TIMES JATIM, JEMBER – Konflik antara KH. Imam Muslimin (Kiai Mim), eks-dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dengan tetangganya Sahara, yang bermula dari persoalan akses jalan perumahan, merefleksikan dinamika sosial yang kompleks di era post-truth.
Sebuah kegaduhan kecil di tingkat RT menjelma menjadi arus besar skala nasional ketika framing, emosi, dan narasi digital menggeser substansi persoalan. Di era post-truth, publik mudah terperangkap oleh potongan video, caption emosional, atau narasi viral.
Dalam merespons fenomena post-truth ini, saya menggunakan analisis empat entitas sebagai rumusan pembelajaran: Pertama, Kiai Mim dan istrinya sebagai simbol kesabaran dan ketenangan. Kedua, Sahara dan kelompoknya sebagai simbol perilaku manusia yang sering terjebak dalam pembenaran diri. Ketiga, aparat pemerintah yang kehilangan fungsi sebagai rem sosial. Keempat, publik yang rentan terhadap framing.
Dari refleksi ini saya mengambil lima pelajaran penting yang dirumuskan dalam akronim BEJAD (Blaming, Emotional, Justification, Arrogant, Desire) lima virus sosial yang berpotensi merusak harmoni masyarakat di era post-truth.
Mengenal Era Post-truth dan Truth Resilience
Era post-truth adalah kondisi ketika fakta objektif kehilangan pengaruh dalam membentuk opini publik, digantikan oleh emosi, keyakinan pribadi, dan narasi yang viral. Dalam situasi ini, potongan video singkat atau tudingan emosional lebih cepat dipercaya daripada data dan klarifikasi yang runtut.
Oxford Dictionaries menetapkan istilah ini sebagai Word of the Year pada 2016, dan ilmuwan seperti Ralph Keyes (The Post-Truth Era, 2004) serta Lee McIntyre (Post-Truth, 2018) mengulasnya secara mendalam.
Namun, dalam perspektif Al Qur’an, kita diingatkan bahwa post-truth tidak berarti kebenaran hilang. Ia hanya tertutup sejenak oleh kebisingan. Kebenaran memiliki daya tahan, istilah ini disebut truth resilience, sebuah kebenaran yang membuatnya tetap bertahan hingga pada waktunya kebatilan runtuh sendiri.
Allah sudah menegaskan hal ini dalam firman-Nya: “Dan katakanlah: yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap,” (QS Al-Isra' 17: 81).
Fenomena Kiai Mim memperlihatkan hal itu: meski diframing, difitnah, dan ditekan, kesabaran dan ketenangan beliau justru menjadi energi moral yang membalik arus simpati publik. Artinya, sekalipun dunia digital dipenuhi framing dan sorak-sorai emosional, kebenaran tetap punya kekuatan intrinsik yang membuatnya mampu menyingkirkan kebatilan pada waktunya.
Di era post-truth, kebenaran mungkin tidak langsung menang seketika, tetapi ia akan tetap bertahan. Kebatilan bisa lenyap, sementara kebenaran akan tetap tegap. Pertanyaannya: bagaimana mungkin kebenaran tetap bertahan di tengah arus post-truth? ketika emosi, framing, dan narasi viral lebih berkuasa daripada fakta?
Mari kita bahas jawabannya dengan menelaah empat entitas yang terlibat dalam kasus KH Imam Muslimin (Kiai Mim) dengan Sahara.
Pertama, Ketika Ketenangan Menjadi Argumen. Dari Kiai Mim kita belajar bahwa kebenaran tidak bertahan karena teriakan yang paling keras, bukan pula karena dukungan massa yang besar, melainkan karena resilience moral.
Ketika difitnah, beliau tidak membalas dengan kebencian. Bahkan saat tampil di podcast Denny Sumargo (Curhat Bang Densu), Kiai Mim tetap menyebut tetangganya orang baik, Beliau memberi rating bintang lima, dan menuliskan komentar positif untuk usaha rental mobilnya.
Sang istri, Bu Rosida, pun hadir dengan tutur kata yang jernih, tidak reaktif, dan menghadirkan wajah teduh di tengah konflik. Ketenangan inilah yang membuat publik menemukan resonansi kebenaran.
Dalam sebuah podcast lain, Kiai Mim berkata: “Jadi orang sakit hati itu bukan salah orang lain, salahmu dewe. Kenapa? Karena kamu mengizinkan hatimu sakit. Kalau kamu tidak mengizinkan hatimu untuk sakit, tidak akan sakit. Gimana caranya? Kamu bilang hatimu sendiri: ‘Hai hatiku, kamu jangan sakit loh ya. Walaupun orang sedunia menyakiti kamu, kamu nggak boleh sakit."
Kalimat sederhana ini sungguh bernas, Kiai Mim menegaskan bahwa kunci ketenangan bukan pada bagimana sikap orang lain kepada kita, melainkan pada bagaimana upaya kendali hati kita.
Pesan ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Al-Furqan, 25: 63 “Dan hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih adalah mereka yang berjalan di bumi dengan rendah hati, dan bila disapa orang jahil, mereka menjawab dengan kata damai.”
Bagi Kiai Mim, tentu semua ini adalah bagian dari ujian. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami jadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk menguji siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya,” (QS Al-Kahf, 18: 7).
Hemat penulis, Kiai Mim lulus ujian itu. Kendati promosi guru besar ditangguhkan dan status dosennya dinonaktifkan, beliau tetap menjadi pemenang karena bersabar dan menjaga marwah. Semoga derajat beliau diangkat setinggi-tingginya oleh Allah, dijaga, dilindungi, dan diberi gelar terpuji di sisi-Nya.
Kedua, Ketika rapuhnya fondasi adab menjadi boomerang. Sementara itu, nama Sahara seperti tanah yang semakin tandus nan gersang di padang penilaian publik. Bukan semata karena publik berubah menjadi hakim, tetapi karena ulah mereka sendiri dengan narasi yang mereka bangun terasa rapuh ketika disandingkan dengan fakta dan sikap tenang Kiai Mim.
Tudingan yang mereka gulirkan seperti efek bola salju (snowball effect) justru dinilai sebagai hasil dorongan emosi, hasil dorongan kepentingan mencari pembenaran, bukan kebenaran. Di titik inilah publik mulai sadar bahwa framing tidak akan bisa menutupi rapuhnya fondasi moral.
Contohnya ketika publik melihat wajah lain pada Sahara dan Suaminya di mana usia mereka masih muda (sekitar kelahiran 1996 -1997), tetapi kepada tetangga yang jauh lebih tua (usia 59) terlontarkan kata-kata kasar: “cabul, bau tanah.” Ucapan ini mencederai adab sosial dan bertentangan dengan sila kedua Pancasila.
Ucapan-ucapan kasar ini menunjukkan rapuhnya moralitas ketika tidak ada upaya pengendalian diri. Jika ditinjau dari perspektif psikologi sosial, fenomena tersebut sejalan dengan pandangan Dale Carnegie (1936) dalam karyanya How to Win Friends and Influence People.
Carnegie menegaskan bahwa betapapun kelirunya perbuatan seseorang, ia hampir selalu berusaha mencari jalan pembenaran bagi dirinya. Manusia cenderung membela diri agar tidak terlihat salah di mata orang lain. Hal ini ditegaskan pula dalam Al-Qur’an “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS Al-Kahf, 18: 54).
Dari kasus tersebut, saya merumuskan lima virus sosial yang saya singkat dengan istilah BEJAD: Blaming (suka menyalahkan), Emotional (emosional dan mudah tersulut), Justification (selalu membenarkan diri), Arrogant (kesombongan), dan Desire (nafsu tak terkendali).
Lima virus ini bila dipelihara ia menjelma menjadi perilaku toksik (toxic behavior) yang menghilangkan jati diri, menggerus nilai moral, dan merusak tatanan sosial alias Bejad (rusak: dalam Bahasa jawa).
Maka janganlah sekali kali kita terjangkit virus ini, janganlah kita seperti sosok Sengkuni dalam pewayangan yang dikenal pandai mengadu domba, membuat framing, dan merusak tatanan kerukunan sosial.
Ketiga, Masyarakat Butuh Kehadiran, Bukan Pembiaran. Dalam konflik ini, publik sejatinya menunggu kehadiran nyata dari aparat: mulai dari RT, RW, camat, hingga Wali Kota. Hal ini bukan semata karena persoalan personal antar-tetangga, melainkan karena kasus ini telah menyebar luas hingga tingkat nasional dan menuntut tegaknya prinsip keadilan.
Namun yang justru terlihat di lapangan adalah konsolidasi warga yang memperkeruh suasana, tindakan persekusi yang mendahului proses tabayun, serta nampak seperti hening panjang dari pihak berwenang yang terbaca sebagai bentuk pembiaran di mata publik.
Perangkat RT-RW yang semestinya menjadi rem sosial justru tampil sebagai “gas” yang mempercepat laju konflik. Alih-alih menciptakan ruang tabayyun, perselisihan kecil berubah menjadi corong yang menggema dan memperbesar perkara, hingga puncaknya terjadi pengusiran oleh warga setempat.
Di titik ini, publik kecewa. Sebab aparatur yang diharapkan menjadi peredam malah menambah bara pertikaian, menunjukkan ketidakpekaan, dan membuka ruang bagi ketidakadilan. Hening berkepanjangan dari aparat di level atas semakin menimbulkan kesan adanya pembiaran.
Keempat, Masyarakat Publik: Berpikir Jernih di Tengah Framing. Sebagai publik, kita memiliki peran penting dalam menjaga arah konflik. Sikap yang dibutuhkan public saat ini adalah berpikir jernih serta memperkuat argumen dengan akal sehat, adab, dan bukti empiris.
Dukungan kepada Kiai Mim juga tidak boleh dibaca sebagai permusuhan terhadap Sahara. Yang dituntut adalah keadilan yang terang, sebab jelas beliau kini diperlakukan tidak adil dinonaktifkan, difitnah, bahkan diusir dari rumah.
Karena kita berada pada negara demokrasi, panggung akhir perkara tetap di ruang hukum. Bukan sorak-sorai massa, bukan pula persekusi. Selain itu, demokrasi punya moralitas, punya etika.
Jangan ada komentar berbadan kebencian pada etnis, Jangan sampai perkara antar-tetangga ini ditarik ke ranah SARA, sebab hal itu hanya akan menimbulkan perpecahan baru, ini salah. Kita berdoa agar semua selesai dengan adil, terwujud kerukunan, dan hadir kembali dengan suasana damai di tengah masyarakat.
***
*) Oleh : Ahmad Sirajuddin, M.MT., Dosen UIN KHAS Jember.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |