TIMES JATIM, JEMBER – Setiap kali isu gula mencuat, yang sering jadi korban adalah petani tebu. Mereka sudah banting tulang dari menanam hingga menggiling, tapi ketika masuk ke pasar, harga ditekan habis-habisan.
Sementara itu, keuntungan justru dinikmati para perantara. Kondisi ini menunjukkan kelemahan tata niaga gula kita yang belum berpihak pada petani.
Dalam rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Kementerian Perdagangan menyebut kebutuhan gula nasional mencapai 7,2 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, 3,4 juta ton untuk konsumsi rumah tangga, sedangkan 3,8 juta ton untuk industri.
Sayangnya, produksi dalam negeri baru mampu sekitar 2,3 juta ton. Akibatnya, defisit besar ini harus ditutup dengan impor (Neraca.co.id, 2025). Ironisnya, di tengah keterbatasan produksi, rembesan gula rafinasi justru masuk ke pasar ritel dan membuat gula petani makin sulit terserap.
Penelitian yang pernah saya lakukan di Situbondo, Jawa Timur (Annals of Agri-Bio Research, 2021), menunjukkan betapa rapuhnya kelembagaan tata niaga di tingkat petani. Banyak petani lebih memilih menjual tebunya ke redeemer (penebas) dibanding pabrik gula. Alasannya sederhana: harga lebih tinggi dan uang cair lebih cepat.
Tapi pilihan itu punya harga mahal. Rantai dagang makin panjang, posisi petani semakin lemah, dan harga di pasar tetap tidak stabil. Kelembagaan seperti koperasi dan asosiasi petani kerap tak berfungsi maksimal karena rendahnya kepercayaan (trust) antar pelaku. Akibatnya, petani berjalan sendiri-sendiri dan mudah dipermainkan pasar.
Dalam teori kesejahteraan, pasar yang sehat seharusnya memberi manfaat yang adil bagi semua pihak. Faktanya, pasar gula kita tidak berjalan seperti itu.
Petani kehilangan haknya, konsumen tetap harus bayar mahal, dan nilai tambah justru tersedot ke pihak perantara. Inilah yang disebut kerugian sosial, atau dalam istilah ekonomi: deadweight loss.
Sementara itu, teori keunggulan kompetitif mengingatkan bahwa daya saing hanya bisa muncul jika kelembagaan kuat dan efisien. Bagi petani tebu, kelembagaan itu bisa berupa koperasi yang sehat, asosiasi yang transparan, atau pola kemitraan dengan pabrik yang memberi kepastian harga dan penyerapan.
Kalau serius ingin membenahi tata niaga, ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama, perkuat koperasi dan asosiasi petani tebu agar bisa menjadi wadah tawar-menawar kolektif.
Kedua, kemitraan dengan pabrik gula harus berbasis kepercayaan, dengan harga yang transparan dan serapan yang pasti. Ketiga, tutup rapat rembesan gula rafinasi yang selama ini mengacaukan pasar.
Petani tebu tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh sistem yang adil dan kelembagaan yang melindungi. Selama kelembagaan tata niaga masih rapuh, petani akan terus jadi korban.
Kedaulatan pangan, yang sering kita gaungkan, tidak akan pernah tercapai tanpa kesejahteraan petani. Karena dari petanilah pondasi kedaulatan ekonomi bangsa itu dibangun.
***
*) Oleh : Dr. Mochamad Rizal Umami, M.ST., Manager Inkubator Bisnis Politeknik Negeri Jember & Peneliti Economica Institute.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |