https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Kursi Pejabat Tak Pernah Kosong

Jumat, 19 September 2025 - 10:10
Kursi Pejabat Tak Pernah Kosong Andriyady., SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

TIMES JATIM, MALANG – Kesibukan pejabat publik sering kali tampak seperti tanda pengabdian. Dari satu rapat ke rapat lain, dari satu gedung ke gedung lain, jadwal mereka seakan tak pernah berhenti. 

Namun di balik agenda padat itu tersembunyi ironi. Satu orang memikul banyak jabatan, sementara amanah rakyat justru terbagi-bagi.

Fenomena rangkap jabatan di Indonesia bukan sekadar cerita tentang kesibukan. Ia adalah cermin dari cara birokrasi memandang jabatan: bukan sekadar amanah, tetapi aset. Kursi jabatan menjadi tanda prestise, sekaligus sumber pendapatan tambahan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menelusuri fenomena ini secara serius. Hasilnya mengejutkan. Pada tahun 2020, terdapat 564 pejabat publik yang merangkap jabatan di lingkar BUMN. 

Dari jumlah itu, 397 orang duduk sebagai komisaris BUMN, dan 167 orang lainnya menduduki kursi komisaris di anak perusahaan BUMN.

Lebih jauh, data itu memperlihatkan ironi. Hampir 49 persen pejabat yang menduduki kursi ganda tersebut tidak sesuai dengan kompetensi teknis yang dibutuhkan. 

Mereka duduk di kursi yang menuntut pemahaman bisnis, hukum, atau teknologi, padahal latar belakangnya sama sekali berbeda. Seolah-olah, kompetensi hanyalah nomor dua, yang utama adalah posisi dan kedekatan politik.

Tak berhenti di sana. Sekitar 32 persen pejabat yang merangkap jabatan justru berpotensi menghadirkan benturan kepentingan. 

Bayangkan seorang pejabat kementerian yang bertugas mengawasi sektor tertentu, tapi sekaligus menjadi komisaris di perusahaan yang bergerak di sektor itu. Bagaimana publik bisa yakin keputusan yang diambil murni demi kepentingan rakyat, bukan demi keuntungan perusahaan tempat ia duduk?

Palu Kecil di Meja Besar

Gelombang kritik terhadap rangkap jabatan kian nyaring ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengetok Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025. Putusan itu tegas: wakil menteri dilarang rangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, komisaris BUMN/swasta, maupun pimpinan organisasi yang hidup dari APBN/APBD.

Palu kecil MK terdengar nyaring, meski menyentuh ruang yang terbatas. Aturan itu hanya menyasar wakil menteri, padahal praktik rangkap jabatan jauh lebih luas.

Di titik inilah KPK masuk dengan kajian mendalam. 

Mereka menelaah fenomena rangkap jabatan dan dampaknya pada integritas lembaga publik. Kesimpulannya jelas: larangan rangkap jabatan perlu diatur lebih tegas, melalui Peraturan Presiden (Perpres) atau bahkan Peraturan Pemerintah (PP) yang berlaku menyeluruh.

Usulan Jalan Keluar

KPK tidak berhenti pada kritik. Lembaga anti rasuah itu menawarkan resep perubahan yang lebih sistematis.

Pertama, pemerintah diminta menerbitkan Perpres tentang Larangan Rangkap Jabatan. Isinya harus jelas: definisi rangkap jabatan, ruang lingkup jabatan yang dilarang, hingga mekanisme pengawasan dan sanksi.

Kedua, perlu sinkronisasi regulasi. Larangan rangkap jabatan harus sejalan dengan UU BUMN, UU ASN, UU Administrasi Pemerintahan, dan berbagai aturan lain. Tanpa harmonisasi, aturan akan mudah dilompati celah hukum.

Ketiga, KPK mendorong reformasi remunerasi. Gaji pejabat publik harus memakai sistem single salary satu gaji yang layak dan transparan agar pejabat tidak lagi mencari “tambahan” lewat kursi lain.

Keempat, dibentuk Komite Remunerasi Independen di BUMN dan lembaga publik. Komite ini akan menilai kelayakan gaji, tunjangan, dan bonus, sehingga pengangkatan komisaris tidak lagi jadi ruang bagi transaksi politik.

Kelima, diperlukan SOP investigasi konflik kepentingan berbasis standar OECD. Dengan begitu, pengawasan bukan sekadar formalitas, tetapi benar-benar dijalankan oleh inspektorat dan satuan pengawasan internal.

Budaya Kursi Tambahan

Namun, masalah rangkap jabatan sejatinya tidak hanya soal aturan. Ia soal budaya birokrasi dan politik patronase. Dalam politik Indonesia, kursi jabatan kerap dipandang sebagai bentuk kompensasi, hadiah bagi loyalitas, atau cara mengikat pejabat ke dalam jejaring kekuasaan.

Kursi komisaris di BUMN misalnya, sering dianggap “bonus” bagi pejabat atau politisi yang berjasa. Tidak heran bila nama-nama yang muncul kerap tidak sesuai kompetensi. 

Di sinilah publik sering kecewa: jabatan yang seharusnya strategis untuk mengawasi perusahaan negara justru berubah menjadi kursi politik.

Selama budaya itu belum diputus, setiap aturan berisiko hanya menjadi tulisan indah di atas kertas.

Yang paling dirugikan dari praktik kursi ganda ini tentu rakyat. Honorarium komisaris, tunjangan jabatan, hingga fasilitas pendukung semuanya dibiayai dari APBN/APBD. Artinya, rakyat membayar pejabat yang sesungguhnya sudah digaji, tapi masih menerima insentif ganda.

Publik juga kehilangan jaminan pelayanan yang murni. Bagaimana bisa seorang pejabat fokus pada tugas utamanya jika ia harus membagi energi ke berbagai kursi? Bagaimana keputusan strategis bisa jernih jika kepentingan ganda menyertainya?

Pada akhirnya, yang memikul beban bukan pejabat itu sendiri, melainkan rakyat yang seharusnya mereka layani.

Jalan Panjang Reformasi

Pintu perubahan sesungguhnya sudah terbuka lewat putusan MK dan kajian KPK. Tapi pintu itu baru sedikit terkuak. Pertanyaannya: apakah pemerintah berani mendorongnya lebih jauh?

Reformasi rangkap jabatan membutuhkan lebih dari sekadar regulasi. Ia butuh keberanian politik untuk melawan budaya patronase, menolak godaan membagi kursi sebagai alat transaksi, dan menempatkan integritas di atas kepentingan kelompok.

Tanpa itu, rangkap jabatan akan tetap menjadi wajah ganda birokrasi Indonesia: di satu sisi melayani rakyat, di sisi lain melayani jaringan kekuasaan.

Kisah pejabat yang berpindah dari satu rapat ke rapat lain, dari satu gedung ke gedung lain, mungkin terdengar sebagai gambaran kesibukan. Tapi sesungguhnya, itu adalah potret beban ganda yang mereka pikul dan ironisnya, beban yang akhirnya jatuh ke pundak rakyat.

Putusan MK hanyalah palu kecil di meja besar. Kajian KPK hanyalah lembaran data. Yang benar-benar dibutuhkan adalah keberanian untuk berkata: satu jabatan cukup, karena amanah rakyat tidak bisa dibagi-bagi. (*)

***

*) Oleh : Andriyady., SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.