https://jatim.times.co.id/
Opini

Luka Lama Keadilan yang Tak Kunjung Sembuh

Jumat, 07 November 2025 - 18:42
Luka Lama Keadilan yang Tak Kunjung Sembuh Thoriqul choir, Praktisi Hukum.

TIMES JATIM, MALANG – Dalam ruang pengadilan, seharusnya keadilan berbicara melalui fakta dan hukum. Namun, di banyak kasus, yang terdengar justru bisikan kekuasaan dan kepentingan. Sidang-sidang yang mestinya menjadi panggung pembuktian kebenaran, sering berubah menjadi arena transaksi terselubung. Di balik toga hitam dan meja hijau, ada permainan halus yang sulit terbaca, namun terasa dampaknya: keadilan yang kian mahal dan menjauh dari rakyat biasa.

Fenomena “sindikat nakal” dalam praktik hukum bukanlah cerita baru. Dari advokat hingga jaksa, dari saksi palsu hingga oknum aparat, sebagian orang memperlakukan hukum bukan sebagai panglima, tapi sebagai komoditas. 

Ada yang menjual pengaruh, ada yang menyewa kebenaran. Di sinilah ironi itu hidup hukum yang seharusnya menegakkan keadilan malah menjadi alat melindungi kepentingan.

Banyak masyarakat yang kehilangan kepercayaan terhadap proses peradilan bukan karena kalah di meja hijau, tapi karena merasa tidak pernah benar-benar didengarkan. Ketika saksi bisa “diatur”, bukti bisa “disusun”, dan jadwal sidang bisa “dipermainkan”, maka peradilan bukan lagi mencari kebenaran, melainkan mengatur kemenangan.

Kita sering mendengar istilah “mafia peradilan”, namun di balik istilah itu ada wajah konkret: advokat yang menjual akses, jaksa yang bernegosiasi di luar ruang sidang, hingga saksi yang bisa dibayar untuk lupa. 

Semua ini membentuk lingkaran gelap yang sulit ditembus. Lebih parahnya, praktik semacam ini kerap dibungkus dengan bahasa hukum yang rapi dan prosedural, seolah semuanya sah secara administratif.

Padahal, keadilan sejati tidak pernah lahir dari prosedur semata, tetapi dari integritas. Tanpa itu, semua berkas dan pasal hanyalah formalitas kosong.

Sering kali publik disuguhi drama hukum: saksi kunci yang mendadak sakit, bukti yang “belum lengkap”, atau jadwal sidang yang terus tertunda. Semua tampak administratif, tapi di baliknya bisa jadi ada strategi yang disusun untuk melelahkan pihak lawan, mengaburkan fakta, atau menekan opini publik.

Dalam banyak kasus, taktik semacam ini dilakukan oleh sindikat kecil-perpaduan antara kepentingan ekonomi, politik, dan kekuasaan. Mereka bekerja senyap, menggunakan celah hukum sebagai senjata. 

Dari menunda persidangan hingga memainkan media, semua dilakukan untuk menciptakan persepsi: bahwa kebenaran bisa menunggu. Keadilan yang tertunda sering kali sama artinya dengan keadilan yang gagal.

Ketika Pengadilan Kehilangan Moral

Sistem hukum kita masih bergulat antara moral dan formal. Banyak hakim, jaksa, dan advokat yang jujur, tapi mereka sering terjebak dalam sistem yang sudah lama dipenuhi kompromi. Di sinilah muncul dilema etik: ketika kebenaran berbenturan dengan tekanan, ketika integritas diuji oleh kepentingan.

Fenomena ini bukan hanya mencederai hukum, tapi juga merusak pendidikan moral bangsa. Masyarakat belajar bahwa hukum bisa dibeli, bahwa perkara bisa diatur, dan bahwa kebenaran bisa dinegosiasikan. 

Akibatnya, muncul ketidakpercayaan publik yang akut. Orang tidak lagi mencari keadilan di pengadilan, tapi di media sosial tempat opini lebih cepat dari putusan. Inilah bahaya paling nyata: ketika hukum kehilangan wibawa, maka masyarakat akan mencari jalannya sendiri.

Kita tidak bisa terus membiarkan sistem hukum dikuasai oleh sindikat nakal. Negara harus berani membersihkan ruang peradilan dari permainan bayangan. Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung harus memperkuat mekanisme pengawasan yang terbuka dan partisipatif. Tidak cukup dengan audit internal, perlu ruang pelibatan publik agar kontrol sosial terhadap peradilan bisa berjalan efektif.

Transparansi adalah obat utama bagi sindikat hukum. Setiap persidangan harus terdokumentasi dengan baik, setiap putusan harus bisa diakses publik, dan setiap pelanggaran etik harus segera direspons. Tanpa itu, kita hanya mengulang luka lama dengan wajah baru.

Namun peran publik juga tak kalah penting. Media, lembaga bantuan hukum, dan masyarakat sipil harus menjadi suara yang terus menuntut transparansi. Jangan biarkan ruang sidang menjadi teater bisu yang hanya bisa disaksikan tanpa dikritisi. Dalam demokrasi, keadilan bukan milik penguasa, tapi milik rakyat.

Hukum adalah pilar terakhir peradaban. Ketika ia retak oleh praktik kotor, maka seluruh bangunan bangsa ikut goyah. Sindikat hukum hanya bisa tumbuh di ruang yang gelap, di mana pengawasan lemah dan keberanian diam. Maka tugas kita hari ini bukan sekadar menuntut penegakan hukum, tapi juga menegakkan moralitas di baliknya.

Keadilan tidak lahir dari gedung megah pengadilan, tapi dari nurani manusia yang jujur. Selama hukum masih bisa diperjualbelikan, selama saksi bisa diatur, dan selama keputusan lebih ditentukan oleh kedekatan daripada kebenaran maka bangsa ini masih jauh dari cita-cita hukum yang adil.


Kita perlu keberanian baru: keberanian untuk melawan sistem yang busuk, keberanian untuk menolak kompromi, dan keberanian untuk berkata jujur di ruang yang penuh kepentingan.

***

*) Oleh : Thoriqul choir, Praktisi Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.