TIMES JATIM, PACITAN – Muhammad Rizqi Zakaria, mahasantri semester akhir Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan berhasil menembus forum Halaqah Ulama Internasional 2025 berkat riset sederhana isu lingkungan berjudul "Fiqh Bi’ah dan Etika Ekologis Muslim tentang Sampah Puntung Rokok di Indonesia."
Zakaria mengaku tidak pernah menyangka bisa tampil di forum internasional. Semula ia hanya berniat mengikuti Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) cabang Bahtsul Kutub tingkat Ma’had Aly. Seleksi awal berjalan lancar, bahkan ia lolos 20 besar melalui tes CBT. Namun, di babak berikutnya hanya enam peserta terbaik yang dipilih.
“Di situ saya belum bisa maksimal, terutama soal fiqh. Akhirnya gagal,” kenangnya, Sabtu (4/10/2025).
Meski kecewa, ia tidak larut dalam kegagalan. Justru dari momen itu, ia menemukan jalan lain. “Saya sempat sedih tidak bisa ikut MQK nasional dan bertemu tokoh-tokoh besar. Tapi kemudian ada teman mengirim poster Halaqah Internasional 2025. Saya pikir: kenapa tidak coba?” ujarnya.
Mengangkat Isu Sehari-hari
Didampingi Kasubdit Ma'had Aly Dr Mahrus Elmawa. (FOTO: Rizqi for TIMES Indonesia)
Alih-alih memilih tema rumit, Zakaria justru menyoroti hal yang sering diremehkan, seperti sampah puntung rokok.
“Bagi saya ini bukan soal halal-haram rokok, tapi soal dampaknya. Puntung rokok itu racun. Kalau terbawa hujan, bisa merusak tanah, sungai, hingga laut. Ekosistem jadi korban,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa merokok adalah pilihan pribadi, tetapi setiap pilihan membawa konsekuensi. “Kalau mau merokok, silakan. Tapi jangan abaikan dampaknya pada orang lain dan lingkungan,” tegasnya.
Gagasan Solutif di Forum Internasional
Di forum internasional, Zakaria tidak berhenti pada kritik. Ia menawarkan solusi konkret dan kreatif:
1. Asbak portabel berbentuk tabung kecil agar puntung rokok tidak dibuang sembarangan.
2. Chip penyedot asap yang bisa ditempel di kerah baju perokok untuk menyaring asap berbahaya sebelum menyebar.
3. Teknologi penyaring asap di ruang publik agar udara tetap sehat dan bersih.
Gagasan ini menuai respons positif. Bahkan ada peserta dari UIN Alauddin Makassar yang menambahkan ide abu rokok bisa diolah menjadi pupuk bernilai ekonomi.
Tak Minder Meski Lawannya Dosen
Mayoritas peserta Call for Paper dalam forum tersebut adalah lulusan S2, dosen, bahkan banyak yang sudah berkeluarga. Zakaria sendiri masih berstatus mahasantri semester delapan. Namun ia tak merasa rendah diri.
“Tapi saya tidak minder. Semua orang belajar di ruangnya masing-masing. Justru saya merasa dapat banyak ilmu dari mereka,” katanya.
Amanah Beasiswa
Bagi Zakaria, keikutsertaan ini bukan semata prestasi pribadi. Ia ingin menunjukkan bahwa mahasantri Ma’had Aly juga mampu bersaing di level internasional.
“Kampus jangan hanya dikenal dari kuantitas, tapi juga kualitas SDM-nya. Kita harus menunjukkan sisi akademik yang bisa dibanggakan,” ungkapnya.
Selain itu, ia menekankan tanggung jawab moral sebagai penerima beasiswa Baznas. “Beasiswa itu amanah. Cara bersyukur adalah dengan bersungguh-sungguh belajar. Kalau sudah dibiayai tapi malah malas, itu dzalim. Kita harus menghargai orang-orang yang telah membantu biaya pendidikan kita,” tegasnya.
Sekali lagi, bagi Zakaria, kegagalan hanyalah jalan menuju pintu lain yang lebih luas. Dari gagal di MQK, ia justru berhasil mengangkat nama Ma’had Aly Al-Tarmasi di kancah internasional.
“Yang penting jangan berhenti mencoba. Setiap kesempatan bisa jadi awal baru,” pungkasnya. (*)
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Imadudin Muhammad |