TIMES JATIM, BONDOWOSO – Peristiwa di Gua Hira merupakan momen bersejarah yang menandai awal perubahan besar dalam sejarah manusia. Pada saat itu, sebuah perintah sederhana namun mendalam diberikan: "Iqra’" (Bacalah). Ini menunjukkan bahwa membaca dan memahami adalah langkah awal menuju perubahan dan kemajuan.
Momentum ini terjadi di bulan Ramadan, bulan yang identik dengan refleksi, pencarian makna, dan peningkatan kualitas diri. Lebih dari itu, peristiwa ini juga berkaitan erat dengan malam Nuzulul Quran, yaitu malam diturunkannya wahyu pertama yang menjadi awal dari perkembangan literasi dan ilmu pengetahuan dalam berbagai peradaban.
Gua Hira menjadi simbol bagaimana sebuah perjalanan intelektual bisa dimulai dari perenungan dan pemahaman yang mendalam terhadap realitas di sekitar kita. Dalam konteks modern, refleksi terhadap peristiwa ini dapat menginspirasi kita untuk membangun kebiasaan membaca, berpikir kritis, dan meningkatkan kualitas literasi, terutama di bulan Ramadan yang sering dijadikan waktu untuk memperbaiki diri.
Gua Hira bukan hanya tempat bagi seseorang untuk menyendiri, tetapi juga melambangkan kebutuhan manusia untuk memahami kehidupan dengan lebih baik. Di era modern, momen seperti ini bisa kita dapatkan dalam bentuk membaca buku, menulis jurnal refleksi, atau sekadar menyempatkan waktu untuk berpikir lebih dalam mengenai kehidupan.
Membangun kebiasaan ini di bulan Ramadhan dapat menjadi langkah awal untuk menanamkan kebiasaan intelektual yang lebih kuat dalam kehidupan sehari-hari.
Malam Nuzulul Quran yang jatuh di bulan Ramadan menjadi pengingat bahwa literasi bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga jalan untuk memahami kehidupan dengan lebih dalam. Suasana yang lebih tenang, rutinitas yang lebih teratur, dan semangat untuk meningkatkan kualitas diri bisa dimanfaatkan untuk memperbanyak aktivitas literasi.
Ini bisa dimulai dengan membaca buku-buku yang inspiratif, mengikuti kajian intelektual, atau menulis pemikiran yang muncul selama bulan suci ini.
Kata "Iqra’" yang berarti "bacalah" memiliki makna luas dalam dunia literasi. Membaca bukan sekadar aktivitas melihat huruf dan kata, tetapi juga memahami, merenungkan, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan membaca dengan kritis adalah langkah awal untuk membangun pemikiran yang lebih terbuka dan inovatif.
Dalam sejarah, budaya literasi berkembang pesat ketika manusia mulai terdorong untuk mendokumentasikan pemikiran dan pengalaman mereka. Buku, jurnal, dan berbagai bentuk tulisan menjadi media utama dalam menyebarkan ide dan memperkaya wawasan.
Sayangnya, di era digital saat ini, kebiasaan membaca sering kali tergeser oleh konsumsi informasi instan yang kurang mendalam. Media sosial dan hiburan berbasis visual menjadi lebih dominan dibandingkan dengan membaca buku atau tulisan mendalam.
Oleh karena itu, Ramadan, khususnya pada malam Nuzulul Quran, bisa menjadi momen untuk kembali membangun kebiasaan membaca dan merenung.
Sejarah mencatat bahwa peradaban maju selalu memiliki budaya literasi yang kuat. Masa keemasan berbagai bangsa terjadi ketika masyarakatnya memiliki kebiasaan membaca, menulis, dan mendokumentasikan pemikiran. Ini bisa dilihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat, serta berbagai bidang lainnya yang lahir dari budaya literasi yang tinggi.
Namun, di era modern, tantangan baru muncul. Distraksi dari media sosial, kurangnya akses terhadap bacaan berkualitas, dan rendahnya minat membaca menjadi hambatan dalam membangun budaya literasi yang kuat.
Malam Nuzulul Quran bisa menjadi pengingat bahwa perubahan besar dimulai dengan membaca, memahami, dan menginternalisasi makna dari apa yang kita pelajari. Dari refleksi peristiwa di Gua Hira, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk membangun kembali budaya literasi.
Ramadan bisa menjadi momen awal untuk menanamkan kebiasaan membaca secara rutin. Buku-buku inspiratif, karya ilmiah, dan refleksi kehidupan bisa menjadi pilihan yang memperkaya wawasan.
Pendidikan yang berbasis literasi harus lebih ditingkatkan, baik dalam bentuk membaca, menulis, maupun berpikir kritis. Memanfaatkan waktu di bulan Ramadhan untuk mengikuti kelas daring atau diskusi intelektual bisa menjadi pilihan yang baik.
Teknologi harus digunakan untuk mendukung literasi, bukan sekadar hiburan semata. Membaca artikel mendalam, mendengarkan podcast edukatif, atau mengikuti diskusi berbasis literasi bisa menjadi cara yang lebih bermanfaat dalam mengisi waktu di bulan Ramadan.
Salah satu cara terbaik untuk meningkatkan literasi adalah dengan menulis. Menulis jurnal harian selama Ramadhan dapat membantu kita memahami diri sendiri, mengevaluasi kebiasaan, dan merancang perubahan positif dalam kehidupan.
Malam Nuzulul Quran yang terjadi di bulan Ramadhan menegaskan pentingnya membaca sebagai fondasi perubahan individu dan sosial. Dengan membangun kebiasaan membaca, menulis, dan berpikir kritis, bulan ini dapat menjadi momentum untuk menanamkan budaya literasi yang lebih kuat.
Dengan demikian, refleksi dari Gua Hira tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga menjadi inspirasi dalam membangun kebiasaan membaca dan berpikir yang lebih baik di era modern.
***
*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur. Instruktur Nasional Literasi-Baca Tulis.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |