TIMES JATIM, MALANG – Coba tanyakan ke siapa pun yang pernah menginjakkan kaki di Raja Ampat, Papua Barat. Hampir pasti mereka akan bilang: “Itu surga.” Tempat di mana laut sebening kaca, gugusan karang warna-warni, dan ikan-ikan endemik menari bebas.
Tapi kini, surga itu sedang dibongkar paksa demi kerakusan segelintir manusia. Dan yang paling menyedihkan, di tengah semua itu, suara-suara yang seharusnya membela justru memilih bungkam. Termasuk ormas-ormas keagamaan yang biasanya paling lantang bicara moral.
Mengapa Terdiam?
Pertambangan nikel yang belakangan mulai merangsek ke kawasan Raja Ampat bukan lagi isu kecil. Data dari Auriga Nusantara dan Satuharapan melaporkan bahwa izin dan kerusakan lingkungan mencakup 22.420 ha izin tambang, termasuk lebih dari 500 ha hutan yang telah dibabat dan mencemari ekosistem laut, seperti terumbu karang.
Padahal, kalau kita buka Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jelas disebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
Kenyataannya justru sebaliknya. JATAM Papua Barat mencatat ada belasan warga adat dan aktivis lingkungan yang mendapat intimidasi, kriminalisasi, hingga ancaman fisik sejak 2022.
Menemukan Suara Moral Bangsa
Di negeri ini, ormas-ormas agama selalu sigap bersuara saat bicara soal etika, akhlak, dan ketertiban sosial. Tapi ketika alam yang disebut-sebut sebagai titipan Tuhan ini dihancurkan, suara mereka seperti tenggelam di kedalaman laut Raja Ampat. Kenapa bisa begitu?
Sebagian pengamat menyebut ini soal relasi kuasa. Sejak era reformasi, banyak ormas keagamaan terjebak dalam politik praktis. Terlibat dalam urusan pilkada, proyek dana hibah, sampai lobi-lobi kekuasaan.
Isu lingkungan, yang tak punya nilai tawar politis, akhirnya dianggap kurang penting. Padahal, hampir semua ajaran agama punya prinsip menjaga alam.
Dalam Al-Qur’an, QS. Al-A’raf: 56, Allah memperingatkan: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya.”
Dalam Kitab Injil, Kejadian 2:15, Tuhan menitipkan bumi kepada manusia untuk “mengusahakan dan memeliharanya.”
Dalam Tripitaka, Dhammapada 270, disebutkan bahwa orang bijak adalah yang tidak menyakiti makhluk hidup lain. Bahkan ajaran Hindu dalam Atharvaveda 12.1.12 menyatakan bahwa bumi adalah ibu, dan manusia wajib menjaganya.
Sayangnya, doktrin itu berhenti di khutbah dan ceramah. Saat Raja Ampat dibongkar, yang lebih sibuk bicara soal moral bangsa malah sibuk ikut deklarasi politik atau lobi proyek ke pemerintah.
Pemerintah pun tak kalah licik. Atas nama “hilirisasi nikel”, mereka mengesahkan izin-izin tambang di Papua Barat, termasuk Raja Ampat. Padahal studi AMDAL dan ANDAL kawasan itu cacat sejak awal.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut, banyak masyarakat adat bahkan tidak dilibatkan dalam konsultasi AMDAL. Beberapa hasil studi juga ditengarai dimanipulasi demi mengejar proyek.
Yang lebih menyakitkan, kerusakan Raja Ampat ini tidak hanya soal lingkungan. Tapi soal perampasan hak hidup masyarakat adat, hilangnya ruang hidup, dan rusaknya warisan budaya. Dalam hukum adat Papua, laut dan hutan adalah roh leluhur yang diwariskan turun-temurun. Ketika itu dirusak, artinya identitas mereka dihancurkan.
Di tengah kemunafikan itu, sebenarnya bangsa ini tak kekurangan sosok-sosok yang sejak lama memperjuangkan alam dengan hati nurani. Salah satunya adalah Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup pertama Indonesia, yang pernah berkata: Pada 13 Juni 2022 di acara bertema HAM dan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, beliau mengatakan:
“Hidup adalah anugerah Ilahi, janganlah kita berbuat seolah-olah alam ini hanya monopoli manusia.” Kata-kata itu bukan sekadar nasihat, tapi peringatan yang kini pelan-pelan jadi kenyataan di Raja Ampat.
Kutipan Gus Dur masih relevan hari ini: “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.”
Kutipan ini menekankan pentingnya menghormati dan menjaga ciptaan Tuhan, termasuk alam, sebagai bagian dari penghormatan terhadap Tuhan itu sendiri.
Hari ini, kemunafikan itu nyata. Kita lebih sering ribut soal halal-haram logo snack atau soal syiar di mall, tapi lupa saat laut dirusak, hutan ditebang, dan anak adat kehilangan rumah.
Pertanyaannya, sampai kapan kita membiarkan ini? Kalau ormas agama diam, kalau pemerintah terus bermain-main dengan izin tambang, kalau masyarakat perkotaan sibuk scroll media sosial tanpa peduli maka Raja Ampat hanya tinggal cerita.
Jangan tunggu laut itu menghitam dan ikan-ikan itu punah. Jangan tunggu masyarakat adat Papua terusir ke pinggir kota jadi buruh kasar. Karena ketika itu terjadi, yang menanggung dosa bukan cuma mereka yang menambang. Tapi juga kita yang memilih diam.
Alam itu bukan milik kita. Itu titipan. Dan kelak, kita semua akan dimintai pertanggungjawaban. Kalau suara-suara moral bangsa saja sudah bisa dibeli, maka yang akan menyelamatkan negeri ini tinggal suara hati yang belum bisa dibungkam; pakah suara hati itu masih hidup di dada kita? (*)
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |