TIMES JATIM, JEMBER – Menjelang peringatan HUT RI ke-80, suasana biasanya identik dengan bendera Merah Putih yang berkibar di mana-mana. Tapi tahun ini, ada pemandangan unik sekaligus kontroversial , bendera hitam bergambar tengkorak tersenyum dengan topi Jerami, simbol kelompok bajak laut fiksi dari anime One Piece, tiba-tiba muncul di berbagai sudut Indonesia.
Buat yang belum kenal, simbol ini disebut Jolly Roger. Dalam sejarah bajak laut, tanda tengkorak dan tulang bersilang itu awalnya dipakai sebagai peringatan bahaya. Di dunia One Piece, ia jadi identitas kru kapal pimpinan Monkey D. Luffy. Nah, di dunia nyata Indonesia 2025, bendera ini justru “naik pangkat” jadi simbol protes sosial dan kekecewaan terhadap pemerintah.
Bendera bajak laut jadi bahasa politik, fenomena ini menarik secara sosiologi politik. Anak muda zaman sekarang sering menggunakan simbol budaya populer sebagai cara berkomunikasi. Kalau di masa lalu protes biasanya lewat poster atau orasi formal, generasi sekarang justru memilih sesuatu yang nyentrik tapi sarat makna dari meme, tagar, sampai bendera fiksi.
Maraknya pengibaran bendera ini adalah bentuk ekspresi politik yang wajar. Simbol yang muncul masif di ruang publik biasanya punya pesan tersirat. Dalam kasus ini, bendera One Piece bisa dibaca sebagai kode: “Kami kecewa, kami melawan, tapi dengan gaya kami sendiri.”
Ini sejalan dengan tren lima tahun terakhir, di mana kritik terhadap pemerintah sering disampaikan lewat simbol. Kita pernah lihat “Garuda biru” saat aksi Indonesia Darurat, “Garuda hitam” saat Indonesia Gelap, dan sekarang “Jolly Roger topi jerami” untuk HUT RI ke-80.
Dilihat dari legalitas dari aspek hukum, pengibaran bendera ini sebenarnya tidak melanggar UU selama posisinya tidak lebih tinggi atau besar dari Merah Putih. UU Nomor 24 Tahun 2009 memang mengatur tata cara penggunaan bendera negara, tapi tidak ada pasal yang spesifik melarang bendera fiksi seperti ini.
Bendera ini juga tidak mewakili negara asing atau organisasi terlarang, sehingga membandingkannya dengan bendera palu arit jelas tidak tepat. Secara konstitusi, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 memberi ruang kebebasan berekspresi, termasuk lewat simbol.
Ketika pemerintah baper sama symbol dan memberi respons keras. Ada yang bilang bendera One Piece mengandung unsur pidana, mencederai kehormatan Merah Putih, bahkan berpotensi memecah belah bangsa.
Reaksi ini membuat kontroversinya makin besar, bahkan mungkin memberi “efek Streisand”, di mana sesuatu yang awalnya cuma aksi simbolis malah jadi viral karena dilarang.
Padahal, kalau melihat konteksnya, ini bukan ajakan makar. Simbol ini lebih mirip “bahasa visual” yang dipilih anak muda untuk menyampaikan keresahan, cara yang lebih kreatif ketimbang sekadar menulis status panjang di media sosial.
Fenomena Merah Putih di tengah ombak Jolly Roger, seharusnya jadi cermin bahwa nasionalisme generasi muda tidak selalu diekspresikan dengan cara formal. Mereka bisa mencintai Merah Putih sambil tetap mengkritik kondisi negeri.
Sama seperti Monkey D. Luffy yang setia pada kru dan mimpinya, anak muda Indonesia juga punya mimpi tentang negara yang adil, bebas dari korupsi, dan berpihak pada rakyat kecil.
Jadi mungkin pertanyaannya bukan lagi, “Bagaimana melarang bendera ini?”, tapi justru, “Apa pesan yang ingin mereka sampaikan, dan apakah pemerintah mau mendengarnya?”
Mari kita jujur, di era digital ini bahasa politik tidak lagi hanya berupa pidato di gedung parlemen atau editorial panjang di koran. Bahasa politik sekarang bisa lahir dari meme, mural di tembok, tagar viral di Twitter, bahkan kain hitam bergambar tengkorak tersenyum yang dikibarkan di tiang bambu pinggir jalan.
Bendera One Piece ini mungkin bagi sebagian orang hanyalah merchandise anime. Tapi bagi sebagian lainnya, ia adalah “megafon” tanpa suara, cara untuk menyampaikan keresahan tanpa harus berteriak. Di balik kain hitam itu, ada rasa muak, ada frustrasi, ada lelucon pahit yang dibalut kreativitas.
Pemerintah seharusnya melihat ini bukan sekadar ancaman terhadap kehormatan simbol negara, tapi sebagai indikator kesehatan demokrasi. Simbol-simbol seperti ini muncul ketika kanal formal untuk menyalurkan aspirasi dianggap macet, atau ketika kata-kata tak lagi mempan menggugah telinga penguasa.
Ironisnya, setiap kali larangan atau ancaman hukum dilontarkan, pesan yang terselip di balik simbol itu justru semakin nyaring. Efeknya mirip “bumerang”, niatnya ingin mematikan isu, tapi justru memberi oksigen baru yang membuatnya terus hidup di kepala publik.
Generasi muda yang mengibarkan bendera ini bukan berarti tidak menghormati Merah Putih. Justru, mungkin mereka sedang mengingatkan bahwa Merah Putih bukan sekadar kain, tapi janji-janji tentang kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan yang belum sepenuhnya ditepati.
Dan ketika janji itu terasa kabur, mereka akan mencari simbol lain yang bisa mewakili suara mereka. Kali ini bentuknya bajak laut topi jerami. Siapa tahu, tahun depan bisa saja simbolnya robot Gundam, karakter Among Us, atau bahkan tokoh fiksi lokal.
Intinya sama, ketika rakyat bicara dengan bahasa baru, bijaknya pemerintah belajar untuk mendengarkan, bukan langsung memvonis. Karena pada akhirnya, kritik di era ini tidak selalu datang lewat mimbar, spanduk aksi, atau surat resmi.
Kadang ia datang lewat musik rap, stand up comedy, komik strip, meme, dan, ya selembar kain hitam bergambar tengkorak tersenyum yang berkibar di bawah Merah Putih.
***
*) Oleh : M.A. Ghofur, S.Pd., S.A.P., Praktisi Jaring Asesmen Indonesia & Rengganis Indonesia Fundation. Serta Pendidik di SMP Negeri 2 Balung, Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |