https://jatim.times.co.id/
Opini

Evolusi Asesmen Pendidikan Indonesia

Jumat, 10 Oktober 2025 - 15:21
Evolusi Asesmen Pendidikan Indonesia Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.

TIMES JATIM, BOJONEGORO – Pendidikan Indonesia punya satu kebiasaan khas: gemar mengganti sistem ujian. Setiap kali kurikulum berubah, yang pertama kali disorot bukan substansi belajar, melainkan cara mengukur kemampuan siswa. 

Dulu ada EBTANAS, lalu berubah menjadi UN, bergeser ke USBN, dan kini muncul istilah baru yang terdengar modern—Tes Kemampuan Akademik (TKA). Nama boleh berubah, tapi yang menjadi pertanyaan tetap sama: apakah cara kita menilai benar-benar membantu siswa belajar menjadi manusia berpikir?

Pada era 1990-an hingga awal 2000-an, generasi pelajar hidup di bawah bayang-bayang ujian nasional. EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) adalah penentu hidup dan mati akademik. 

Nilai tinggi berarti masa depan cerah; nilai rendah seolah vonis gagal. Ujian kemudian berevolusi menjadi UN, yang diharapkan menjadi standar pendidikan nasional. 

Namun, di lapangan, UN sering berubah menjadi ritual tekanan massal drill soal tanpa henti, les tambahan, dan doa bersama menjelang ujian. Esensi belajar tenggelam dalam lautan angka.

Pertanyaan besar pun muncul: apakah angka bisa mewakili kemampuan berpikir dan karakter seseorang? Apakah skor 100 di kertas ujian berarti anak itu siap menghadapi realitas yang penuh kompleksitas?

Tahun 2021 menjadi titik balik penting. Pemerintah memperkenalkan Asesmen Nasional (AN) yang menggantikan UN. Fokusnya bukan lagi individu, tapi mutu satuan pendidikan. 

Melalui tiga instrumen Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar pendidikan Indonesia mencoba berpindah arah: dari hasil ke proses, dari hafalan ke nalar.

AKM menilai kemampuan literasi dan numerasi siswa, bukan kemampuan mengingat. Paradigma ini mengubah orientasi: bukan lagi “berapa banyak kamu hafal,” melainkan “sejauh mana kamu bisa berpikir logis dan memahami konsep.” 

Perubahan ini juga menimbulkan kebingungan. Banyak guru belum terbiasa dengan pendekatan berbasis nalar, dan siswa pun merasa “soalnya terlalu sulit.” Tapi di situlah tantangan pendidikan sejati dimulai belajar untuk berpikir, bukan sekadar menjawab benar.

Setelah UN dihapus, sistem seleksi masuk perguruan tinggi ikut beradaptasi. Kini hadir SNBP (berbasis prestasi) dan SNBT (berbasis tes) dengan instrumen TKA, Tes Kemampuan Akademik. Berbeda dari ujian masuk zaman dulu yang mengandalkan hafalan, TKA berfokus pada kemampuan analitis dan penalaran.

TKA menilai sejauh mana calon mahasiswa memahami, menganalisis, dan menerapkan konsep sesuai bidang studinya. Misalnya, peserta saintek diuji bukan sekadar hafal rumus, tapi bisa menalar logika di balik rumus itu. 

Pendekatan ini sejalan dengan sistem seperti Scholastic Aptitude Test (SAT) di Amerika yang menilai kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills). Dengan demikian, TKA menjadi jembatan antara pengetahuan dan kemampuan berpikir, bukan sekadar tolok ukur hafalan.

Perjalanan dari EBTANAS hingga TKA menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia tengah mencari bentuk terbaik untuk menilai kemampuan manusia. Kita sedang beranjak dari paradigma angka menuju paradigma makna. Sebab, pendidikan bukan lomba menghafal cepat, melainkan proses memahami kehidupan.

Ujian seharusnya menjadi cermin, bukan vonis. Seperti yang diungkapkan Black dan Wiliam dalam Assessment for Learning (1998), asesmen yang baik bukan sekadar mengukur hasil belajar, tapi membantu siswa belajar lebih baik. Prinsip inilah yang kini perlahan dihidupkan dalam semangat Merdeka Belajar.

Perubahan sistem tidak akan berarti tanpa perubahan budaya. Orang tua masih sering bertanya, “Nilaimu berapa?” bukan “Apa yang kamu pelajari hari ini?” Sekolah masih memberi penghargaan pada peringkat, bukan pada proses berpikir kritis. Guru sering terjebak menjadi pengawas, bukan fasilitator yang memantik rasa ingin tahu.

Padahal, dalam masyarakat yang terus berubah, kemampuan berpikir kritis, berkolaborasi, dan beradaptasi jauh lebih penting daripada sekadar angka. Pendidikan yang memerdekakan seharusnya menumbuhkan keberanian untuk gagal, refleksi diri, dan semangat belajar tanpa henti.

Jika kita melihat kembali perjalanan panjang asesmen nasional, dari EBTANAS hingga TKA, tampak bahwa bangsa ini sedang belajar menilai dengan lebih manusiawi. TKA hanyalah satu bab dari kisah panjang reformasi pendidikan, tapi ia menandai pergeseran penting: ujian tak lagi menjadi momok, melainkan jembatan menuju transformasi belajar.

Ujian seharusnya membuat siswa tersenyum setelahnya, bukan menangis karena tekanan. Ia harus menjadi ruang refleksi bukan karena kita sudah sempurna, tapi karena kita sadar sedang tumbuh. 

Pendidikan yang sejati bukan tentang seberapa tinggi nilai di kertas ujian, melainkan seberapa dalam manusia belajar mengenali dirinya dan dunia yang terus berubah.

***

*) Oleh : Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.