TIMES JATIM, YOGYAKARTA – Korupsi menjadi sebuah kata yang sangat familiar dan identik dengan pejabat di Indonesia. Sebagian masyarat bahkan merasa korupsi adalah bagian dari budaya birokrasi di Indonesia. Tidak heran lagu “bayar, bayar, bayar” yang didendangkan grup band Sukatani menjadi populer karena dianggap mendeskripsikan realitas birokrasi di Indonesia.
Data menunjukkan kasus korupsi yang ditangani Polri tahun 2024 sebanyak 1.280 kasus dengan angka kerugian negara Rp.4,8 triliun. Bahkan KPK saat ini sedang sibuk memperkarai kasus yang melibatkan kerugian super jumbo senilai Rp. 300 triliun rupiah yang melibatkan suami artis papan atas Indonesia dari kasus PT. Timah tbk.
Seakan publik dalam fenomena ini tidak diberikan waktu bersantai. Kejaksaan Agung membongkar kasus korupsi dari anak perusahaan Pertamina dengan angka kerugian hampir Rp200 triliun, angka yang sangat fantastis.
Publik bertanya-tanya mengapa korupsi mengakar erat di Indonesia, padahal tidak sedikit koruptor yang sudah ditangkap dan dihukum. Ada beberapa teori yang menjelaskan mengapa korupsi bisa tumbuh subur dan seolah-olah sulit untuk hilang.
Pertama, Teori Patron dan Klien yang menjelaskan bahwa budaya di negara berkembang cenderung membentuk hubungan antara pihak pelindung (patron) dan pihak yang dilindungi (klien). Hubungan tersebut terbentuk karena adanya timbal balik antara keduanya.
Pihak patron akan memberikan perlindungan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada klien. Sebagai imbal balik, klien memberikan kesetiaannya kepada patron melalui pelayanan dan pemberian-pemberian baik jasa maupun barang.
Dalam konteks korupsi, hubungan ini terbentuk antara pemerintah dan pengusaha. Pemerintah sebagai patron akan memberikan perlindungan berupa kelonggaran aturan, fasilitasi khusus bahkan perlindungan hukum.
Sementara, pengusaha sebagai klien akan memberikan imbalan berupa uang, barang atau fasilitas layanan sebagai tanda kesetiaan kepada patron. Budaya patron klien ini kemudian tumbuh subur di tengah budaya timur Indonesia yang mengedepankan sikap balas budi dan hormat kepada yang tua, sedangkan yang tua akan mengayomi yang muda.
Teori kedua yang dikemukakan Douglas North menjelaskan praktik korupsi dapat menjamur karena institusi negara yang lemah. Hal ini kemudian terbukti dengan pihak penegak hukum yang terdiri atas kepolisian, kejaksaan maupun lembaga peradilan tidak bebas sepenuhnya dari oknum-oknum koruptor.
Kasus Sambo yang mencoreng kepolisian, kasus korupsi di Mahkamah Agung pada tahun 2022 yang menjerat Elly Tri Pangestu yang saat itu menjabat sebagai Hakim Agung menambah catatan betapa institusi yang seharusnya menegakkan hukum malah ikut tercebur dalam lingkaran setan korupsi.
Publik pun rasanya sudah skeptis terhadap supremasi hukum di Indonesia karena terpidana korupsi hanya divonis ringan. Sepanjang tahun 2023, tercatat dari 1.649 kasus Sebagian besar pelaku divonis di bawah 4 tahun dan hakim hanya mengembalikan kerugian negara sebanyak Rp 149 miliar saja padahal kerugian yang ditimbulkan sebesar Rp 56 triliun lebih.
Salah satu contohnya adalah pada vonis pertama kasus PT. Timah, hakim menyebutkan perilaku sopan menjadi salah satu pertimbangan vonis ringan para terdakwa. Perilaku sopan sangat tidak relevan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh para koruptor yang dengan sengaja memperkaya diri maupun kelompok tertentu.
Teori Rational Choice yang oleh Gary Becker menjelaskan korupsi dilakukan karena pelaku menganggap korupsi memiliki manfaat lebih besar jika dibandingkan dengan risiko yang didapatkan jika tertangkap.
Masih relevan dengan fenomena vonis ringan kasus korupsi, mereka yang berniat untuk korupsi menilai keuntungan korupsi masih jauh lebih menggiurkan karena dengan nilai milyaran mereka hanya dihukum beberapa tahun saja dan itupun belum termasuk potongan hukuman karena kelakuan baik dan remisi dari beberapa momentum hari raya.
Dibanding gaji yang mereka dapatkan sekarang, ketika mereka selesai menjalankan masa hukuman mereka masih memiliki banyak uang dan koneksi. Uang sisa korupsi masih bisa menopang gaya hidup mereka yang hedon tanpa harus kerja lagi dalam waktu yang lama.
Maka masuk akal jika praktik korupsi ini mampu terpelihara dengan baik karena dengan hanya mengorbankan waktu beberapa tahun mereka bisa menikmati hidup kelas atas lebih lama.
Korupsi telah menjelma menjadi penyakit kronis yang sulit hilang karena telah mengakar secara struktural dan terbukti strategi yang dijalankan oleh pemerintah bukan malah terbukti memberantas korupsi tetapi melahirkan kasus-kasus korupsi baru yang mencengangkan.
Butuh strategi baru dan lebih kuat agar korupsi dapat diminimalisir. Salah satunya adalah dengan menerapkan hukuman pemiskinan kepada pelaku korupsi.
Hal ini didasarkan oleh mereka yang korupsi tidak takut dosa atau takut penjara. Mereka melakukan korupsi karena takut miskin. Oleh karena itu pemiskinan adalah Langkah paling strategis untuk membuat jera sekaligus peringatan tegas untuk mereka yang berniat korupsi.
Hukuman penjara bukan hanya tidak efektif bahkan menambah beban negara karena semakin banyak narapidana maka semakin besar beban negara untuk membiayai kehidupan mereka di penjara.
Pemiskinan ini adil karena dampak korupsi tidak hanya dirasakan segelintir orang. Korupsi merampas hak pendidikan dan kesejahteraan jutaan rakyat Indonesia yang seharusnya ikut merasakan kekayaan Indonesia.
Banyak masyarakat tidak hidup dengan layak karena dana kesejahteraan dikorupsi, dana pembangunan infrastruktur digunakan tanpa pertanggungjawaban seperti yang seharusnya.
Sumber daya alam yang seharusnya bisa dirasakan oleh masyarakat akan tetapi karena korupsi, hanya bisa dirasakan segelintir orang saja. Mereka yang kaya bertambah kaya, sedangkan si miskin hanya bisa mengais remah-remah saja.
***
*) Oleh : Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
_______
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |