TIMES JATIM, PONOROGO – Pada Desember 2023, dunia mengakui Reyog sebagai Warisan Budaya Takbenda milik Indonesia melalui penetapan resmi oleh UNESCO. Momen ini disambut dengan kebanggaan dan haru oleh masyarakat, khususnya warga Ponorogo, tempat seni Reyog berakar kuat.
Setelah euforia pengakuan global, tanggung jawab besar menanti. Bagaimana pemerintah dan masyarakat mengorkestrasi kebijakan pelestarian agar Reyog tetap hidup, relevan, dan lestari?
Reyog bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah ekspresi budaya yang mencerminkan filosofi hidup, spiritualitas, sarana kritik politik, hingga struktur sosial masyarakat Jawa, khususnya Ponorogo.
Dalam setiap gerakannya, ada nilai-nilai pendidikan karakter, kearifan lokal, dan warisan sejarah. Artinya pengakuan UNESCO bukanlah garis akhir, tetapi justru garis awal dari komitmen pelestarian yang seharusnya makin serius dan terstruktur.
Secara hukum, pengakuan tersebut menempatkan negara dalam kewajiban konstitusional. Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya."
Dengan demikian, pelestarian Reyog bukan sekadar kehendak moral, melainkan mandat konstitusi. Hal ini diperkuat oleh UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan objek pemajuan kebudayaan, termasuk seni pertunjukan seperti Reyog.
Sayangnya, orkestrasi kebijakan pelestarian pascapenetapan masih terlihat belum matang; selain ’percepatan’ membangun monumen Reyog. Pemerintah pusat dan daerah tampak belum memiliki peta jalan (roadmap) yang holistik dan berkelanjutan.
Upaya pelestarian masih bersifat seremonial dan belum menyentuh akar-akar pelaku budaya secara menyeluruh. Padahal, salah satu syarat utama dari pengakuan UNESCO adalah adanya rencana konkret pelindungan dan pelestarian jangka panjang yang impacfull sustainable.
Menurut Peter Hall (1993), dalam kerangka policy paradigm, kebijakan yang berhasil adalah yang mampu menggeser kerangka pikir pembuat kebijakan dari rutinitas administratif menuju respons terhadap tantangan kultural dan sosial.
Pelestarian budaya Reyog perlu menjadi elemen strategis pembangunan. Perlu ada reframing bahwa investasi budaya adalah investasi jangka panjang dalam membangun identitas, daya saing pariwisata, dan integritas bangsa.
Oleh karena itu perlu dirumuskan langkah-langkah strategis, yaitu: Pertama, kebijakan pelestarian seharusnya dimulai dari pendidikan. Reyog harus lebih integral sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah di Jawa Timur, khususnya Ponorogo.
Ini tidak hanya menjaga regenerasi pelaku Reyog, tetapi juga memperkuat identitas budaya generasi muda. Pemerintah perlu bekerja sama dengan Dinas Pendidikan untuk memastikan bahwa Reyog tidak hanya dikenalkan sebagai tontonan ekskul, tetapi juga sebagai tuntunan nilai dan karakter.
Kedua, dukungan terhadap pelaku budaya Reyog harus diperkuat. Para seniman, dalang, warok, dan jathil adalah garda terdepan pelestarian. Sayangnya, banyak di antara mereka hidup dalam keterbatasan ekonomi.
Pemerintah perlu membuat skema insentif dan perlindungan sosial bagi mereka, misalnya melalui bantuan dana kesenian, asuransi sosial budaya, atau penghargaan reguler atas dedikasi mereka menjaga warisan budaya.
Aspek hukum lainnya yang tak kalah penting adalah perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual komunal. Meskipun Reyog telah diakui oleh UNESCO, Indonesia tetap harus aktif dalam pengajuan pencatatan hak atas ekspresi budaya tradisional ini di tingkat nasional dan internasional. Hal ini penting sebagai bentuk sovereignty protection; benteng terhadap klaim sepihak dari negara lain terhadap kedaulatan budaya kita.
Ketiga, penguatan kelembagaan sangat mendesak. Sampai hari ini, belum ada satu badan khusus yang fokus pada pelestarian Reyog sekaligus membangun jaringan diplomasi global. Padahal, lembaga semacam ini bisa menjadi pusat koordinasi antara pemerintah, komunitas Reyog, akademisi, sektor swasta dan partner luar negeri.
Kehadiran lembaga ini bisa memfasilitasi riset, pelatihan, sertifikasi pelaku, hingga pengarsipan digital Reyog agar tidak hanya hidup dalam pertunjukan, tetapi juga terdokumentasi secara ilmiah.
Keempat, integrasi Reyog dalam pariwisata budaya harus dilakukan dengan hati-hati. Komersialisasi boleh saja, namun tidak boleh menggerus makna sakral dan nilai-nilai Reyog.
Pemerintah harus membuat regulasi yang tegas agar pertunjukan Reyog di sektor pariwisata tetap menghormati pakem dan filosofi tradisionalnya. Kolaborasi dengan pelaku pariwisata pun perlu diarahkan untuk menciptakan pertunjukan yang edukatif dan tidak semata hiburan.
Selain itu, pemerintah juga perlu memanfaatkan momentum ini untuk membangun diplomasi budaya yang lebih luas. Pengakuan UNESCO dapat dijadikan landasan untuk memperkenalkan Reyog di panggung-panggung budaya dunia, baik melalui festival internasional, pertukaran budaya, maupun diplomasi publik yang berbasis budaya lokal. Ini adalah langkah strategis memperkuat soft power Indonesia di dunia internasional.
Oleh karena itu, pelestarian Reyog harus didekati dengan semangat gotong royong berbasis meaningfull participation. Komunitas Reyog, pemuda, sekolah, tokoh adat, hingga pelaku UMKM harus dilibatkan dalam proses ini.
Dalam negara hukum seperti Indonesia, tugas utama pelestarian warisan budaya tetap harus dipimpin oleh negara. Bukan dalam arti otoritarianisme budaya, melainkan kepemimpinan yang berpihak pada nilai, pelaku, dan keberlanjutan.
Orkestrasi kebijakan pelestarian Reyog pasca-UNESCO harus bersifat kolaboratif, terstruktur, dan berkelanjutan. Pengakuan dunia adalah kehormatan, tetapi menjaga keasliannya adalah tanggung jawab besar. Bila dikelola dengan serius, Reyog tidak hanya akan menjadi kebanggaan daerah, tetapi juga simbol kekuatan budaya Indonesia di mata dunia.
Pascapenetapan UNESCO, Reyog tidak boleh hanya ditampilkan, tetapi harus ditumbuhkan. Bukan hanya dikagumi, tetapi juga dilindungi. Pengakuan internasional adalah awal. Pelestarian berkeadilan dan berkeadaban adalah perjalanan panjang yang membutuhkan keseriusan politik dan hukum.
***
*) Oleh : Lukman Santoso Az, Bergiat di Pusat Studi Agama dan Negara Fakultas Syariah UIN Ponorogo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |