuan sarana prasarana, pengembangan SDM, dan sokongan ekonomi masyarakat kini jadi lebih mudah didapatkan.
Akan tetapi, kesempatan ini juga mengemban konsekuensi yang tidak ringan. Setiap rupiah yang didapat dari APBN wajib disertai dengan pertanggungjawaban administrasi yang cermat.
Nah, di sinilah masalahnya: tidak semua pesantren sudah terbiasa dengan model pelaporan, berkas keuangan, dan sistem pemantauan program seperti yang distandarkan oleh pemerintah.
Dalam dunia kebijakan publik, semua aturan baru itu seperti pedang bermata dua: bisa memperkuat, tapi juga bisa mengekang. Pemerintah bisa saja membantu pesantren jadi lebih hebat, tapi tanpa disadari malah akan membuat tradisi pesantren jadi kurang lentur dan akan dipaksa berubah secara berlahan.
Kita semua tahu bahwa pesantren itu maju karena semangat kemandiriannya yang tinggi. Aturan dibuat karena ada maksud baik, bukan sekadar agar terlihat formal dan keren saja.
Pengelolaannya pun berjalan lancar karena keberkahan, bukan cuma karena laporan yang numpuk. Nah, kalau sistem birokrasi modern diterapkan terlalu kaku dipesantren, dikhawatirkan nilai-nilai spiritual dan sosial pesantren malah bergeser sama dengan cara kerja administrasi yang serba diatur dalam sebuah birokrasi pemerintahan.
Makanya, aturan-aturan teknis yang nantinya dibuat oleh Direktorat Jenderal itu harus benar-benar pas dengan kondisi pesantren, jangan cuma mereplikasi model aturan sekolah formal yang sudah ada. Pemerintah itu harusnya berperan sebagai fasilitator dan penolong, bukan malah jadi pengontrol.
Otonomi Kurikulum dan Tradisi Ngaji di Pesantren
Keresahan yang kerap muncul yaitu soal intervensi pada kurikulum lama di lingkup pesantren, misalnya sistem sorogan, bandongan, juga studi kitab kuning. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa Undang-Undang Pesantren telah menjamin secara gamblang keleluasaan dalam merancang kurikulum serta model pembelajaran dipesantren.
Peran Direktorat Jenderal bukanlah merombak, melainkan memperkaya. Misalnya lewat penyediaan pelatihan literasi digital, kiat mengelola pesantren, dan cara berwirausaha yang menyertakan para santri. Program seperti ini akan memantapkan eksistensi pesantren di era digital tanpa menghapus warisan yang sudah membentuk kebudayaan Islam di Nusantara selama berabad-abad.
Ada beberapa pandangan dan Analisis dari sisi teori akademis, yang bisa menjelaskan kenapa kebijakan ini bisa jalan dengan baik dan beriringan
Yang pertama, ada yang namanya teori kelembagaan baru (new institutionalism), Intinya, teori ini mengatakan bahwa kalau ada lembaga baru dibentuk, contohnya seperti Ditjen pesantren, itu bisa mengubah cara orang berinteraksi dan juga apa yang jadi motivasi mereka dalam membuat kebijakan. Sekarang ini, pesantren memiliki jalur resmi untuk berdiskusi dengan pemerintah, tapi konsekuensinya mereka juga harus ikut aturan yang baru dibuat.
Kemudian, ada juga teori principal-agent. Kalau di teori ini, pemerintah dianggap sebagai pihak utama yang nunjuk Ditjen yang secara khusus mengurusi tentang kebijakan pesantren.
Masalahnya bisa muncul kalau tujuan pemerintah dengan apa yang dibutuhkan pesantren itu tidak sepenuhnya sama, atau bisa juga karena kemampuan orang-orang yang kerja di lapangan itu kurang mumpuni.
Yang terakhir, ada konsep pluralisme hukum (legal pluralisme). Maksudnya adalah hukum yang dibuat pemerintah dan hukum yang dianut pesantren (tradisi), dan itu harus berjalan berdampingan.
Jadi, sukses atau tidaknya Ditjen pesantren nantinya itu tergantung dari bagaimana mereka bisa menggabungkan dua sistem hukum ini tanpa membuat keduanya bertentangan satu sama lain.
Membangun Strategi untuk Pengembangan Pesantren
Menyikapi dinamika zaman, pesantren perlu berbenah diri dengan langkah-langkah yang strategis, diantaranya adalah, Pertama, Kepastian legalitas dan tata kelola standar. Pesantren sebaiknya memastikan keabsahan badan hukumnya agar dapat terlibat aktif dalam program dari Direktorat Jenderal.
Kedua, Penguatan kapasitas pengelolaan. Membentuk tim inti (SDM khusus) yang menangani khusus administrasi, pelaporan, serta komunikasi. Ketiga, penyusunan rencana jangka menengah. Identifikasi kebutuhan mendesak, sehingga saat ada peluang anggaran, pesantren siap dengan program dan perencanaannya.
Keempat, menggalang kolaborasi. Pesantren bisa membangun jaringan konsorsium atau forum wilayah supaya bisa bertukar pengalaman dan memperkuat daya tawar. Dalam struktur Nahdlatul Ulama ada RMI (Rabithah Ma'ahid Islamiyah) yang harus diperkuat dalam membangun jaringan pesantren.
Kelima, memelihara jiwa independen. Setiap inovasi dan perubahan harus tetap berpijak pada nilai-nilai luhur, adab, dan khazanah keilmuan pesantren.
Kabar Pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren menjadi kabar gembira bagi pesantren pada momen peringatan Hari Santri tahun 2025. Kehadiran Ditjen Pesantren ini nantinya, bukan sekadar struktur baru di kementerian Agama, akan tetapi menjadi bukti keseriusan hadirnya pemerintah dalam pengembangan kepada lembaga pesantren yang telah memiliki peran besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperkokoh nilai-nilai luhur dan moral bangsa.
Akan tetapi perlu diingat dan di fahami oleh lembaga pesantren bahwa dukungan pemerintah ini datang dengan berbagai konsekuensi yang harus diikuti oleh pesantren. Sehingga pesantren harus tetap terjaga untuk terus menjaga tradisi dan kemandirian pesantren.
Kehadiran struktur baru di kementrian agama ini tidak sampai menggerus nilai-nilai luntur pesantren, nilai-nilai tradisi yang sudah lama dilestarikan dan ada di dalam pesantren, dengan terus meningkatkan kapasitas pengelolaan lembaga pesantren yang lebih baik lagi dan adaptif terhadap perubahan regulasi, struktur baru dan perubahan jaman.
Jika kehadiran struktur baru ini dapat berjalan beriringan, maka lahirnya Ditjen Pesantren akan menjadi berkah yang tak ternilai bagi dunia pesantren, dan tidak terjadi sebaliknya, hanya kabar yang menina bobokkan pesantren, dari rumitnya birokrasi yang bebas dari persoalan dan kebutuhan pesantren. Lahirnya struktur baru ini harus menjadi fondasi kokoh yang menaungi langkah panjang pesantren menuju peradaban yang lebih mulia.
***
*) Oleh : Husnul Hakim, SY., MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Wakil sekretaris PCNU Kab Malang, Pemerhati kebijakan dan Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |