TIMES JATIM, SURABAYA – Wacana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 mendapat penolakan dari berbagai pihak.
Kendati kebijakan ini disebut pemerintah sudah menjadi amanat undang-undang dan wajib dijalankan. Kenaikan PPN ini berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Salah satu penolakan itu datang dari gabungan pengusaha angkutan penyeberangan. Kepala Bidang Usaha dan Pentarifan DPP Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap), Rachmatika Ardiyanto menilai, wacana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 justru semakin menambah berat beban usaha angkutan penyeberangan.
Ia menegaskan, bahwa dengan kondisi saat ini saja, tarif yang diterapkan masih kurang 31,8 persen dibandingkan dengan perhitungan biaya pokok yang sudah dihitung bersama antara Kementerian Perhubungan RI, PT ASDP, Gapasdap, Asuransi baik Jasa Raharja maupun Jasa Raharja Putera dan juga perwakilan konsumen, serta perhitungan tersebut telah diketahui oleh Kemenko Marvest pada 2019.
"Dalam kurun waktu tersebut hingga saat ini telah terjadi banyak kenaikan biaya. Apalagi jika harus menghadapi kenaikan PPN 12 persen tahun depan," kata Rachmat di Surabaya, Senin (25/11/2024).
Kenaikan tersebut disinyalir akan menimbulkan multiplayer efek kenaikan biaya-biaya lainnya. Seperti kenaikan gaji karyawan karena meningkatnya biaya hidup, kenaikan biaya pengedokan, biaya spare part dan lainnya yang semua itu dalam pembeliannya dikenakan PPN.
"Saat ini saja untuk tarif yang berlaku masih belum sesuai dengan perhitungan tarif," tandasnya.
Namun demikian, sambungya, jika memang tarif penyeberangan belum bisa disesuaikan, maka, pengusaha angkutan penyeberangan meminta kompensasi berupa pengurangan biaya-biaya kepelabuhanan sebagaimana pengurangan beban biaya yang telah diberlakukan bagi angkutan udara.
"Kita lihat seperti yang dilakukan pemerintah saat ini kepada angkutan udara, yang notabene adalah segmentasi pasarnya kelas atas. Sedangkan angkutan penyeberangan adalah kelas bawah," ungkapnya.
Pengurangan biaya kepelabuhan atau PNBP tersebut dikatakan Rachmat sangat diperlukan guna menjaga kelangsungan pelayanan angkutan penyeberangan baik dari sisi keselamatan maupun kenyamanan di saat tarif belum sesuai dengan perhitungan biaya, sementara untuk biaya operasional kapal terus mengalami peningkatan.(*)
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |