TIMES JATIM, BONDOWOSO – Jauh sebelum negara ini berdiri, pesantren sudah ada dan berdiri. Sebelum sekolah megajarkan baca tulis, di pesantren sudah mengajarkan tata krama dan membaca semenjak berabad-abab yang lalu, tak hanya urusan hablum minallah tapi juga mengajarkan hablum minannas
Tak hanya itu, pesantren juga menjadi benteng rakyat dari kebodohan dan penjajahan.
Coba kita bayangkan sejenak bagaimana jika Indonesia tanpa pesantren? Mungkin negeri ini tetap berdiri tegak, namun tanpa jiwa sebab pesantren bukan sekedar lembaga pendidikan semata namun jauh didalamnya membentuk nilai-nilai yang membentuk karakter dan watak bangsa ini, dimana kesederhaan ditempa menjadi keteguhan dan keikhlasan berubah menjadi kekuatan.
Disaat pendidikan kolonial mencetak pegawai untuk jadi penguasa sementara pesantren mencetak manusia merdeka yang tunduk pada Tuhan, tapi tidak pada tirani. Dari langgar kecil berdinding bambu itulah lahir santri-santri yang tidak hanya pandai mengaji tapi juga mampu menanamkan kesadaran akan harga diri dan kemerdekaan.
Tanpa pesantren, siapa yang mampu menenanamkan moral ditengah masyarakat makin materialistis? Siapa yang bisa menjaga etika publik ketika politik sibuk berebut kepentingan kekuasaan?
Disinilah peran pesantren yang mampu mengimbangi tak hanya mampu menjaga antara ilmu dan adab, antara dunia dan akhirat, tapi dari sinilah lahir pejuang sesungguhnya.
Semasa Indonesia baru berdiri seumur jagung, pesantren pernah menjadi bara yang menyulut perlawanan, tepat di bulan Oktober 1945 ancaman itu datang dari pasukan Belanda dan sekutu yang ingin berkuasa kembali.
Seorang ulama dari Jombang Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari berdiri dan menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajahan adalah fardhu ain dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Fatwa inilah yang menjadi penanda bahwa pesantren memiliki andil yang cukup besar akan tegaknya bangsa ini. Resolusi Jihad menjadi kunci yang mampu merubah alur sejarah, seruan jihad inilah yang mengobarkan semangat juang tak hanya para kyai, santri tapi juga masyarakat yang tergabung arek-arek suroboyo.
Mereka bukan sosok prajurit yang dipersenjatai lengkap, mereka hanya memiliki keyakinan dan keberanian hingga 10 Nopember 1945 dikemudian hari dikenang menjadi Hari Pahlawan.
Andai Bung Tomo tidak sowan ke Jombang dan menyampaikan pesan dari Bung Karno pada Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari, bisa jadi perlawanan tidak sedahsyat itu. Atau KH Hasyim Asy'ari tidak mengeluarkan Fatwa Jihad, maka 10 Nopember tidak akan pernah diperingati sebagai hari pahlawan, tentunya masa depan bangsa ini tidak segemerlap hari ini.
Namun perjuangan pesantren tak berhenti disini. Jika dulu musuh pesantren adalah penjajah, kini tantangan yang dihadapi lebih halus, arus budaya, media, narasi publik yang sering salah mengartikan dan memahami pesantren sebagai contoh kasus Trans7 baru-baru ini menjadi cermin dan betapa mudahnya nilai luhur itu disalahpahami.
Sebuah tayangan Xpose Uncencored menggambarkan kehidupan santri dengan nada sinis dan merendahkan. Framing seolah-olah pesantren hanya tempat kolot yang dikendalikan kyai kaya raya, sementara umatnya miskin.
Tentu framing tak berdasar ini kemudian viral dan memicu gelombang protes dan kemarahan publik datang bukan karena pesantren anti kritik tapi karena disalahpahami.
Tidak hanya menghina secara kelembagaan tapi juga menyinggung martabat para ulama, dimana tradisi menghormati guru, ketaatan dalam adab ditampilkan keliru oleh Trans7.
Meski pihak Trans7 sudah meminta maaf, tapi luka batin sudah tergores dan banyak pihak menilai ini bukan soal salah tayang semata, tapi ini tanda banwa kita sudah mulai kehilangan rasa sensitivitas terhadap akar budaya bangsa kita sendiri.
Hal ini juga menjadi catatan bahwa perjuangan pesantren belum usai, jika dahulu melawan penjajahan secara fisik kini melawan penjajahan persepsi, narasi-narasi yang mencoba menggerus nilai luhur, dimana seharusnya media menjadi jendela pengetahuan malah menampilkan kehidupan pesantren secara keliru, hal ini menandkan bahwa negara ini sedang mengalami krisis adab.
Pesantren tidak anti perubahan, tidak anti terhadap kritik tapi mereka mengingatkan bahwa modernitas tanpa adab akan melahirkan kekacauan, terlebih kemajuan tanpa moral hanya akan membawa kehancuran.
Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari pernah menulis dalam kitab Adabul ‘Alim wa al-Muta’allim bahwa Ilmu tanpa adab ibarat api tanpa cahaya, beliau juga menekankan bahwa orang yang berilmu tanpa adab bisa menjadi sombong, cenderung meremehkan orang lain bahkan tak hanya merugikan dirinya sendiri juga orang lain.
Kasus Trans7 menandakan dan menjadi simbol penjajahan narasi, jika dulu penjajah memutar balikkan sejarah untuk menguasai rakyat, kini media memutarbalikkan makna untuk mengejar sensasi. Bedanya, kali ini yang dijajah bukanlah wilayah, melainkan nilai.
Harus kita akui bahwa kita hidup di zaman yang serba cepat, dimana kata-kata bisa viral lebih cepat dari niat. Media mengejar rating sementara warganet bereaksi tanpa berpikir serta batas antara kritik dan penghinaan kian tipis.
Bahwa kemajuan teknologi tak boleh meniadakan rasa hormat dan krtitik terhadap tradisi harus dibangun di atas pemahaman yang utuh, bukan prasangka.
Santri masa kini tidak hanya menghafal kitab kuning, tapi juga melek teknologi, komunikasi, dan bisnis.
Mereka juga bagian dari dunia digital yang tetap membawa ruh spiritualitas. Mereka juga pandai menulis, membuat konten dan mampu beradaptasi namun tetap menjaga adab, keikhlasan dan kesantunan.
Pesantren adalah denyut nadi moral Indonesia, dari sanalah pertama kali diajarkan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman. Kasus Trans7 menjadi pengingat bahwa menjaga martabat pesantren tak kalah penting dari perjuangan di medan perang. Ketika nilai-nilai sudah direndahkan sedemikian rupa, yang terancam bukan hanya pesantren, tapi juga peradaban bangsa Indonesia.
Percayalah, selama pesantren tetap ada, selama santri masih mengaji, berdo’a dan berjuang dengan rendah hati, negara tercinta Indonesia akan selalu punya harapan. Sebab dari pesantrenlah, cahaya kemendekaan pertama kali menyala dan hingga hari ini belum pernah padam. Selamat Hari Santri Nasional.
***
*) Oleh : Moch. Efril Kasiono, Pendamping Desa Kab. Bondowoso.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |