TIMES JATIM, MALANG – Di ruang-ruang perencanaan, para teknokrat tampil gagah dengan barisan angka. Grafik menanjak, tabel rapi, dan laporan tebal yang seakan tanpa cacat titik koma. Panggung ini tampak indah, penuh logika, dan meyakinkan.
Namun di luar sana, rakyat berbisik lirih tentang kebutuhan yang sederhana: jalan kampung agar tidak lagi becek, sawah tetap terbuka, sekolah tidak bocor atapnya, hingga UMKM bisa tumbuh dengan nafas panjang.
Di sinilah sering terjadi jarak yang lebar antara panggung data dengan panggung aspirasi. Pembangunan teknokratik lahir dari dokumen akademis, indikator makro, dan rencana jangka panjang. Ia mengedepankan evidence-based planning.
Sementara pokok pikiran DPRD tumbuh dari lorong-lorong desa, dari tatapan ibu-ibu yang menanti air bersih, dari petani yang menginginkan jalan menuju sawahnya. Lebih kontekstual, responsif, dalam menyentuh aspek kehidupan rakyat.
Karena itu terasa ganjil ketika ada OPD begitu bangga menyebut programnya “teknokratik.” Seolah lahir dari riset panjang nan berlapis, namun faktanya hanya berupa tambal jalan kecil, pemasangan lampu, atau bantuan receh. Jika pembangunan strategis yang diagungkan pada akhirnya berwujud kegiatan mikro, maka klaim itu hanya menipu diri sendiri.
Pokir sering dipandang sebelah mata, dianggap sekadar titipan proyek kecil. Padahal justru di situlah denyut nadi rakyat bergetar. Jalan kecil bisa menjadi jembatan harapan anak-anak desa menuju sekolah. Penerangan sederhana menjaga keamanan ibu-ibu pulang pengajian. Bantuan langsung dapat menahan petani agar tidak menjual tanah warisan. Pembangunan sejati hadir di titik-titik kecil yang paling dekat dengan kehidupan rakyat.
Dalam sebuah diskusi publik, seorang peserta menohok Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Malang. Kritiknya lugas: teknokratik seharusnya berbicara arah besar industri, tata ruang, ketahanan pangan, strategi jangka panjang. Jika yang dikerjakan hanya urusan mikro, maka OPD tak lebih dari tukang cat ulang tembok retak.
Bangga dengan kerja kecil setiap tahun, namun lupa bahwa rumah besar nyaris roboh. Kritik ini memang tajam, tetapi justru membangunkan kesadaran.
Memang benar, bila OPD hanya terpaku pada rencana teknokratik tanpa menyapa realitas, pembangunan hanya akan tampak megah di dokumen tetapi kosong di hati rakyat. Sebaliknya, bila DPRD hanya mengejar pokir tanpa arah besar, pembangunan bisa tercerai-berai seperti mozaik tanpa gambar utuh. Kuncinya bukan mempertentangkan, melainkan menyulam keduanya.
Teknokratik adalah peta besar, sementara pokir adalah detak jantung. Peta memberi arah, detak memberi kehidupan. Keduanya perlu dijahit menjadi satu kain pembangunan: kokoh karena benang strategisnya kuat, hangat karena anyaman aspirasi rakyatnya hidup. Apa gunanya merancang kapal luar angkasa bila perahu nelayan di pantai tak bisa berlayar dengan tenang?
Namun kenyataan sering jauh dari ideal. Usulan pokir yang sudah terinput dalam SIPD kerap terhenti di meja OPD dengan alasan klasik: “kehabisan anggaran.” Inilah yang dialami Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Malang. Aspirasi rakyat yang disampaikan melalui wakilnya di parlemen terhenti di tengah jalan, seakan menjadi catatan yang tidak pernah terbaca.
Pembangunan sejatinya bukan soal indahnya angka dalam RPJMD, melainkan soal keadilan dalam distribusi manfaat. DPRD dan OPD harus duduk sejajar, membaca peta yang sama, dan menjahit data teknokratik dengan aspirasi pokir. Rakyat tidak menuntut grafik yang rapi, mereka menuntut kehidupan yang lebih baik.
Karena itu, sudah saatnya kita berhenti menari di dua panggung yang terpisah. Mari menulis simfoni bersama, di mana angka dan aspirasi berpadu. Pembangunan bukan untuk memuaskan ego teknokrat maupun ambisi politik, melainkan untuk memastikan harapan rakyat benar-benar hidup di setiap jengkal tanah Kabupaten Malang.
***
*) Oleh: Abdul Qodir, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Malang dan Peraih Anugerah Politisi Muda Inspiratif Times Indonesia 2023.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |