TIMES JATIM, MALANG – Setiap tanggal 25 Desember, kalender tidak sekadar berganti angka. Ia membawa serta perjumpaan batin yang halus, kadang sunyi, kadang riuh: bagaimana seorang Muslim memaknai Natal. Bukan soal ikut merayakan, melainkan bagaimana bersikap dengan iman yang teguh dan kemanusiaan yang lapang. Di titik inilah ucapan selamat Natal menjadi ruang tafsir: apakah ia ancaman bagi keyakinan, atau justru jembatan bagi persaudaraan?
Sebagai seorang Muslim, iman adalah rumah. Ia berdiri di atas fondasi tauhid yang kokoh, tak mudah digoyahkan oleh angin musim atau riuh perayaan. Rumah ini tidak menolak tetangga yang merayakan hari besarnya; ia hanya menjaga pintunya agar tetap pada arah kiblat. Dari rumah iman itulah ucapan selamat Natal saya lahir bukan sebagai pengaburan keyakinan, melainkan sebagai salam kemanusiaan.
Ucapan selamat Natal tidak saya niatkan sebagai pengakuan teologis atas keyakinan lain, sebab iman bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan dengan kalimat seremonial. Ia adalah sikap etis: menghormati kegembiraan orang lain tanpa menanggalkan keyakinan sendiri. Seperti sungai yang mengalir di jalurnya, iman tidak harus meluap untuk membuktikan keberadaannya.
Natal, bagi saudara-saudara Kristiani, adalah perayaan kasih, kelahiran, dan harapan. Nilai-nilai ini tidak asing bagi Islam. Kasih adalah denyut ajaran para nabi; harapan adalah doa yang tak pernah padam. Maka ketika saya mengucapkan selamat, yang saya sampaikan adalah doa agar kasih dan harapan itu menumbuhkan kebaikan bersama tanpa harus mencampuradukkan akidah.
Di negeri yang majemuk, kata-kata memiliki beban sejarah. Ucapan bisa menjadi pelukan, bisa pula menjadi bara. Karena itu, ucapan selamat Natal yang penuh makna harus ditimbang dengan kebijaksanaan. Ia tidak boleh menjadi pisau yang melukai iman sendiri, tetapi juga tidak menjadi tembok dingin yang menjauhkan sesama manusia. Di sinilah adab berbicara menemukan martabatnya.
Saya percaya, iman yang matang tidak panik oleh perbedaan. Ia tenang, jernih, dan tahu batas. Ketika sebagian orang memandang ucapan selamat sebagai pengkhianatan, saya justru melihatnya sebagai latihan kedewasaan. Kedewasaan untuk berkata: “Aku tetap aku, dan aku menghormatimu sebagai manusia.” Bukankah Islam mengajarkan akhlak sebelum debat?
Ucapan selamat Natal yang saya sampaikan adalah doa lintas perasaan, bukan lintas keyakinan. Ia berangkat dari kesadaran bahwa hidup berdampingan membutuhkan empati, bukan kecurigaan. Dalam empati, kita tidak menukar iman; kita menukar senyum. Dan senyum, sebagaimana diajarkan Nabi, adalah sedekah.
Di tengah dunia yang mudah terbakar oleh isu identitas, ucapan selamat yang jujur dan beradab menjadi air penenang. Ia mengingatkan bahwa perbedaan bukan alasan untuk saling meniadakan. Justru dari perbedaanlah kita belajar menata jarak dengan hormat, bukan dengan prasangka.
Saya menolak gagasan bahwa toleransi harus berarti relativisme. Toleransi sejati adalah kemampuan berdiri tegak pada keyakinan sambil membuka tangan untuk persaudaraan. Ia seperti pohon dengan akar yang kuat dan dahan yang menaungi. Akar menjaga identitas; dahan memberi teduh bagi siapa pun yang singgah.
Natal tahun ini saya maknai sebagai momen untuk menguatkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal: kasih sayang, kejujuran, dan perdamaian. Nilai-nilai ini tidak dimonopoli oleh satu iman. Ia adalah bahasa hati yang dipahami semua manusia. Ketika nilai itu hidup, konflik kehilangan bahan bakarnya.
Bagi saya, ucapan selamat Natal bukanlah akhir dari diskusi, melainkan awal dari perjumpaan. Perjumpaan yang tidak memaksa persamaan, tetapi merayakan saling menghormati. Perjumpaan yang membuat kita saling melihat sebagai sesama penumpang di kapal kebangsaan yang sama, dengan tujuan hidup yang mungkin berbeda, tetapi dengan harapan damai yang serupa.
Sebagai seorang Muslim, saya mengucapkan selamat Natal dengan penuh makna: semoga kasih menguatkan kemanusiaan, semoga harapan menumbuhkan kebaikan, dan semoga perdamaian menemukan jalannya di hati kita masing-masing. Iman saya tetap utuh, persaudaraan kita tetap terjaga. Di sanalah ucapan menemukan martabatnya menjaga iman, merawat kemanusiaan.
***
*) Oleh : Jakfar Shodiq, Mahasiswa Internasional Master Program in National Pingtung University Taiwan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |