TIMES JATIM, JOMBANG – Muhammad Izzul Islam An-Najmi (Gus Amik) memberikan kado terindah untuk hari lahir ke-95 Nahdlatul Ulama (Harlah ke-95 NU) dengan menerbitkan buku tentang salah satu pemikiran tokoh pendiri dan penggerak NU yaitu KH Abdul Wahab Chasbullah.
Gus Amik merupakan putra kedua dari KH Roqib Wahab bin KH Abdul Wahab Hasbullah. Dalam bukunya kali ini berjudul 'Pluralitas dalam Bingkai Nasionalisme' (Telaah atas Pemikiran dan Perjuangan KH Abdul Wahab Hasbullah).
Buku karyanya ini mengupas tuntas mengenai pemikiran Mbah Wahab Chasbullah mulai dari sudut pandang sang kakek sebagai seorang pengasuh pesantren, pemikir, tokoh bangsa, guru dan sosok ayah.
Menurutnya yang juga sebagai seorang cucu dari Mbah Wahab ini mengatakan, buku yang ia tulis untuk memberikan alternatif baru tentang pemikiran dan perjuangan KH Abdul Wahab Hasbullah. Terutama berkaitan dengan nilai-nilai pluralitas yang dibingkai semangat nasionalisme dan konsep Islam berbasis kontruksi pluralitas keberagamaan.
"Latar belakang penulisan buku ini yang pertama adalah niat tabarukkan kepada KH. Abdul Wahab Chasbullah. Serta sebagai wujud cinta saya kepada leluhur dan rasa ingin mengupas pemikiran Kiai Wahab dari cara yang berbeda. Sekalian hadiah harlah ke-95 NU,” kata Gus Amik kepada TIMES Indonesia, Minggu (31/1/2021).
Gus Amik menjelaskan, isu nasionalisme Islam sudah mulai dibahas di Indonesia pada muktamar NU ke-11 tahun 1936 di Banjarmasin yang dipelopori Kiai Wahab dan ulama NU. Saat itu NU menyebut wilayah Hindia Belanda (Nusantara) sebagai wilayah Islam bukan negara Islam.
Kemudian keputusan ini penting untuk diambil sebagai bangunan kebangsaan. Karena gerbong Islam tradisional yang merupakan kelompok mainstream di republik ini melegitimasi keabsahan nasionalisme Indonesia berdasarkan nilai-nilai Islam.
"Semua itu berdasarkan keputusan yang berdasar pada kitab Bughyah Al-Mustarsyidin karya Sayyid Abdurrahman Ba’alawi al-Masyhur yang memberikan dua batasan bagi dar al-Islam (Wilayah Islam),” jelas pria alumni UIN Jakarta tersebut.
Pemaknaan dar al-Islam sebagai wilayah Islam menunjukkan kesadaran nasionalisme berbasis Islam. Dengan mengakui kepulauan nusantara sebagai wilayah Islam, para kiai mengakui kewilayahan nasionalistik berbasis kebangsaan. Hal ini berbeda dengan wilayah kekhilafahan Islam yang bersifat global.
Habatnya, Mbah Wahab pemikiran dan tindakannya tak kalah hebat dan maju dari pendahulunya yaitu Tjokroaminoto dan Dr Soetomo yang mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924.
"Itu terbukti saat Mbah Wahab membentuk Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Nahdlatut Thujjar (1918). Disitulah nilai Nasionalisme Mbah Wahab lebih dulu ada,” tegasnya.
Gus Amik juga menulis cara kakeknya Mbah Wahab mendidik dan mengayomi anak didiknya sejak dari jenjang permulaan paling bawah hingga turun ke masyarakat. Salah satu kelebihannya yaitu beliau tidak pandang bulu dalam mendidik artinya cara memperlakukan anak didiknya yang sama berdasarkan rasa cinta dan kasih sayang seorang guru kepada murid.
Cinta dan kasih sayangnya diberikan kepada siapa saja hingga kepada golongan pemimpin yang datang kepadanya untuk berguru maupun untuk bersahabat. Perlakuan baiknya kepada semua orang tidak memiliki pamrih kepentingan diri sendiri, semata-mata hanya karena sebagi wujud pengabdian kepada Allah SWT.
"Salah satu yang menjadi kekauatan dalam buku ini merupakan narasumber yang diperoleh dari orang terdekat Mbah Wahab. Bagi saya pribadi Mbah Wahab merupakan bapak bagi NU dan masyarakat umum dalam mencintai Indonesia dengan cara terhormat," pungkas Gus Amik. (*)
Pewarta | : Rohmadi |
Editor | : Deasy Mayasari |