https://jatim.times.co.id/
Opini

Tradisi Mudik dan Inovasi Ekonomi Desa Berkelanjutan

Selasa, 01 April 2025 - 11:57
Tradisi Mudik dan Inovasi Ekonomi Desa Berkelanjutan Abdillah U. Djawahir, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Raden Rahmat, Malang

TIMES JATIM, MALANG – Mudik secara etimologi adalah pulang ke kampung halaman. Mudik sendiri menjadi tradisi tahunan menyambut Idul Fitri, identik dengan mobilitas manusia untuk melepas kerinduan terhadap sanak-saudara, karib di kampung halaman.

Mudik sebagai respons fenomena kerinduan. Melepas Kerinduan terhadap sanak-saudara, karib atas antesenden perasaan emosional yang muncul ketika merasakan keterpisahan fisik dan atau psikologis. Frost (1938) menyebutnya sebagai gejala psikodinamik, menggambarkan nostalgia sebagai "immigrant psychosis".

Di tengah dunia digital yang saling terhubung. Tidaklah cukup mengobati kerinduan dengan komunikasi via dunia maya. Karena problemnya adalah keterpisahan fisik dan atau psikologis, sehingga berapa pun ongkos dan pengorbanan yang harus dikeluarkan tidaklah menjadi kendala yang berarti untuk mudik.

Selain psikodinamik tersebut, ada perasaan nostalgik hadir pada ritual budaya untuk merayakan Idul fitri khas Islam Indonesia di kampung halaman, misalnya: ziarah makam leluhur, sungkeman, grebeg syawal (Jawa), ngejot dan perang topat (Sasak dan Muslim Bali), baraan (Sumatera), tellasan topak (Madura), meugang (Aceh), badantam (Kalimantan), ronjok sayak (Bengkulu) dan ritual lainnya.

Ritual-ritual tersebut menjadi tradisi, menonjolkan kekuatan budaya Nusantara dalam merayakan Idul Fitri, di mana keyakinan agama dilandasi oleh local wisdom untuk mendorong kerukunan dan keharmonisan sebagai bentuk religiositas sosial. 

Karenanya, tradisi mudik menjadi pendorong kohesi sosial dan merekatkan relasional kekeluargaan-persaudaraan harus berdampak sosial-ekonomi bagi kampung halaman, khususnya wilayah desa.

Merujuk pada etimologi mudik, desa menjadi episentrum secara ruang, bermomentum secara waktu. Hal ini tidak lepas adanya respons gejala immigrant psychosis. Para komunitas urban, warga desa pencari ilmu di kota, penduduk usia produktif yang beraktivitas ekonomi di kota kembali ke desa. Sebagai pembuktian bahwa mereka tidak lupa akan jati diri dan asal-usulnya.

Brain Drain

Secara umum, desa mengalami brain drain. Bakat dan otak terbaik yang terlahirkan dari desa ‘diambil alih’ oleh kota (di dalam dan luar negeri), pindah dan ikhtiar mencari peluang kehidupan yang lebih baik untuk kesejahteraan keluarga. Dus, inilah kontribusi nyata desa terhadap kota. 

Fenomena brain drain yang dialami desa menjadi tantangan dalam pembangunan ekonomi desa yang berkelanjutan karena menyebabkan berkurangnya tenaga kerja terampil dan inovatif yang seharusnya dapat mengembangkan potensi lokal desa.

Profesor dari Harvard Business School, Clayton Christensen (1997) dalam buku The Innovator’s Dilemma, menjelaskan bagaimana tantangan dan ketidakpastian dapat menjadi pemicu munculnya inovasi. Jadi tantangan bukanlah hambatan, melainkan peluang untuk inovasi.

Dan konsep yang ditawarkan adalah "Disruptive Innovation" (Inovasi Disruptif)). Dalam konteks organisasi bisnis, inovasi yang out the box, bahkan yang dihasilkan awalnya dianggap inferior dibanding produk dominan di industri tersebut. 

Produk ini biasanya lebih murah, lebih sederhana, dan menargetkan segmen pasar yang kurang terlayani. Seiring berjalannya waktu, produk ini justru berkembang dan akhirnya menggantikan (mendisrupsi) pemain lama di industri tersebut.

Kembali ke konteks desa. Sering kali desa tidak memiliki industri atau sektor ekonomi yang mampu menampung tenaga kerja berpendidikan tinggi, akses terbatas terhadap pendidikan dan teknologi, dan minim layanan publik. Dan sebaliknya, kota memberi solusi akan hal ini, daya tarik yang kuat dan dinamis.

Akibatnya, berdampak pada ekonomi desa. Banyak desa kehilangan individu yang berpotensi menciptakan usaha baru atau mengembangkan ekonomi berbasis sumber daya lokal. Industri berbasis desa, seperti pertanian, kerajinan, atau pariwisata.

Fakta tersebut berdampak pada melemahnya ketersediaan tenaga kerja produktif di desa, ketimpangan pembangunan antara desa dan kota. Akhirnya, menciptakan ketimpangan ekonomi yang semakin besar.

Membangun Ekonomi Desa Berkelanjutan

Fenomena brain drain di desa adalah tantangan yang tidak boleh dimaknai sebagai hambatan. Namun menjadi tantangan untuk berinovasi ala Christensen. 

Mobilisasi manusia dari kota ke desa, balik kampung. Idealnya, menjadikan mudik bukan sekadar tradisi tahunan. Tetapi menjadi miqat untuk mengakselerasi pemerataan ekonomi dan mengurangi kesenjangan desa-kota.

Beberapa inovasi kebijakan dan strategi membangun kemandirian desa berbasis budaya dan kearifan lokal. Pertama, Pengembangan Ekonomi Kreatif dan Berbasis Teknologi. Memberdayakan ekonomi berbasis digital, pertanian cerdas (smart farming), dan industri kreatif untuk menarik minat generasi muda tetap tinggal di desa. Ada 17 sub-sektor ekonomi kreatif, perlu inventarisir potensi. Gagasan one village-one sub-sector.

Kedua, Peningkatan Infrastruktur dan Konektivitas. Penyediaan internet cepat, transportasi yang baik, serta fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai. Khusus terkait internet, desa harus tampil di ruang digital dengan konten-konten kreatif.

Walhasil, mendapatkan peluang mendapatkan cuan AdSense, TikTok Creator Fund and TikTok Pulse, FB and IG Reels Bonus, Brand Ambassador, dan sebagainya.

Ketiga, Pemberdayaan Kewirausahaan Profetik. Mengacu prophetic socio-enterpreneuership mengharuskan para pelaku ekonomi pasar yang berkeadilan di antara pelaku ekonomi. Perlu pelatihan kewirausahaan untuk menyiapkan mentalitas SDM desa untuk bergotong royong secara ekonomi. 

Dibutuhkan captain of industry, tokoh yang memiliki kapabilitas mengembangkan ketersinambungan pertanian, integrated farming, termasuk sektor perkebunan dan perikanan.

Keempat, Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan. Tidak bermaksud anti pihak luar (desa). Mendorong sektor pariwisata dengan pelibatan masyarakat lokal sebagai pelaku utama harus menjadi atensi, sehingga menciptakan lapangan kerja yang menarik bagi penduduk desa. Dapat memperkuat stakeholder engagement untuk mendapatkan legitimasi sosial keberadaan destinasi wisata desa. 

Kelima, Dukungan Kebijakan Pemerintah. Adanya gagasan pembentukan hingga 80.000 Koperasi Desa Koperasi Merah Putih di seluruh desa. Tentu ini adalah kebijakan strategis dalam membangun ekonomi desa. 

Ada juga yang skeptis, karena program berbasis anggaran negara, ada risiko bahwa dana koperasi bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik penguasa. Terlepas skeptis-tidaknya terhadap program tersebut, diperlukan kebijakan Pemda terkait program insentif bagi profesional yang kembali ke desa.

Kelima inovasi kebijakan di atas adalah selaras dengan yang disampaikan Hoffman dan Bazerman (2005), meningkatkan kualitas hidup masyarakat tanpa merusak lingkungan dan mengeksploitasi sumber daya secara serampangan. 

***

*) Oleh : Abdillah U. Djawahir, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Raden Rahmat, Malang. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.