TIMES JATIM, BANYUWANGI – Setiap kali memperingati Hari Buruh Internasional, jalanan ramai oleh suara peluit petugas keamanan, teriakan akan tuntutan dari massa demonstran, spanduk-spanduk panjang yang membawa sederet catatan aspirasi kaum buruh, dan pagar betis yang tampak kokoh dan siaga bersiap menghadapi situasi yang mungkin terjadi di luar kendali.
Catatan aspirasi itu biasanya berupa tuntutan upah layak, penghapusan sistem kerja kontrak, penghapusan pajak, dan jaminan pengamanan dan perlindungan sosial. Namun, di balik gegap gempita itu, ada satu ruang sunyi yang kerap luput kita ziarahi yaitu akar kultural dari gerakan buruh itu sendiri. Ketika para buruh itu adalah petani. Mereka yang telah menjual tanah warisan leluhurnya, dan kini bekerja di tanah yang bukan lagi milik nya.
Di desa, fenomena semacam ini kerap terjadi. Banyak petani yang notabene bagian dari masyarakat adat, yang dulu mengelola tanah milik mereka sendiri, kini justru menjadi buruh di tanah milik orang lain. Ironis, karena tanah yang dulu dianggap sakral dan dianggap sebagai pusaka kini diperlakukan seperti hal nya barang dagangan pada umumnya.
Perubahan ini tidak hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang bersifat sementara, tetapi juga menggoyahkan sistem nilai dan kearifan lokal yang selama ini menjadi fondasi hidup masyarakat adat.
Dalam kebudayaan masyarakat Osing, tanah bukan sekadar lahan produksi. Ia adalah bagian dari sistem keyakinan. Lewat ritual seperti barong ider bumi dan sedekah bumi, masyarakat memuliakan tanah sebagai bagian dari sumber kehidupan sekaligus tempat manusia berpulang.
Ketika tanah dijual kepada orang lain dan berasal dari luar wilayah, yang hilang bukan hanya hak miliknya tetapi juga ikatan spiritual dan sejarah antar generasi yang telah lama dibangun oleh para pendahulu. Yang hilang adalah doa yang tak lagi menemukan ladangnya.
Perubahan status petani yang menggarap lahannya sendiri menjadi buruh ini adalah bentuk nyata dari alienasi. Ia tak banyak dibicarakan dalam wacana gerakan buruh dimanapun. Dulu, petani berdaulat atas waktunya, musim tanam, tanahnya, dan hasil panennya. Kini, petani bergantung pada sistem kerja harian dan upah minimum. Ia kehilangan hak nya untuk memutuskan nasibnya sendiri.
Yang lebih mengkhawatirkan, pergeseran ini diterima begitu saja, seolah wajar-wajar saja, seolah tidak berdampak apa-apa. Padahal, di sinilah luka besar kebudayaan itu terjadi. Luka itu pun dibiarkan menganga, disembunyikan di balik pembangunan infrastruktur dan pariwisata.
Gerakan atau aktivisme buruh di Banyuwangi belum cukup kuat menjawab persoalan semacam ini. Gerakan yang ada masih didominasi oleh pendekatan ekonomi formal, yaitu memperjuangkan hak buruh tanpa menautkannya dengan dimensi sejarah dan budaya lokal.
Akibatnya, solidaritas yang dibangun pun rapuh, mudah terpecah oleh iming-iming janji kesejahteraan. Penting disadari, bahwa warisan kultural masyarakat Osing menyimpan kekuatan moral yang bisa menopang gerakan sosial.
Nilai-nilai lokal seperti swadaya, guyub, gontong royong, dan ritual atas tanah yang mendiami kawasan wilayah adat bisa menjadi kekuatan moral dan spiritual dalam gerakan sosial masyarakat. Bayangkan jika gerakan buruh juga mengaktivasi kesadaran budaya masyarakat setempat.
Maka, ritual sedekah bumi tidak hanya menjadi sebuah upacara adat melainkan sebagai pesan atau pengingat terhadap upaya eksploitasi tanah, atau gerakan buruh dilakukan dengan menghidupkan kembali forum adat sebagai ruang musyawarah pekerja. Gerakan seperti ini akan efektif, ia menyentuh dimensi terdalam dari jiwa masyarakat itu sendiri.
Banyuwangi bisa menjadi pelopor gerakan buruh berbasis budaya lokal. Selain sebagai strategi politik, hal ini sebagai strategi kultural. Kita butuh narasi baru, bahwa perjuangan kelas juga tentang identitas budaya, spiritualitas, dan hubungan manusia dengan alam dan Tuhan nya.
Gerakan buruh yang berakar pada budaya lokal akan sulit dipatahkan, karena ia tumbuh dari tanah yang sama sengan masyarakatnya. Gerakan buruh harus menemukan kembali akarnya budaya nya, dan sekaligus masa depannya.
***
*) Oleh : Hari Purnomo, M.E., Dosen di Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi. Aktif Menulis Isu-isu Sosial, Ekonomi, Politik, dan Budaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |