TIMES JATIM, KEDIRI – Di tengah hijaunya pepohonan Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, berdiri tenang sebuah situs yang menyimpan napas sejarah sekaligus spiritualitas Jawa: Petilasan Sri Aji Joyoboyo. Tempat ini dipercaya sebagai lokasi moksa Prabu Jayabaya, raja besar Kerajaan Panjalu atau Kediri, yang diyakini lenyap dari dunia fana menuju kesempurnaan abadi.
Namun bagi masyarakat Jawa, petilasan ini bukan sekadar peninggalan masa lalu. Ia menjadi ruang batin bagi siapa pun yang datang untuk mencari keseimbangan antara takdir dan usaha, antara doa dan kesiapan diri. Di sinilah banyak peziarah datang bukan hanya untuk memohon berkah, melainkan juga untuk menemukan jodoh—sebuah perjalanan spiritual yang diyakini sudah digariskan semesta.
Laku Mencari Jodoh di Petilasan Joyoboyo
Menjelang malam Jumat Legi, suasana petilasan berubah khusyuk. Aroma dupa bercampur dengan wangi bunga tujuh rupa. Di antara temaram cahaya minyak kelapa, beberapa orang tampak duduk bersila dalam hening. Mereka menjalani tapa bisu atau semedi, membawa kendi berisi air dari sumber mata air di sekitar petilasan.
Juru kunci petilasan, Mbah Mukri, menyambut para peziarah dengan ketenangan khas seorang penjaga laku. Ia sudah puluhan tahun mengabdi di tempat ini, menyaksikan berbagai niat manusia yang datang dengan harapan berbeda-beda.
“Banyak yang datang ke sini dengan niat memohon jodoh. Tapi yang lebih penting bukan hanya doa, melainkan kesiapan diri,” ujar Mbah Mukri, Jumat (31/10/2025).
Ia menegaskan, inti dari ziarah dan semedi bukanlah mencari keajaiban instan, melainkan menemukan ketenangan dan kesiapan batin untuk membuka diri terhadap hubungan yang lebih bermakna. Dalam diam, seseorang belajar mengenali dirinya sendiri—karena bagaimana mungkin seseorang menemukan pasangan sejati jika belum berdamai dengan dirinya sendiri?
Sendang Tirto Kamandanu, Simbol Penyucian Diri
Tak jauh dari petilasan, terdapat sebuah kolam alami bernama Sendang Tirto Kamandanu. Airnya jernih, memantulkan bayangan pohon-pohon tua yang berdiri kokoh di tepinya. Masyarakat meyakini, sendang ini dulunya adalah tempat mandi dan ruwatan Sri Aji Jayabaya, sebelum sang raja melaksanakan tapa brata.
Air sendang itu dianggap suci—simbol penyucian diri sebelum seseorang menempuh perjalanan spiritual yang lebih dalam.
“Air Sendang Tirto Kamandanu diyakini membawa berkah bagi siapa pun yang mengambilnya dengan niat baik. Semua yang menempel pada dirinya ditinggalkan. Seperti raja meninggalkan semua dengan ikhlas,” tutur Mbah Mukri.
Dalam filosofi Jawa, air bukan sekadar unsur alam, tapi juga perlambang kejernihan hati dan kelapangan jiwa. Itulah sebabnya, sebelum bersemedi, para peziarah membasuh diri di sendang sebagai tanda melepas segala beban duniawi.
Laku Sunyi, Dialog dengan Semesta
Bagi mereka yang datang dengan hati bersih, berdiam di petilasan Joyoboyo seperti melakukan percakapan sunyi dengan semesta. Di bawah pohon beringin besar yang dipercaya sebagai tempat meditasi sang raja, setiap tarikan napas menjadi bentuk penyatuan dengan alam dan kebijaksanaan leluhur.
Bersemedi di Petilasan Sri Aji Joyoboyo bukan hanya ritual mistis, melainkan proses introspeksi diri—mencari makna hidup di tengah riuh dunia modern.
Setiap doa yang terucap, setiap bunga yang ditabur, dan setiap tetes air sendang yang membasuh kulit membawa pesan sederhana: bahwa cinta, takdir, dan ketenangan tidak datang dari luar, tapi tumbuh dari dalam diri yang siap menerima.
“Mereka yang datang dengan hati yang baik dan siap, akan menemukan hal-hal baik juga setelah dari petilasan ini,” pungkas Mbah Mukri.
Warisan Budaya dan Kekayaan Intelektual Komunal
Selain nilai spiritualnya, Petilasan Sri Aji Joyoboyo juga memiliki nilai budaya tinggi. Situs ini telah terdaftar sebagai kekayaan intelektual komunal di Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2021.
Plt Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, Mustika Prayitno Adi, menegaskan pentingnya pelestarian situs ini sebagai warisan budaya yang tak ternilai.
“Petilasan tersebut adalah salah satu peninggalan budaya di Kediri yang harus dilestarikan, dan ritual sesaji Sri Aji Joyoboyo sudah diakui sebagai kekayaan intelektual komunal,” jelasnya.
Makna Abadi dari Laku Joyoboyo
Di tengah arus modernitas, Petilasan Sri Aji Joyoboyo tetap menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini. Sebuah ruang yang mengajarkan bahwa spiritualitas Jawa tidak lekang oleh waktu—selalu relevan bagi siapa pun yang ingin memahami arti kesabaran, keikhlasan, dan keseimbangan dalam hidup.
Mereka yang datang ke tempat ini mungkin berharap akan jodoh, kesembuhan, atau ketenangan. Namun sejatinya, seperti pesan leluhur Joyoboyo, yang ditemukan bukanlah keajaiban, melainkan kesadaran diri bahwa semua sudah digariskan, dan tugas manusia hanyalah berjalan dengan hati yang bersih. (*)
| Pewarta | : Yobby Lonard Antama Putra | 
| Editor | : Imadudin Muhammad | 
 Berita
 Berita 
       
             
             
             
             
             
             
             
             
             
             
                 
                 
                 
                 
                 
             
             
             
             
             
             
             
             
             
             
               TIMES Jatim
            TIMES Jatim