TIMES JATIM, BOJONEGORO – Hari libur bagi siswa kerap dipahami sebagai ruang jeda dari rutinitas belajar. Ia dianggap perlu untuk memulihkan energi, menjaga kesehatan mental, sekaligus memberi ruang interaksi sosial di luar sekolah.
Namun, di tengah dinamika pendidikan yang belum sepenuhnya stabil pascapandemi dan derasnya distraksi digital, hari libur juga menyimpan persoalan serius: terputusnya ritme belajar dan melemahnya konsistensi pembentukan karakter akademik siswa.
Dalam beberapa tahun terakhir, kalender pendidikan terasa semakin longgar. Libur nasional, libur keagamaan, libur sekolah, hingga libur tambahan akibat agenda institusional kerap berderet tanpa jeda adaptasi.
Bagi sebagian siswa, kondisi ini memang terasa menyenangkan. Namun bagi dunia pendidikan, situasi tersebut memunculkan tantangan baru dalam menjaga stabilitas proses belajar yang berkelanjutan.
Masalah utama bukan terletak pada liburnya, melainkan pada absennya desain pembelajaran yang adaptif terhadap masa libur. Hari libur sering kali diposisikan sebagai ruang kosong tanpa makna pedagogis.
Akibatnya, siswa mengalami apa yang disebut learning loss ringan penurunan fokus, menurunnya kebiasaan belajar, dan sulit kembali ke ritme akademik saat sekolah aktif kembali. Ini bukan sekadar asumsi, tetapi realitas yang dirasakan banyak guru di ruang kelas.
Situasi ini semakin kompleks ketika dunia digital mengambil alih sebagian besar waktu libur siswa. Gawai, media sosial, dan platform hiburan menjadi konsumsi utama. Tanpa pendampingan dan literasi yang memadai, hari libur justru berubah menjadi fase akumulasi distraksi. Siswa kembali ke sekolah dengan kondisi mental yang tidak siap belajar: lelah, kurang fokus, dan kehilangan disiplin waktu.
Di sisi lain, harus diakui bahwa siswa juga manusia yang membutuhkan istirahat. Pendidikan yang memaksa tanpa jeda justru berpotensi melahirkan kejenuhan dan tekanan psikologis. Karena itu, wacana menjaga stabilitas belajar tidak boleh dimaknai sebagai mengurangi hari libur, melainkan mengelola hari libur secara lebih cerdas dan berorientasi pada keberlanjutan proses belajar.
Stabilitas belajar sejatinya bukan soal kuantitas jam pelajaran, melainkan konsistensi kebiasaan belajar. Di sinilah peran sekolah dan guru menjadi krusial. Hari libur seharusnya tidak memutus hubungan siswa dengan proses belajar, tetapi mengubah bentuknya. Pembelajaran tidak harus selalu hadir dalam format kelas formal, tugas menumpuk, atau target akademik yang kaku.
Sekolah dapat merancang pola light learning selama libur, yakni aktivitas belajar ringan yang bersifat reflektif dan kontekstual. Misalnya, tugas membaca bebas, jurnal refleksi harian, pengamatan lingkungan sekitar, atau proyek sederhana berbasis keluarga. Pendekatan ini menjaga otot belajar siswa tetap aktif tanpa membebani psikologis mereka.
Peran orang tua juga tak bisa diabaikan. Selama ini, hari libur sering sepenuhnya diserahkan pada anak tanpa pendampingan. Padahal, keluarga adalah ekosistem belajar pertama dan utama. Orang tua perlu didorong untuk tidak sekadar menjadi pengawas, tetapi mitra pendidikan. Membiasakan waktu membaca bersama, diskusi ringan, atau aktivitas kreatif dapat menjadi bentuk pendidikan informal yang efektif.
Di tingkat kebijakan, perlu ada keberanian untuk mengevaluasi kalender pendidikan secara lebih rasional. Bukan soal memangkas hari libur, tetapi menata ulang distribusinya agar tidak terlalu terfragmentasi. Kalender yang terlalu banyak jeda pendek justru mengganggu ritme belajar dibanding libur yang terencana dengan baik dan memiliki masa adaptasi sebelum dan sesudahnya.
Yang tak kalah penting, sekolah perlu membangun budaya transisi belajar. Hari pertama masuk setelah libur seharusnya tidak langsung dipenuhi target akademik. Fase reorientasi baik melalui penguatan motivasi, refleksi, maupun pemetaan ulang kesiapan siswa menjadi kunci agar proses belajar kembali stabil.
Hari libur bukan musuh pendidikan. Ia adalah keniscayaan dalam proses tumbuh kembang siswa. Namun, tanpa desain pedagogis yang matang, hari libur dapat menjadi celah melemahnya kualitas belajar. Tantangannya bukan memilih antara libur atau belajar, melainkan menemukan keseimbangan yang manusiawi sekaligus mendidik.
Pendidikan yang sehat adalah pendidikan yang mampu menjaga ritme, bukan memaksakan kecepatan. Hari libur yang dikelola dengan bijak justru dapat menjadi bagian dari strategi pembelajaran jangka panjang membentuk siswa yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga stabil secara mental, disiplin secara mandiri, dan siap belajar kapan pun dalam situasi apa pun.
***
*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo, Bojonegoro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |