https://jatim.times.co.id/
Opini

Santri, Luka, dan Cahaya Keteguhan Iman

Minggu, 05 Oktober 2025 - 10:17
Santri, Luka, dan Cahaya Keteguhan Iman Belajar keteguhan iman bukan hanya diukur dari seberapa banyak hafalan kitab atau panjangnya doa yang terucap, melainkan dari cara seseorang berdiri kembali setelah tertimpa ujian.

TIMES JATIM, GRESIK – Di tengah reruntuhan bangunan mushalla yang menelan duka mendalam di Pondok Pesantren Al-Khoziny Buduran, Sidoarjo, kita menyaksikan kisah luar biasa tentang keteguhan iman dan kekuatan jiwa. 

Di antara debu, tangis, dan kesedihan keluarga yang kehilangan, para santri yang menjadi korban menunjukkan makna sejati dari sabar, tawakal, dan keyakinan kepada Allah Swt. Mereka bukan sekadar pelajar agama, tetapi penempuh jalan spiritual yang diuji secara langsung oleh takdir.

Salah satu di antara mereka adalah Saiful Rosi Abdillah, santri yang harus kehilangan satu kakinya demi menyelamatkan hidup. Keputusan medis itu menyisakan luka, tetapi juga menyingkap cahaya iman yang tak terukur. Tubuhnya mungkin rapuh, tetapi hatinya kuat. 

Dalam kepasrahan yang penuh makna, ayat suci seolah hidup dalam dirinya: “Katakanlah, tidak akan menimpa kami sesuatu pun melainkan apa yang telah Allah tetapkan bagi kami. Dialah pelindung kami," (QS. At-Tawbah: 51).

Dari peristiwa itu, kita belajar bahwa keteguhan iman bukan hanya diukur dari seberapa banyak hafalan kitab atau panjangnya doa yang terucap, melainkan dari cara seseorang berdiri kembali setelah tertimpa ujian. 

Saiful lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang menanamkan nilai keimanan, kejujuran, dan kasih sayang sejak kecil. Nilai-nilai inilah yang menjadi fondasi pendidikan sejati, bukan sekadar pelajaran dari kitab, tetapi pelajaran dari kehidupan yang menumbuhkan adab dan ketulusan hati.

Musibah yang menimpa santri-santri Al-Khoziny mengingatkan kita bahwa pondok pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan pusat pendidikan karakter bangsa. Pesantren membentuk manusia yang siap menghadapi dunia dengan hati yang berserah dan pikiran yang tangguh. 

Dari lingkungan pesantren lahir insan-insan yang tidak mudah menyerah, karena mereka diajari bahwa sabar dan ikhlas adalah dua pilar utama kehidupan.

Ketika kaki tak lagi mampu melangkah, hati tetap bisa berjalan menuju Allah. Ketika tangan tak lagi menggenggam, doa tetap bisa terangkat ke langit. Dari luka dan keterbatasan itu, tumbuh kekuatan batin yang mengajarkan kita makna syukur yang paling murni. 

Para santri korban musibah ini bukan hanya simbol penderitaan, tetapi cermin kekuatan spiritual yang langka mereka mengubah duka menjadi doa, keterbatasan menjadi keikhlasan, dan kehilangan menjadi ladang keberkahan.

Namun, duka mereka juga menjadi panggilan bagi kita semua umat Islam dan bangsa Indonesia untuk memperkuat solidaritas. Ketika satu pondok roboh, sejatinya seluruh umat sedang diuji: sejauh mana kepedulian dan empati kita hidup. 

Pondok pesantren adalah rumah peradaban umat, dari sanalah lahir para pendidik, pemimpin, dan penjaga moral bangsa. Maka, membangun kembali pesantren bukan sekadar memperbaiki bangunan fisik, tetapi menegakkan kembali martabat spiritual bangsa.

Pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan harus hadir memberikan pelayanan dan dukungan nyata bagi para korban. Perawatan medis, rehabilitasi fisik dan psikologis, hingga pemenuhan kebutuhan pendidikan mereka harus menjadi prioritas. 

Pendidikan mereka tidak boleh terhenti hanya karena keterbatasan tubuh. Justru dari mereka, bangsa ini bisa belajar tentang arti keteguhan dan daya juang yang sesungguhnya.

Lebih jauh, dunia pesantren perlu meneguhkan dirinya sebagai lingkungan yang inklusif dan penuh kasih. Para santri penyintas musibah ini tidak membutuhkan belas kasihan, melainkan kesempatan dan penghargaan. 

Mereka harus tetap diberi ruang untuk tumbuh, berprestasi, dan membangun masa depan. Setiap pondok harus menjadi ruang ramah bagi siapa pun tanpa diskriminasi, tanpa stigma.

Luka tidak seharusnya menjadi batas. Dengan pendidikan dan dukungan yang tepat, para santri itu bisa menjadi inspirasi. Mereka dapat belajar keahlian baru, mandiri secara ekonomi, bahkan menjadi motivator bagi sesama. Sebab, dalam setiap keterbatasan selalu ada jalan untuk berkarya, dan dalam setiap ujian selalu ada hikmah yang menyala.

Duka yang menimpa para santri Al-Khoziny bukan sekadar tragedi. Ia adalah cermin tentang bagaimana manusia diuji untuk menemukan kembali kekuatan imannya. Sebagaimana pesan bijak dari Ibn Aṭa’illah al-Sakandari: “Barang siapa permulaannya bercahaya dengan sabar dan iman, maka kesudahannya pun akan bercahaya.”

Kita berdoa agar Allah Swt. mengganti kesakitan mereka dengan pahala yang berlimpah, mengganti kehilangan dengan kekuatan batin, dan menjadikan musibah ini sebagai titik awal kebangkitan baru. Karena di balik reruntuhan bangunan, selalu ada bangunan lain yang berdiri, bukan dari batu dan semen, tetapi dari doa, cinta, dan keteguhan iman.

***

*) Oleh : Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik serta Pemerhati Isu Kebangsaan dan Pemikiran Keislaman Inklusif. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.