TIMES JATIM, SURABAYA – Gelombang transformasi digital tak hentinya menghadirkan kejutan. Dengan sentuhan ajaib Artificial Intelligence (AI), foto-foto biasa kini bermetamorfosis menjadi visual bernuansa Ghibli yang mempesona.
Namun, di balik kemudahan ini, muncul pertanyaan krusial. Apakah hal ini merupakan bentuk kemajuan dalam dunia seni, atau justru mengancam erosi nilai seni orisinal? Perdebatan sengit pun muncul, dengan berbagai pihak mempertanyakan dampaknya terhadap kualitas seni dan hak cipta di masa mendatang.
Aristarchus Pranayama K., BA., MA., dosen International Program in Digital Media atau IPDM Universitas Kristen atau UK Petra atau Petra Christian University (PCU) memberikan pandangannya terkait tren ini.
Menurutnya, penggunaan AI untuk menciptakan gambar bergaya Ghibli adalah fenomena sementara. "Orang-orang terpukau oleh kemudahan dan hasil yang menakjubkan, namun itu hanya sebuah fase," ujarnya, Selasa (13/5/2025).
Dosen yang akrab disapa Aris itu juga menekankan bahwa gaya Ghibli sudah begitu kuat dan dikenal di seluruh dunia, sehingga tidak akan terpengaruh oleh penggunaan AI yang masih terbilang baru dan terbatas.
Meskipun teknologi ini memberikan kemudahan dalam menciptakan ilustrasi, masalah hak cipta muncul sebagai topik perdebatan selanjutnya.
“Gaya tidak bisa dipatenkan, namun untuk mempertahankan hak cipta, kualitas, dan originalitas tetap harus dijaga," katanya.
Ia mengingatkan bahwa animasi, terutama karya besar seperti Ghibli merupakan hasil kolaborasi tim yang terdiri dari banyak orang. Dalam hal ini, kekhawatiran tentang pelanggaran hak cipta bisa jadi kurang relevan, mengingat karya animasi bukan hanya milik satu individu.
"AI justru bisa menjadi alat yang membantu dalam meningkatkan efisiensi kerja para animator dan ilustrator. Teknologi ini dapat mempercepat proses, seperti pembuatan storyboard dan konsep awal, dengan catatan bahwa teknologi ini digunakan secara bijaksana," kata dosen yang memiliki bidang keahlian di visual thinking dan 3D modelling itu.
Aris juga menekankan bahwa penggunaan AI itu sebagai alat bantu, bukan untuk menggantikan seluruh proses kreatif. "Kita harus mengontrol AI, bukan membiarkannya mengarahkan kita," ujarnya lebih lanjut.
Dalam jangka panjang, meskipun penggunaan AI dapat mempercepat beberapa aspek dalam produksi animasi, kreativitas manusia tetap memiliki nilai lebih.
"AI hanya membuat tampilan, tapi tidak bisa menciptakan cerita yang utuh atau memiliki emosi. Dengan kata lain, meskipun AI bisa menghasilkan gambar yang menarik, aspek cerita dan pengembangan karakter yang mendalam tetap membutuhkan sentuhan manusia," tegas dosen yang berlatar belakang penelitian visual arts, art practice, visual and digital culture ini.
Dengan begitu, fenomena penggunaan AI di bidang kreatif adalah suatu peluang, bukan ancaman. Teknologi ini membuka kemungkinan baru bagi para profesional untuk mengembangkan keterampilan dan memperkaya kreativitas mereka.
“Namun tentunya harus diimbangi dengan penggunaan yang bijak dan bertanggung jawab, agar tidak mengorbankan kualitas seni dan etika dalam berkarya,” pungkasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Magis Ghibli: Sebuah Inovasi atau Degradasi Seni? Begini Kata Dosen UK Petra
Pewarta | : Siti Nur Faizah |
Editor | : Deasy Mayasari |