https://jatim.times.co.id/
Opini

Sekolah Kita Masih Sibuk Mengajar, Belum Serius Mendidik

Senin, 17 November 2025 - 23:33
Sekolah Kita Masih Sibuk Mengajar, Belum Serius Mendidik Mahsun Arifandy, Mahasiswa Magister Psikologi, UMM.

TIMES JATIM, MALANG – Ada paradoks besar dalam dunia pendidikan Indonesia: sekolah sibuk dari pagi hingga sore, kurikulum dipenuhi banyak mata pelajaran, tetapi proses mendidik justru tidak mendapat ruang yang cukup. Sistem pendidikan kita seolah percaya bahwa semakin banyak yang diajarkan, semakin pintar siswa dibuatnya. Padahal, kenyataan tidak sesederhana itu.

Sekolah hari ini masih berfungsi sebagai pusat transfer pengetahuan, bukan pusat pembentukan karakter dan cara berpikir. Siswa menghafal teori yang belum tentu mereka butuhkan, guru dikejar target administrasi, dan orang tua mengejar nilai sebagai simbol masa depan. Akibatnya, sekolah kehilangan ruh utamanya: memanusiakan manusia.

Jika kita berani jujur, problem pendidikan kita bukan pada kurangnya program, tetapi pada obsesi yang salah. Kita terlalu fokus pada hasil akademik, tetapi mengabaikan kompetensi hidup. Kita terlalu sibuk membuat aturan, tetapi lupa menumbuhkan budaya belajar. Kita terlalu banyak menambah beban kurikulum, tetapi tidak memberi ruang bagi siswa untuk memahami dirinya.

Salah satu akar masalahnya adalah pendekatan belajar yang masih sangat berorientasi pada hasil, bukan proses. Siswa “dituangkan” dengan materi, kemudian diuji, lalu dinilai. Proses belajar berubah menjadi rutinitas mekanis yang tidak mengajak siswa berpikir secara mendalam. Kalau nilai bagus dianggap cerdas, maka kegagalan dianggap lemah. Padahal kegagalan justru bagian penting dari tumbuh kembang anak.

Kita perlu mengakui bahwa sekolah telah diseret ke dalam budaya kompetisi yang tidak sehat. Lomba, ranking, akreditasi, dan label sekolah favorit menjadi standar kualitas. Sementara standar sesungguhnya—integritas, empati, kemandirian, kemampuan berpikir kritis—justru tidak terukur dalam rapor. Sekolah akhirnya hanya mengajarkan apa yang bisa diukur, bukan apa yang penting.

Di sisi lain, tantangan dunia hari ini membutuhkan kompetensi baru. Perubahan teknologi berlangsung cepat, pola interaksi sosial bergeser, dunia kerja menuntut kreativitas dan kolaborasi. Namun pendidikan kita masih berjalan seperti tiga dekade lalu. Ruang kelas masih dipimpin monolog guru, siswa duduk pasif, dan inovasi hanya menjadi jargon. Kita terlalu sering mendengar istilah “merdeka belajar”, tetapi praktiknya di lapangan masih jauh dari merdeka.

Salah satu isu yang tidak pernah serius dibahas adalah kesehatan mental siswa. Tekanan akademik, lingkungan sosial sekolah, dan tuntutan keluarga sering membuat anak kehilangan identitas. Kita jarang melihat sekolah menyediakan konselor profesional, ruang aman, atau pendekatan psikologis yang holistik. Ketika ada kasus perundungan, depresi, atau kekerasan, sekolah sering mengambil langkah defensif: menutupi, bukan memperbaiki budaya yang melahirkannya.

Padahal, pendidikan sejati tidak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan moral. Siswa yang cerdas tetapi rapuh secara mental tidak akan mampu menghadapi tantangan hidup. Sementara siswa yang mungkin biasa secara akademik tetapi memiliki keberanian, kejujuran, dan daya juang—dialah yang bisa bertahan dan memberi kontribusi nyata bagi masyarakat.

Guru juga berada pada posisi yang sulit. Mereka dipuji sebagai ujung tombak pendidikan, tetapi dibebani laporan dan struktur birokrasi yang tidak manusiawi. Banyak guru terpaksa memprioritaskan administrasi ketimbang mempersiapkan materi yang kreatif. Akibatnya, suasana belajar menjadi monoton dan tidak inspiratif. Jika guru tidak merdeka mengajar, bagaimana mungkin siswa merdeka belajar?

Kebijakan pendidikan kita juga terlalu sering menggunakan logika proyek. Ada program baru, ada pelatihan, ada sosialisasi, tetapi keberlanjutan sering terlupakan. Evaluasi lebih sering formalitas daripada alat perbaikan. Padahal pendidikan membutuhkan konsistensi. Tidak ada perubahan besar yang terjadi dalam satu tahun anggaran. Pendidikan adalah perjalanan panjang, bukan lomba sprint.

Salah satu cara mereformasi pendidikan adalah dengan mengubah fokus dari “mengajar” menjadi “mendidik.” Mengajar adalah memberikan informasi; mendidik adalah membentuk manusia. Mengajar bisa dilakukan mesin; mendidik membutuhkan hati, keteladanan, dan relasi antarmanusia. Sekolah harus menjadi ruang dialog, bukan ruang monolog. Harus menjadi tempat anak merasa aman menjadi dirinya sendiri, bukan tempat yang menekan mereka untuk menjadi orang lain.

Kurikulum kita juga perlu memberi ruang bagi kreativitas dan kehidupan nyata. Siswa perlu belajar bagaimana mengelola konflik, bekerja sama, merawat lingkungan, menggunakan teknologi secara bijak, dan memahami isu sosial di sekitarnya. Mereka perlu memahami ekonomi dasar, literasi digital, etika, kesehatan mental—hal-hal yang memengaruhi hidup mereka setiap hari. Ini tidak berarti pelajaran akademik dikurangi secara radikal, tetapi harus diarahkan pada konteks yang relevan.

Perubahan juga harus datang dari rumah. Orang tua sering menjadi sumber tekanan terbesar bagi anak. Obsesi terhadap nilai membuat anak kehilangan keberanian untuk mencoba hal baru. Padahal, dukungan emosional dan ruang untuk bereksplorasi jauh lebih penting daripada skor ujian. Keluarga harus menjadi mitra pendidikan, bukan “komite penilai” bagi anak.

Pendidikan Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah. Tetapi kita tidak boleh pesimis. Kita memiliki guru-guru luar biasa, komunitas pendidikan yang kreatif, dan jutaan siswa yang penuh potensi. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk mengubah paradigma: dari mengejar angka menjadi merawat manusia.

Bangsa ini hanya akan maju jika pendidikan benar-benar memanusiakan warganya. Dan tugas itu bukan hanya milik pemerintah atau sekolah, tetapi milik kita semua sebagai bagian dari masyarakat yang ingin melihat masa depan Indonesia lebih cerah.

***

*) Oleh : Mahsun Arifandy, Mahasiswa Magister Psikologi, UMM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.