TIMES JATIM, MALANG – Setiap kali musim politik tiba, rakyat kembali disapa dengan janji. Janji tentang lapangan kerja, harga bahan pokok yang stabil, akses pendidikan yang merata, hingga jargon besar tentang kesejahteraan.
Setelah pesta demokrasi usai, suara rakyat perlahan kembali sunyi, dan partai politik seperti kehilangan daya hidupnya di luar masa kampanye. Ironisnya, partai yang mestinya menjadi motor kesejahteraan rakyat, kini lebih sering tampil sebagai penonton, bahkan kadang menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Padahal, secara filosofis, partai politik lahir dari rahim masyarakat. Ia diciptakan untuk memperjuangkan kepentingan publik, mengontrol kekuasaan, dan memastikan arah pembangunan berpihak pada rakyat kecil.
Tetapi yang terjadi kini justru sebaliknya: rakyat dipaksa hidup dalam sistem yang “mempertuhankan partai”, bukan partai yang mengabdi pada rakyat. Kekuasaan menjadi tujuan, bukan sarana untuk menegakkan kesejahteraan.
Partai politik di Indonesia hari ini ibarat rumah besar yang pintunya selalu terbuka saat pemilu, tapi tertutup rapat ketika rakyat mengetuknya di masa sulit. Mereka hadir di baliho, bukan di sawah; di panggung debat, bukan di ruang pengaduan rakyat; di ruang rapat elit, bukan di dapur masyarakat miskin. Semua ini memperlihatkan satu hal: partai terlalu sibuk mengatur strategi kekuasaan hingga lupa pada mandat ideologisnya.
Jika menengok sejarah politik Indonesia, partai pernah menjadi mesin perubahan. Di masa pergerakan nasional, partai adalah wadah kaum terdidik dan rakyat untuk menantang kolonialisme dan memperjuangkan kemerdekaan. Tetapi kini, maknanya bergeser. Dari “alat perjuangan rakyat” menjadi “alat perebutan kekuasaan”.
Bentuknya tampak nyata: kaderisasi yang lebih menekankan loyalitas ketimbang kualitas, politik uang yang menggantikan argumentasi ideologis, dan sistem patronase yang mengekang kreativitas generasi muda politik. Partai bukan lagi tempat menumbuhkan pemimpin masa depan, melainkan tempat menampung siapa pun yang punya modal dan relasi kuat.
Ketika orientasi partai hanya pada bagaimana menempati jabatan, maka kesejahteraan rakyat hanya akan menjadi jargon yang dipoles setiap lima tahun sekali. Akibatnya, kebijakan publik pun mudah tergadai pada kepentingan elite politik. Subsidi dialihkan, pajak dinaikkan, dan sumber daya alam dikomersialisasi atas nama pembangunan, sementara ketimpangan sosial tetap melebar dari tahun ke tahun.
Kesejahteraan rakyat tidak bisa lahir dari slogan, tetapi dari keberpihakan politik yang konkret. Di sinilah partai seharusnya bekerja sebagai institusi advokasi sosial. Mengawal kebijakan dari pusat hingga daerah, memastikan regulasi berpihak pada petani, nelayan, buruh, guru honorer, hingga UMKM.
Partai punya struktur, kader, dan jaringan yang luas. Mestinya itu menjadi kekuatan sosial untuk membangun basis kesejahteraan dari bawah, bukan sekadar menunggu proyek dari atas.
Jika partai mampu hadir di desa-desa dengan program nyata pendampingan ekonomi, pelatihan keterampilan, advokasi hukum, hingga pendidikan politik rakyat maka kepercayaan publik akan tumbuh secara organik.
Namun sayangnya, banyak partai justru menjadikan rakyat sebagai komoditas elektoral. Mereka hadir saat butuh suara, lalu menghilang saat rakyat butuh suara mereka. Partai tak ubahnya perusahaan politik yang menjual citra, bukan perjuangan.
Demokrasi elektoral kita menjadi mahal karena partai kehilangan idealisme. Padahal, tanpa idealisme, politik kehilangan arah; dan tanpa arah, kesejahteraan hanya menjadi fatamorgana di tengah padang janji.
Membangun Partai yang Menyejahterakan
Sudah saatnya partai politik membangun paradigma baru, partai sebagai penggerak kesejahteraan rakyat. Bukan sekadar mesin elektoral, melainkan motor sosial yang membumikan nilai-nilai demokrasi ekonomi dan keadilan sosial.
Kuncinya ada pada tiga hal. Pertama, ideologisasi kader, yakni menanamkan kesadaran bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan keuntungan. Partai harus kembali pada roh idealnya: menjadi sekolah politik yang melahirkan pemimpin berintegritas, bukan sekadar menyalurkan ambisi kekuasaan.
Kedua, reformasi pendanaan partai. Selama partai bergantung pada donatur besar atau iuran elite, maka kebijakan partai akan selalu berpihak pada yang membiayai, bukan pada yang memilih. Negara perlu memperkuat sistem bantuan keuangan publik yang transparan agar partai tidak tersandera kepentingan oligarki.
Ketiga, politik kesejahteraan berbasis bukti. Partai harus berani memanfaatkan data dan riset dalam merumuskan kebijakan, bukan sekadar berbicara dengan sentimen populis. Pusat riset partai harus hidup, agar kebijakan yang diusung tidak hanya populer, tapi juga solutif.
Rakyat tidak butuh partai yang sempurna, tetapi partai yang jujur dan bekerja. Partai yang mau mendengar jerit nelayan di pesisir, keluhan petani di ladang, dan harapan mahasiswa di ruang kelas. Sebab kesejahteraan bukan sekadar hasil dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga hasil dari keberanian politik untuk berpihak pada mereka yang lemah.
Jika partai masih menjadikan rakyat sekadar alat legitimasi kekuasaan, maka demokrasi hanya akan melahirkan oligarki baru dengan wajah yang berbeda. Tapi bila partai berani menjadi ruang belajar bagi kesejahteraan rakyat, maka politik akan kembali menemukan makna sejatinya: sebagai jalan pengabdian.
Dan mungkin, di hari itu nanti, rakyat tak lagi dipartai melainkan menjadi bagian dari partai yang benar-benar berpihak pada mereka.
***
*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |