https://jatim.times.co.id/
Pendidikan

Malang Raya dalam Sejarah: Malang Era Kerajaan Jenggala Hingga Panjalu (Bagian 2)

Senin, 03 Maret 2025 - 11:40
Malang Raya dalam Sejarah: Malang Era Kerajaan Jenggala Hingga Panjalu (Bagian 2) ilustrasi sejarah Malang yang menggambarkan peralihan dari Kerajaan Kanjuruhan ke Jenggala dan Panjalu. (Foto: AI)

TIMES JATIM, MALANG – Malang merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang memiliki sejarah panjang sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno. Wilayah ini pernah menjadi bagian dari berbagai kerajaan besar, seperti Kanjuruhan, Kahuripan, Jenggala, dan Panjalu (Kadiri). Jejak sejarahnya dapat ditelusuri melalui berbagai prasasti dan peninggalan arkeologis yang masih ada hingga kini.

Kanjuruhan: Cikal Bakal Peradaban Malang

Sejarah Malang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Kerajaan Kanjuruhan, kerajaan tertua yang pernah berdiri di wilayah ini. Berdasarkan Prasasti Dinoyo (682 Saka/760 Masehi), kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja bernama Dewa Simha dan kemudian diwariskan kepada putranya, Liswa atau Limwa, yang bergelar Gajayana.

Dalam masa pemerintahannya, Gajayana melakukan berbagai pembangunan, termasuk mendirikan tempat-tempat pemujaan dan memberikan berbagai fasilitas bagi rakyatnya. Salah satu peninggalan dari masa ini yang masih ada hingga kini adalah Candi Badut, yang terletak di Karangwidoro, Kabupaten Malang.

Candi ini diyakini sebagai tempat pemujaan yang didirikan oleh Gajayana. Selain itu, terdapat pula yoni Candi Wurung, yang ditemukan di Merjosari, Lowokwaru, Malang.

Sejarawan seperti Riboet Darmosoetopo dalam bukunya Sejarah Malang Kuno menyebut bahwa Kanjuruhan kemungkinan besar merupakan kerajaan yang berkembang secara independen di Malang sebelum akhirnya masuk dalam pengaruh kerajaan yang lebih besar di Jawa Timur.

Malang dalam Bayang-Bayang Jenggala dan Panja

Setelah runtuhnya Kerajaan Kanjuruhan, wilayah Malang masuk ke dalam kekuasaan Kerajaan Kahuripan, yang didirikan oleh Raja Airlangga pada abad ke-11. Namun, setelah Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaan ini menjadi dua pada tahun 1045 Masehi—yakni Jenggala dan Panjalu (Kadiri)—Malang menjadi bagian dari Jenggala.

Pembagian ini bertujuan untuk menghindari konflik antara dua putra Airlangga yang berebut tahta. Jenggala mendapatkan wilayah timur, termasuk Surabaya, Pasuruan, Malang, dan sekitarnya, sementara Panjalu menguasai wilayah barat dengan pusat pemerintahan di Daha (Kadiri). Gunung Kawi menjadi batas alami antara kedua kerajaan ini.

Namun, pembagian ini tidak serta-merta menciptakan kedamaian. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam bukunya A History of Modern Indonesia Since c. 1200 mencatat bahwa konflik antara Jenggala dan Panjalu terus terjadi selama beberapa dekade setelah pembagian tersebut.

Peran Malang dalam Perebutan Kekuasaan Panjalu dan Jenggala

Pada awalnya, Jenggala dan Panjalu hidup berdampingan dalam keseimbangan kekuasaan. Namun, pada pertengahan abad ke-12, Panjalu yang diperintah oleh Raja Jayabhaya mulai memperluas pengaruhnya dan akhirnya menaklukkan Jenggala.

Kemenangan ini diabadikan dalam Prasasti Hantang (1057 Saka/1135 Masehi), yang berisi ungkapan "Panjalu Jayati" atau "Panjalu Menang". Prasasti ini juga mencatat bahwa beberapa desa di Ngantang, Kabupaten Malang, mendapat hak istimewa sebagai penghargaan karena berpihak pada Panjalu dalam perang melawan Jenggala.

Setelah kemenangan ini, wilayah Malang secara resmi berada di bawah kekuasaan Panjalu. Namun, tidak semua wilayah di sekitar Malang tunduk pada kekuasaan Panjalu begitu saja.

Perlawanan dari Wilayah Malang

Beberapa bukti menunjukkan bahwa terdapat kelompok atau wilayah di sekitar Malang yang menolak kekuasaan Panjalu dan melakukan perlawanan. Hal ini tercatat dalam Prasasti Kamulan (1116 Saka/1194 Masehi), yang menyebut adanya serangan terhadap Raja Kertajaya, raja terakhir Panjalu, dari timur Kediri.

Selain itu, Prasasti Sukun (1083 Saka/1161 Masehi) menyebut seorang penguasa bernama Sri Jayamerta, yang memberikan hak istimewa kepada Desa Sukun (diduga terletak di Malang) karena telah berperang melawan musuhnya. Namun, Sri Jayamerta tidak tercatat dalam daftar penguasa resmi Panjalu maupun Jenggala, sehingga menimbulkan dugaan bahwa ia adalah bagian dari kekuatan lokal yang menentang hegemoni Panjalu.

Sejarawan Munoz Paul dalam bukunya Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula berpendapat bahwa pada periode ini, banyak wilayah di Jawa Timur yang memiliki otonomi tersendiri dan tidak selalu tunduk kepada kerajaan pusat seperti Panjalu atau Jenggala.

Sejumlah sejarawan juga mengaitkan perlawanan terhadap Panjalu dengan konflik yang lebih luas antara kaum brahmana dan Raja Kertajaya.

1.  Konflik dengan kaum brahmana
Raja Kertajaya disebut berusaha mengurangi hak-hak brahmana dan bahkan meminta mereka untuk menyembahnya. Ini bertentangan dengan ajaran Hindu-Buddha yang dianut oleh para brahmana saat itu.

2. Penculikan Ken Dedes oleh Tunggul Ametung
Ken Dedes, yang berasal dari keluarga brahmana, diculik oleh penguasa Tumapel (sekarang bagian dari Malang). Peristiwa ini kemudian memicu naiknya Ken Arok, yang kelak mendirikan Kerajaan Singhasari.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa Malang tidak hanya menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan besar, tetapi juga memiliki dinamika politik dan sosial yang unik.

Sejarah Malang pada masa Jenggala dan Panjalu menunjukkan bahwa wilayah ini selalu berada dalam pusaran konflik dan perebutan kekuasaan. Dari era Kanjuruhan, masuk dalam pengaruh Jenggala, hingga akhirnya berada di bawah kendali Panjalu, Malang terus memainkan peran penting dalam sejarah Nusantara.

Pada bagian selanjutnya, kita akan melihat bagaimana Malang berkembang pada masa Kerajaan Singhasari dan Majapahit, serta bagaimana pengaruhnya bertahan hingga masa kini. (*)

Pewarta : Achmad Fikyansyah
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.