TIMES JATIM, SURABAYA – Juru bahasa tidak hanya berfungsi menerjemahkan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Bagi penyandang disabilitas, khususnya teman-teman tuli, keberadaan juru bahasa isyarat menjadi kebutuhan penting agar mereka tetap bisa mengakses informasi terkini.
Saat ini, semakin banyak instansi yang mulai menggunakan jasa juru bahasa isyarat. Kehadiran mereka memastikan informasi yang disampaikan kepada publik juga bisa diterima oleh kelompok difabel.
Salah satu juru bahasa isyarat, Nana Wibowo, menjelaskan bahwa sebelum bertugas, ia dan rekan-rekannya biasanya mendapat pembekalan dari mentor tuli.
“Sebelum bertugas, kami selalu dimentori oleh teman-teman tuli agar informasi yang kami sampaikan lebih tepat,” ujarnya, Selasa (23/9/2025).
Menurut Nana, juru bahasa isyarat tidak dibatasi pada bidang tertentu. Keterbatasan jumlah SDM membuat para juru bahasa harus fleksibel dan siap mempelajari berbagai materi meski tidak semua harus dikuasai secara mendalam.
“Tidak harus spesifik di satu bidang. Yang penting ada kemauan untuk belajar materi yang akan diterjemahkan,” kata Nana, yang kerap terlihat dalam konferensi pers Humas Polda Jatim.
Ia menambahkan, literasi bahasa sangat penting bagi juru bahasa isyarat agar informasi yang diterjemahkan dapat dipahami dengan baik oleh audiens difabel. Sayangnya, jumlah juru bahasa isyarat di Indonesia masih minim.
“Kalau di negara lain, juru bahasa biasanya sudah dibagi per-topik, misalnya khusus bidang hukum atau kesehatan. Di Indonesia, seakan-akan kami harus menguasai semua bidang, padahal jumlah SDM masih sangat terbatas,” ungkap alumnus Unesa (Umiversitas aNegeri Surabaya) ini.
Kendala dalam Penerjemahan
Dalam praktiknya, Nana mengaku sering menemui kendala saat menerjemahkan secara langsung. Jika ragu, ia biasanya berkonsultasi dengan mentor tuli setelah acara selesai.
“Kalau sedang live dan mentornya tidak ada, biasanya setelah selesai saya langsung video call untuk memastikan tidak ada kesalahan penerjemahan. Jadi ketika ada tugas serupa lagi, saya lebih siap,” jelas ibu satu anak ini.
Baginya, supervisi dari komunitas tuli sangat penting. “Bahasa itu milik mereka, sementara juru bahasa hanya jembatan,” tegasnya.
Di Surabaya, jumlah juru bahasa isyarat bahkan belum mencapai 50 orang, hanya sekitar 20 orang. Keberadaan mereka pun masih berjalan secara independen karena belum ada organisasi lokal yang menaungi, meski di tingkat nasional sudah terbentuk asosiasi.
Kerja Sama dengan Komunitas Tuli
Menurut Nana, peran juru bahasa isyarat di Surabaya banyak digerakkan oleh komunitas tuli. Bahkan kebutuhan penerjemah tidak hanya dari kalangan yang mendengar, tetapi juga dari juru bahasa isyarat tuli sendiri.
“Mereka yang menggerakkan kami, menyesuaikan kebutuhan. Karena juru bahasa isyarat bukan hanya yang mendengar, tapi juga yang tuli,” jelasnya.
Nana sendiri mulai tertarik menekuni profesi ini karena keterbatasan jumlah penerjemah. Saat ia memulai, di Surabaya hanya ada dua juru bahasa isyarat. Keinginannya sederhana: bisa berkomunikasi dengan teman-teman tuli.
“Awalnya saya hanya ingin bisa ngobrol dengan mereka. Lama-lama justru menjadi profesi hingga sekarang,” tutur perempuan asal Ngawi itu.
Bertahan Demi Akses Informasi
Profesi ini memang tidak banyak diminati. Namun Nana tetap bertahan karena merasa teman-teman tuli masih sangat terbatas aksesnya terhadap informasi dan pengetahuan.
“Mereka kehilangan pendengaran sehingga banyak kehilangan akses ilmu. Sementara ilmu kebanyakan disampaikan lewat telinga. Karena saya diberi anugerah pendengaran, sudah sepatutnya saya berbagi manfaat untuk mereka,” katanya.
Kebahagiaan terbesar, menurutnya, adalah ketika melihat teman-teman tuli berhasil diterima bekerja berkat bantuan juru bahasa isyarat.
“Saya senang sekali ketika mereka mendapat pekerjaan yang layak dan kehidupan yang lebih baik,” ucapnya. (*)
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |