https://jatim.times.co.id/
Berita

Jimpitan Beras, Tradisi Gotong Royong yang Masih Lestari di Kauman Malang

Rabu, 17 September 2025 - 14:36
Jimpitan Beras, Tradisi Gotong Royong yang Masih Lestari di Kauman Malang Achmad Nailul, Ketua Karang Taruna di wilayah Kauman mengumpulkan beras dari warga. Tradisi jimpiytan beras di wilayah Kauman, Kota Malang ini sudah berlangsung sejak tahun 1950an. (foto: Najwa Dewi Clarissanti/TIMES Indonesia)

TIMES JATIM, MALANG – Di tengah arus modernisasi, warga Kelurahan Kauman , Kecamatan Klojen, Malang, masih mempertahankan sebuah tradisi gotong royong unik yang dikenal sebagai jimpitan beras. Tradisi ini telah berlangsung sejak tahun 1950-an dan terus dilestarikan lintas generasi.

Achmad Nailul Qirom Arromdoni, Ketua Karang Taruna di wilayah Kauman RT 01 RW 03, menjelaskan bahwa tradisi ini bermula dari kebiasaan masyarakat saat melayat atau takziah. Karena wilayah Kauman yang berada di belakang Masji Jami Malang pada masa itu merupakan pusat kota, banyak orang tidak dapat hadir langsung ke rumah duka.

Sebagai gantinya, warga mengumpulkan beras yang kemudian dijual. Uang hasil penjualan digunakan untuk membiayai kebutuhan kematian, mulai dari kain kafan, papan telisik, hingga ongkos penggali kubur.

“Dulu masyarakat tidak bisa sepenuhnya bergantung pada kas kampung. Maka beras ini dijual dan hasilnya dipakai untuk kebutuhan kematian,” ujar Nailul, Senin (15/9/2025).

Kegiatan pengumpulan beras dilakukan setiap minggu. Warga berkeliling kampung sambil menyerukan “beras mingguan” sebagai tanda. Masyarakat lalu memberikan beras seikhlasnya tanpa aturan khusus. Seluruh kegiatan ini dikelola oleh Persatuan Kematian Kauman Malang (PKKTM).

Apabila ada warga yang meninggal, sebagian tandon beras langsung disalurkan kepada keluarga berduka. Namun jika tidak ada kematian, beras dijual kepada warga kurang mampu, terutama janda atau duda. Harga beras ini jauh lebih murah dibanding pasaran.

Jimpitan-Beras-a.jpgKetua Karang Taruna di wilayah Kauman setiap pekan mengumpulkan beras tradisi jimpitan yang sumbangkan warga. Beras ini akan diberikan kepada warga miskin, atau untuk keluarga yang tengah berduka. (foto: Najwa Dewi Clarissanti/TIMES Indonesia)

“Kalau di luar sekitar Rp15 ribu per kilo, di sini hanya sekitar Rp7.500,” jelas Nailul.

Penyeleksian keluarga penerima dilakukan oleh pihak RW bersama pengurus PKKTM. Hasil penjualan masuk ke kas organisasi yang kemudian dipakai untuk menanggung kebutuhan pemakaman, termasuk liang lahat dan biaya penggali kubur.

Sistem ini dianggap meringankan beban keluarga yang kehilangan sekaligus membantu warga kurang mampu memperoleh beras dengan harga terjangkau.

Meski tidak semua warga selalu berpartisipasi setiap minggu, Nailul menegaskan bahwa masyarakat percaya penuh dengan mekanisme yang telah berjalan turun-temurun ini.

“Perbedaannya dengan gotong royong lain adalah, di sini beras tidak hanya disalurkan, tapi juga bisa dijual murah dan hasilnya jadi kas bersama. Jadi sama-sama diuntungkan,” katanya.

Tradisi jimpitan beras yang tumbuh dalam radisi Jawa diyakini bermula dari inisiatif Ketua RW pada 1950-an. Nailul menilai keberlanjutan tradisi bergantung pada generasi muda. “Kita harus peka terhadap budaya di sekitar kita. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan meneruskan?” ujarnya.

Ia berharap tradisi jimpitan beras tetap lestari dan tidak kehilangan makna. “Semoga ke depan tradisi ini tetap ada dan tetap terjaga keasliannya tanpa ada niat yang merusaknya,” ucapnya. (*)

Pewarta : TIMES Magang 2025
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.