TIMES JATIM, MALANG – Sudah banyak yang membahas sejarah pondok pesantren dan kontribusinya terhadap NKRI, mulai pengusiran penjajah Jepang, Belanda, hingga mengusir inggris dari bumi Nusantara. Juga, pesantren benar-benar menunjukkan jihadnya membela NKRI, khususnya saat dengan melawan gerakan DII dan TII, bahkan Gerakan PKI. Kiai dan ulama menjadi sasaran utama, karena paling getol di dalam menjaga NKRI.
Tokoh-tokoh ulama dan Kiai cukup banyak dan kental dengan dunia pesantren, seperti; Syekh Muhammad Hasyim Asaary, KH Ahmad Dahlan, Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Masjkur-Malang, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Dhofir Ibn Abdi Salam.
Mereka berjuang sejak menjadi santri di Masjidilharam, sampai kembali ke tanah Air, tetap berjuang. Salah satu dari guru para Kiai Nusantara adalah “Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi Al-Syafii”.
Kyai Hasyim Asaary, salah satu santri dari “Syekh Nawawi Al-Bantani”, pernah bersumpah di depan Baitullah bahwa dirinya akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk melawan penjajah. Dan beliua wujudkan itu. Menariknya, Mbah Hasyim Asaary tidak pernah meminta imbalan apa-pun dari negara.
Kesaksian Scnouk Terhadap Kekuatan Pesantren
Snock Horgroyi Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda, yang pernah bermukim di Makkah beberapa bulan. Sempat mengubah namanya menjadi Abdul Ghafur di bawah bimbingan Sayyid Zawawi. Saat bermukim di Makkah dia mengenal semua tokoh-tokoh agamawan dari Nusantara dari Sunda, Madura Jawa, Bugis, Kudus, Mandailing, Banten. Bahkan, saat bertemu dengan “Syekh Muhammad Nawawi, dia heran dengan murid-muridnya yang begitu banyak.
Kesederhanaan Syekh Nawawi, dengan busana yang apa adanya, namun memiliki kekuatan luar biasa di dalam mengerakkan murid-muridnya di dalam melawan penjajah Belanda. Syekh Abd Sattar Al-Hindi sebagai murid Mbah Nawawi menegaskan bahwa murid dari Syekh Nawawi mencapai 300-an dari berbagai belahan negara.
Karena sangat heran terhadap kekuatan pesantren, sampai-sampai Snouck Christian Snouck Hurgronje, menikahi putri Kiai dari Sunda, sampai memiliki 4 anak. Ketika istri pertama meninggal, Snok Christian menikahi salah satu putri Kyai di Sunda. Dari situlah, Snouk mengetahui banyak literatur Kiai, dan juga kekuatan Kiai di dalam mempertahankan tanah airnya.
Terlepas dari perbedaan pendapat seputar motif menikahi Dara sunda, yang jelas Snouck Christian benar-benar memiliki kemampuan yang hebat di dalam mendalami, menyelidiki, menganalisis kekuatan Indonesia. Sampai akhirnya, kesimpulannya adalah “kekuatan Pesantren yang sangat tergantung pada Kiainya, yang mengajarkan mencintai negerinya.
Belanda itu paling benci dengan pondok pesantren, karena semua Kyai rata-rata mengajarkan memuliakan ulama, ilmu. Siapa yang memuliakan ulama dan ilmu berarti memuliakan Rasulullah SAW. Banyak sekali usaha Belanda menjauhkan para santri dari peradaban Islam, seperti; berusaha menghilangkan “Arab Pegon” yang selama bertahun-tahun menjadi cara Kiai mengenalkan syariat Nabi Muhammad SAW.
Sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pesantren sudah ada dan eksis, seperti; Lirboyo, Langitan, Sidogiri, Lasem, Gading Malang, Al-Khozini, Gengong. Ini adalah pilar negeri Indonesia.
Pesantren di atas murni Ahlussunah wal jamaah, sebagai ciri khasnya adalah “mencintai semua keluarga Nabi Muhammad, para sahabat. Walaupun mereka orang Nusantara, namun kecintaan terhadap agama, bahasa Arab dan Rasulullah SAW sangat tinggi.
Sampai-sampai saat tarawih di bulan suci Ramadhan, semua nama Khulafaur Rasyidin di sebut-sebut setiap dua rakaat sekali. Ini menjadi bukti bahwa Pesantren NU-Santara Aswaja “Ahlusunah Waljamaah” yang memuliakan sahabat Rasulullah SAW, sekaligus menjadi perlawanan kepada kelompok para pembenci sahabat, dan kelompok pembenci istri dan keluarga Nabi Muhammad SAW.
Hampir semua materi kajian di pesantren Nusantara sama, mulai kitab “tauhid, hadis, tafsir, fikih, tasawuf”. Bahkan pesantren-pesantren di atas termasuk pesantren yang menjaga eksistensi pembelajaran bahasa Arab, melalui karya-karya tulisnya, seperti; nahwu, saraf, balagah.
Tidak sedikit karya ulama Nusantara diajarkan di Kairo dan Syria. Ini menjadi bukti bahwa para Kyai bukan hanya sekedar berjuang, tetap merelakan semua usianya untuk agama dan negara.
Pesantren Tidak Pernah Merepotkan Negara
Sejak berdirinya, pesantren ini tidak pernah merepotkan negara, justru memberikan kontribusi terhadap negara, mulai membangun peradaban, menjaga keutuhan negara, sampai mencerdaskan putra-putri bangsa. Dan yang paling keren adalah menjaga adab (etika) dalam berbangsa dan bernegara. Tidak ada satupun gerakan radikal dan teroris dari pesantren di atas. Bahkan, sebagian besar lulusannya menjaga NKRI.
Seandainya negara ikut serta membangun pesantren Al-Khozini, itu tidak rugi jika dibandingkan dengan pengorbanan para Kiai di dalam membangun negeri.
Darah dan nyawa dipertahukan untuk negeri. Setelah negara merdeka, para Kiai tidak pernah mengemis untuk menjadi pahlawan, juga tidak meminta imbalan apa-pun, baik berupa tanah atau perusahaan.
Bahkan, saat akan mengajukan gelar pahlawan susahnya minta ampun. Bagi para Kiai itu tidak apa-apa. Bagi Kiai, yang ada dalam benaknya, bagaimana bisa memberikan sebanyak-banyak, bukan mendapat sebanyak-banyaknya.
Ciri khas pesantren yang di asuh langsung oleh para Kiai, pasti mengajarkan ilmu tauhid, tafsir, hadis dan tasawuf, dan bahasa Arab. Sejak belajar di Makkah, seperti; Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Sayyid Bakri Shata, Syekh Mahfuz Al-Turmusi, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Minankabawi, semua kitab rujukan sama, mulai dari kitab Tafsir Jalalain, Tafsir Shawi, fikih I’natut Thalibin, Ihya Ulumudin, dan Al-Hikam.
Bahkan, dalam ilmu nahwu-pun pesantren paling menonjol jika dibandingkan dengan pesantren-pesantren baru yang menamakan dirinya dengan “boarding school”. Terbukti banyaknya penulis kitab hadis, tafsir, hadis, bahkan sebagian dari mereka pernah menjadi pengajar di Masjidilharam, dan menjadi pengajar saat pulang ke Indonesia.
Mengakui atau tidak “boarding school”, itu copy paste dari “pesantren”. Tentu saja, materinya sedikit berbeda. Dan yang paling menarik, pesantren yang di asuh Kiai, rata-rata mendahulukan etika santri kepada Kiai, buku, dan ilmu.
Ini persis dengan panduan kitab yang di tulis Mbah Muhammad Hasyim Asaary, “Adabul Alim wa Al-Mutaalim”, juga diterangkan di dalam kitab Ta’limu Mutallim”. Dan yang lebih menarik lagi, pesantren Kiai NU, ditekankan “mencintai negeri Indonesia”, sebagaimana lagu “ya lal whatan” yang di gubah oleh KH Abdul Wahab Hasbullah. (*)
***
*) Oleh : Abdul Adzim Irsyad, Pengajar di Unisma Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |