https://jatim.times.co.id/
Sosok

Bunga Desa Neng Ipuk

Rabu, 10 September 2025 - 20:51
Bunga Desa Neng Ipuk Bupati Banyuwangi, Hj Ipuk Fiesntiandani Azwar Anas (Foto: Dokumen TIMES Indonesia)

TIMES JATIM, MALANG – Namanya Hj Ipuk Fiesntiandani Azwar Anas. Masih ingat betul, dulu, saat mas Abdullah Azwar Anas masih aktif di IPNU Jatim,  teman-teman dekat Mas Anas di IPNU memanggilnya Neng Ipuk.  

Selain di lingkaran IPNU, saya mengenalnya tidak dari podium atau ruang sidang resmi. Pertama kali (sejak menjabat bupati), saya berbincang dengan Neng Ipuk santai saat malam Anugerah TIMES Indonesia (ATI) di Surabaya. 

Neng Ipuk tetap seperti dulu. Ia datang bukan dengan aura pejabat yang kaku, melainkan dengan kerendahhatian yang jarang. Beberapa teman lama yang baru yang kala kali itu bersua, langsung merasa dihargai. Setiap kalimatnya ia balas dengan senyum dan tatapan mata penuh perhatian.

Kesempatan berikutnya, saya menemuinya lagi. Kali ini dalam kunjungan studi tiru ke Pemkab  Banyuwangi. Neng Ipuk memaparkan reformasi birokrasi Banyuwangi tanpa teks. Tanpa jargon berlebihan. Santai, mengalir, tapi tajam. 

Dari situ saya paham: ia bukan sekadar bupati. Ia seorang pembelajar yang percaya reformasi birokrasi bukan hanya soal sistem, tetapi juga soal hati.

Dan hari ini, tepat di ulang tahunnya, kisah perjalanan Neng Ipuk Fiestiandani layak kita catat sebagai teladan.

Lahir di Magelang, 10 September 1974, Neng Ipuk tumbuh dengan akar pendidikan di dunia keguruan. Sarjana pendidikannya ditempuh di IKIP Jakarta. Sebelum menjadi bupati, ia dikenal luas sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Banyuwangi selama satu dekade. Dari situ, ia belajar detail kehidupan rakyat kecil: dapur yang mengepul, anak yang kekurangan gizi, perempuan yang butuh diberdayakan.

Jalan politiknya tak instan. Ia mendampingi suaminya, Abdullah Azwar Anas, dua periode memimpin Banyuwangi. Baru pada 2020 ia maju sendiri, membawa misi melanjutkan sekaligus menyempurnakan pembangunan. Dilantik Februari 2021, Neng Ipuk jadi perempuan kedua yang pernah memimpin Banyuwangi. Tahun 2025 ini, ia melanjutkan periode keduanya.

Bunga Desa Neng Ipuk yang Merakyat

Kalau ada istilah “bupati blusukan”, Banyuwangi punya contohnya. Neng Ipuk punya program Bupati Ngantor di Desa. Biasa disebut Bunga Desa. Dari sinilah muncul istilah di kawan-kawan media, Bunga Desa Neng Ipuk.

Di sini, pendopo pindah ke desa. Meja pelayanan dibawa serta. Warga tak perlu datang ke kota, bupati yang datang ke mereka.

Pernah suatu kali ia datang, bukan hanya duduk di balai desa, tapi jalan kaki menyusuri kampung. Menengok ibu hamil, mencatat rumah tidak layak huni, hingga menegur ASN yang lamban menindaklanjuti keluhan. Gaya kepemimpinan seperti ini membuat rakyat merasa diperhatikan.

Tidak ada jarak. Ia bisa duduk lesehan dengan warga, lalu beberapa jam kemudian bicara dengan diplomat atau investor. Keduanya ia hadapi dengan bahasa yang sama: lugas, rendah hati, dan jelas.

Seperti halnya mas Anas, adik iparnya Gus Mufti dan istrinya Neng Wardah, Neng Ipuk ini tidak berhenti di zona nyaman. Bayangkan, di tengah sibuk memimpin kabupaten, ia kembali kuliah. Magister Kebijakan Publik di Universitas Airlangga ia selesaikan pada 2024. Ia juga sempat kursus pelayanan publik ke Korea, Amerika, hingga Eropa.

“Belajar tidak mengenal usia,” katanya. Kalimat sederhana, tapi terasa maknanya. Ia bukan tipe pejabat yang merasa sudah paling tahu. Ia selalu mau mendengar, menerima masukan, bahkan kritik. Itu sebabnya inovasi di Banyuwangi tidak pernah berhenti.

Hasilnya terukur. Angka kemiskinan Banyuwangi turun. Stunting berkurang. Indeks Pembangunan Manusia naik. Tak ada lagi desa tertinggal. Semua minimal desa maju, sebagian besar sudah desa mandiri.

Prestasi itu membuatnya diganjar penghargaan nasional. Dari Manggala Karya Kencana BKKBN hingga Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha dari Presiden Jokowi. Penghargaan bukan tujuan utamanya, tapi justru datang sebagai efek kerja tulus.

Di balik semua capaian itu, Ipuk tetap tampil apa adanya. Sering kita lihat ia hanya mengenakan kemeja putih sederhana, sepatu kets, rambut diikat rapi. Tak ada jarak, tak ada protokol berlebihan.

Ia membuktikan bahwa menjadi pemimpin besar bukan soal gaya. Tapi soal hati yang dekat dengan rakyat, telinga yang mau mendengar, dan tangan yang mau bekerja.

*

Hari ini, Neng Ipuk Fiestiandani menapaki usia baru. Usia yang bukan sekadar angka, tapi catatan perjalanan seorang perempuan yang memilih jalan pengabdian.

Selamat ulang tahun, Neng Ipuk. Semoga kesehatan dan kekuatan selalu menyertai.

Dalam filsafat Jawa, umur hanyalah “candra”, cahaya yang menuntun jalan. Yang abadi bukanlah angka, melainkan jejak kebaikan. Dan jejak itu sudah jelas tertulis di Banyuwangi. (*)

Pewarta : Khoirul Anwar
Editor : Khoirul Anwar
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.