TIMES JATIM, MALANG – Di tengah dinamika penegakan hukum yang kerap dianggap lamban dan berbelit, sosok Dr. Yayan Riyanto, tampil sebagai advokat yang menaruh perhatian serius pada upaya percepatan penyelesaian perkara hukum.
Baginya, keadilan hanya dapat hadir bila prosesnya berjalan transparan, jelas, dan tidak dibiarkan mengendap tanpa kepastian.
“Banyak perkara seharusnya bisa selesai cepat. SOP itu idealnya dua minggu, tapi kenyataannya ada yang bertahun-tahun. Itu sangat menyulitkan pencari keadilan,” ujarnya.
Masa Kecil yang Menyalakan Mimpi
Ketertarikan Yayan pada dunia advokat sudah muncul sejak SMP. Ia mengaku sering terinspirasi oleh film-film barat yang menggambarkan pengacara tampil lugas membela kliennya di berbagai situasi.
“Di benak saya waktu itu, profesi advokat sangat menarik karena tidak terikat waktu. Ada kebebasan dan keberanian di sana,” kenangnya.
Setelah lulus dari SMAN 4 Kota Malang pada 1992, Yayan melanjutkan studi ke Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kampus baginya bukan hanya tempat belajar teori, tetapi juga arena pertumbuhan karakter.
Menempa Kemampuan Bicara
Meski kini dikenal komunikatif, Yayan mengaku dulu bukan tipe mahasiswa yang mudah berbicara. Rasa minder dan kesulitan mengungkapkan pendapat justru menjadi tantangan besar di awal kuliahnya.
Namun perubahan itu datang ketika ia bergabung dengan MAPALA UMM. Forum-forum diskusi panjang menjadi ruang latihan untuk melatih keberaniannya berbicara, menyampaikan pendapat, dan berargumentasi.
“Rapat lima jam di MAPALA itu sekolah tersendiri. Lama-lama saya dipaksa belajar bicara. Tanpa saya sadari, public speaking saya terbentuk di sana,” jelasnya.
Baginya, keterampilan berbicara bukan sekadar aksesori advokat. Itu adalah senjata. Ia sering menekankan bahwa banyak pengacara menguasai hukum, tetapi tidak piawai menyampaikan argumen.
“Pengacara itu harus bisa bicara dan menulis. Argumentasi harus jelas, singkat, dan berdasar. Kalau omong hanya pintar tapi tidak punya dasar, itu bukan argumentasi,” tegasnya.
Tak hanya itu, Yayan terus meningkatkan kapasitas akademiknya hingga meraih gelar doktor. Menurutnya, pendidikan tinggi adalah bentuk tanggung jawab moral seorang advokat agar memiliki wawasan hukum yang memadai.
“Pengacara wajib menambah ilmu. S1, S2, S3 itu bukan soal gengsi, tapi menunjukkan kompetensi,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya seorang lawyer memiliki kantor hukum yang jelas sebagai wujud profesionalisme dan komitmen kepada publik.
Di tengah aktivitas profesinya, Yayan tetap memegang teguh idealisme memberikan pendampingan hukum. Baginya, membantu tanpa menerima bayaran adalah panggilan hati.
“Pendampingan tanpa bayar itu kebanggaan. Dan saya sering melakukannya. Itu cara kita menjaga integritas,” ujarnya.
Menyoroti Perubahan dan Tantangan Profesi Hukum
Yayan melihat tren perubahan di sektor hukum mengalami dinamika cukup keras. Kasus-kasus penangkapan oknum aparat dan profesi hukum menjadi cermin betapa seriusnya upaya membersihkan praktik “permainan perkara”.
“Beberapa tahun terakhir, banyak kasus markus terbongkar. Itu artinya ada perubahan, ada perbaikan,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa persoalan mendasar tetap ada: berlarutnya penanganan kasus, misalnya kata Yayan di institusi kepolisian akibat tarik menarik kepentingan dan ketidakjelasan alur.
“Ibarat masuk ke lautan. Kadang hilang arah. Pelapor punya kepentingan, terlapor punya kepentingan, polisi masuk sebagai penengah. Kalau SOP tidak ditegakkan, ya pasti berlarut,” jelasnya.
Dalam perjalanan kariernya, Yayan terlibat dalam sejumlah perkara penting, termasuk memenangkan gugatan terhadap anak Zulkifli Hasan serta mendampingi Jenderal Kemal Idris dalam proses hukum. Pengalaman tersebut menjadi bukti kualitasnya sebagai advokat yang berani, fokus, dan menjunjung integritas.
Melihat dinamika hukum saat ini, Yayan berharap RKHUP baru beserta peraturan pendukungnya dapat menjadi angin segar bagi percepatan penanganan perkara.
“Semoga RKHUP terbaru bisa menjawab harapan masyarakat luas. Kalau semua kembali ke SOP, proses hukum akan jauh lebih adil,” pungkasnya. (*)
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |