https://jatim.times.co.id/
Opini

Involusi Budaya Pesantren

Rabu, 17 Desember 2025 - 16:36
Involusi Budaya Pesantren Dr. Moh. Isomuddin, M.Pd., Dosen Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

TIMES JATIM, JEMBER – Pesantren merupakan salah satu institusi pendidikan tertua dan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Jauh sebelum negara ini berdiri, pesantren telah menjadi pusat transmisi ilmu keislaman, pembentukan karakter, sekaligus ruang pengkaderan pemimpin umat. 

Ketahanannya menghadapi berbagai perubahan zaman menunjukkan bahwa pesantren bukan lembaga yang rapuh. Ia tumbuh dari tradisi, hidup bersama masyarakat, dan terus menyesuaikan diri dengan konteks sosial di sekitarnya.

Dalam keseharian, pesantren hampir selalu tampak sibuk. Sejak subuh hingga larut malam, aktivitas santri berjalan tanpa jeda. Mengaji kitab, sorogan, bandongan, madrasah diniyah, hingga kegiatan organisasi santri mengisi hari-hari mereka. 

Dari luar, pesantren terlihat dinamis, penuh disiplin, dan kaya aktivitas. Kepadatan jadwal ini sering dipahami sebagai tanda kesungguhan pendidikan dan kesetiaan terhadap tradisi keilmuan.

Namun, di balik kepadatan tersebut, muncul kegelisahan yang jarang diungkap secara terbuka. Banyak pesantren berjalan dengan pola yang relatif sama dari tahun ke tahun. 

Kitab yang dipelajari cenderung tetap, metode pengajaran jarang dievaluasi secara kritis, dan orientasi pendidikan sering kali berhenti pada keberlanjutan rutinitas. Sementara itu, perubahan sosial, teknologi, dan tantangan kemasyarakatan bergerak dengan sangat cepat.

Pada titik inilah konsep involusi budaya menjadi relevan sebagai alat baca, bukan sebagai vonis. Clifford Geertz menggunakan istilah involusi untuk menggambarkan situasi ketika suatu sistem sosial mengalami pemadatan aktivitas tanpa transformasi yang berarti. 

Energi tercurah semakin besar, struktur semakin kompleks, tetapi arah perkembangan tidak bergerak maju. Dalam batas tertentu, gejala ini dapat ditemukan dalam kehidupan pesantren hari ini: tradisi terjaga dengan rapi, aktivitas semakin padat, namun inovasi berjalan tersendat.

Kesibukan di pesantren sering dijadikan indikator utama keberhasilan. Jadwal yang padat dianggap sebagai bentuk kesungguhan, rutinitas yang ketat dipahami sebagai latihan kedisiplinan. Namun, rutinitas yang terus diulang tanpa refleksi berisiko berubah menjadi kebiasaan mekanis. 

Kitab-kitab klasik dibaca dari generasi ke generasi dengan urutan yang sama, metode sorogan dan bandongan dijalankan tanpa banyak variasi, dan keberhasilan santri sering diukur dari lamanya mengikuti proses, bukan dari kedalaman pemahaman.

Persoalan ini bukan terletak pada kitab atau metode itu sendiri. Tradisi intelektual pesantren telah terbukti melahirkan ulama besar dan pemikir yang berpengaruh. 

Masalah muncul ketika kesinambungan dipahami semata sebagai pengulangan. Kesibukan menjadi tujuan, bukan sarana. Di sinilah involusi bekerja secara halus: aktivitas semakin rapat, tetapi ruang evaluasi dan pembaruan semakin menyempit.

Pesantren memiliki kekuatan besar dalam menjaga tradisi. Nilai adab, penghormatan kepada kiai, dan kesinambungan sanad keilmuan menjadi fondasi utama. Namun, dalam praktik keseharian, tradisi kerap ditempatkan pada posisi yang terlalu sakral. 

Usulan pembaruan metode belajar sering dianggap sebagai bentuk ketidaksabaran, sementara diskusi kritis mudah dicurigai sebagai ancaman terhadap adab. Ungkapan “dari dulu sudah begini” kerap menjadi penutup percakapan.

Padahal, Émile Durkheim menyebut lembaga pendidikan sebagai komunitas moral, yakni ruang pembentukan nilai bersama. Pesantren jelas menjalankan fungsi ini dengan sangat kuat. Namun, komunitas moral tidak identik dengan keseragaman berpikir. 

Tradisi yang sehat bukan tradisi yang membeku, melainkan tradisi yang mampu berdialog dengan konteks. Ketika tradisi hanya diwariskan tanpa ditafsirkan ulang, ia berisiko kehilangan daya hidupnya.

Tantangan lain muncul ketika kesalehan yang dibentuk pesantren lebih banyak berhenti pada ranah personal. Disiplin ibadah, etika pergaulan, dan ketekunan belajar menjadi ciri khas santri. Namun, kesalehan ini sering belum diperluas menjadi kepekaan sosial. 

Isu lingkungan, ketimpangan ekonomi, krisis moral publik, hingga perubahan teknologi hadir di sekitar pesantren, tetapi jarang masuk sebagai tema kajian yang serius dan sistematis.

Di sinilah gejala involusi tampak paling nyata. Kesalehan dipadatkan dalam rutinitas, tetapi tidak diperluas menjadi kesadaran sosial. Santri menjadi taat, namun tidak selalu siap membaca kompleksitas realitas. 

Kritik ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan pesantren, melainkan untuk menegaskan potensinya. Pesantren memiliki modal teologis, etis, dan kultural yang kuat untuk merespons tantangan zaman secara kreatif.

Merawat tradisi tidak berarti menolak perubahan. Justru sebaliknya, tradisi pesantren sejak awal lahir dari keberanian beradaptasi. Kitab kuning, sistem asrama, dan kepemimpinan kiai adalah hasil kreativitas kultural pada masanya. 

Tantangan pesantren hari ini bukan memilih antara tradisi atau inovasi, melainkan memastikan keduanya berjalan beriringan. Tradisi adalah akar, inovasi adalah pertumbuhan. Akar yang kuat tanpa pertumbuhan hanya akan membuat pesantren bertahan, bukan memberi arah bagi masa depan.

***

*) Oleh : Dr. Moh. Isomuddin, M.Pd., Dosen Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.