TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Nahdlatul Ulama (NU) sedang berada di titik paling genting sejak Khittah 1984 dideklarasikan di Situbondo. Organisasi yang selama ini dikenal sebagai rumah besar Islam moderat, penjaga keseimbangan sosial, sekaligus guru bangsa, kini menghadapi krisis yang tidak lagi bisa dianggap sebagai sekadar dinamika internal kepengurusan.
Yang terjadi hari ini adalah pertaruhan arah sejarah NU itu sendiri: tetap menjadi penjaga moral umat atau tergelincir menjadi institusi pragmatis yang larut dalam pusaran kekuasaan.
Krisis ini mencapai puncaknya ketika muncul dualisme kepemimpinan yang terbuka dan keras. Desakan Rais Aam Syuriyah KH Miftahul Akhyar agar Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf didemisionerkan, lalu menunjuk penjabat ketua umum, bukan hanya memecah elite, tetapi mengguncang fondasi kepercayaan warga Nahdliyin.
Untuk pertama kalinya pasca-reformasi, konflik di tubuh NU tidak lagi samar, melainkan terang-benderang, terbuka, dan berisiko menimbulkan luka struktural jangka panjang.
Secara historis, NU memang tidak asing dengan ketegangan antara Syuriyah dan Tanfidziyah. Namun kali ini taruhannya jauh lebih besar. Jika dulu konflik berkisar pada perbedaan pandangan ideologis dan sikap politik, kini NU terseret ke wilayah yang lebih rawan: akses kekuasaan, sumber daya ekonomi, dan isu rent-seeking.
Polemik izin tambang bagi ormas menjadi katalis yang membuka luka lama, sekaligus menegaskan kekhawatiran banyak kiai sepuh bahwa NU mulai menjauh dari Khittah 1926 khittah yang menegaskan independensi ulama dari kekuasaan dan transaksi kepentingan.
Masalahnya bukan semata soal boleh atau tidaknya NU mengelola sumber daya. Persoalan utamanya adalah hilangnya batas moral. Ketika organisasi keagamaan mulai berurusan dengan konsesi strategis negara, risiko yang muncul bukan hanya konflik internal, tetapi juga rusaknya marwah keulamaan.
Dalam konteks ini, kekhawatiran akan praktik rente bukan isapan jempol. Akses terhadap kebijakan publik selalu menggoda, dan ketika godaan itu tidak dibentengi etika yang kuat, organisasi sebesar NU bisa terjebak dalam logika untung-rugi yang justru menggerus kepercayaan umat.
Konflik ini juga memperlihatkan runtuhnya konsensus elite. Keputusan-keputusan strategis yang dianggap sepihak, minim musyawarah, serta rotasi jabatan penting tanpa komunikasi yang sehat, telah mengikis trust internal.
NU yang selama ini dikenal dengan tradisi tabayyun dan musyawarah tampak kehilangan mekanisme pendewasaan konflik. Akibatnya, warga Nahdliyin di akar rumput terbelah, bingung menentukan rujukan, dan mulai saling curiga. Ini berbahaya, karena kekuatan utama NU bukan di gedung PBNU, melainkan di kepercayaan jutaan jamaahnya.
Secara legal-formal, konflik ini memang dibungkus oleh perdebatan tafsir AD/ART: siapa berwenang memberhentikan ketua umum, apakah hanya Muktamar atau juga Syuriyah melalui pleno. Namun sesungguhnya, perdebatan hukum itu hanyalah kulit luar dari persoalan yang lebih dalam, yakni krisis orientasi.
Ada kecemasan serius bahwa NU sedang bergeser dari penjaga moral umat menjadi aktor pragmatis dalam jaringan kekuasaan. Dari organisasi kultural menjadi institusi yang terlalu dekat dengan oligarki politik dan ekonomi.
Jika dibandingkan dengan konflik di era Gus Dur, perbedaannya sangat mencolok. Krisis Gus Dur adalah pertarungan gagasan dan arah pemikiran. Ia menyakitkan, tetapi melahirkan pemurnian ideologi.
NU justru keluar sebagai kekuatan moral yang disegani, bahkan ketika Gus Dur harus tersingkir. Krisis hari ini berbeda. Ini bukan lagi soal otak dan hati, melainkan soal dompet dan kuasa. Ketika organisasi keagamaan tergoda menjadi bagian dari distribusi sumber daya ekonomi negara, risikonya bukan sekadar konflik elite, tetapi hilangnya identitas.
Dampak krisis ini nyata. Secara sosial, ukhuwah Nahdliyin tergerus. Secara politik, posisi tawar NU melemah dan mudah ditarik ke kepentingan eksternal. Secara etika, kewibawaan kiai sepuh sebagai penjaga moral terancam. Lebih jauh lagi, NU terancam kehilangan perannya sebagai mitra kritis negara dan berubah menjadi sekadar agen kebijakan.
Jika situasi ini dibiarkan, NU tidak sedang menuju “Gus Dur Jilid II” yang melahirkan pematangan, tetapi justru menghadapi risiko penyakit kronis yang menggerogoti organ vital organisasi. Jalan keluar tidak cukup dengan adu tafsir hukum atau manuver elite.
NU membutuhkan keberanian moral untuk kembali ke khittahnya sendiri. Pengembalian otoritas Syuriyah, peneguhan peran kiai sepuh, penghentian praktik rente, dan pemulihan budaya musyawarah menjadi keniscayaan, bukan pilihan.
Hari ini, NU benar-benar berada di ujung tanduk. Apakah tetap menjadi guru bangsa yang mandiri dan berwibawa, atau tergelincir menjadi organisasi besar yang kehilangan ruhnya sendiri.
Jawabannya ada pada kearifan para ulama. Jika mereka gagal mengambil sikap, sejarah mungkin akan mencatat bahwa NU tidak runtuh oleh tekanan luar, tetapi oleh kompromi internal yang terlalu jauh.
***
*) Oleh : Achmad Jasuli Afandi, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton Probolinggo.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |