https://jatim.times.co.id/
Opini

Tambang Hijau dan Revolusi Spiritual

Senin, 16 Juni 2025 - 09:14
Tambang Hijau dan Revolusi Spiritual Prof. Dr. M. Suhartono, S.Si., M.Kom., Guru Besar Bidang Ilmu Komputer, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Di tengah sorotan tajam terhadap dampak lingkungan industri ekstraktif, isu pertambangan kembali menjadi perdebatan hangat. Berbagai pihak dari masyarakat sipil, akademisi, hingga pemerintah-sering bersilang pendapat tentang cara menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. 

Istilah seperti green mining, eco-friendly extraction, dan reasonable environmentalism menjadi jargon populer. Namun, benarkah pendekatan ini cukup kuat menjamin keberlanjutan sumber daya dan kelestarian ekologis?

Sudah waktunya kita mengadopsi paradigma baru yang lebih utuh. Bukan hanya soal efisiensi dan mitigasi, tetapi tentang kesadaran etis dan spiritual. Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menawarkan prinsip alternatif: Ekologi, Teologi, dan Smart. 

Bukan sekadar wacana, prinsip ini telah menjadi dasar praktik pembangunan kampus yang menyatukan sains, nilai keislaman, dan teknologi cerdas dalam pengelolaan lingkungan secara holistik.

Tulisan ini mengusulkan agar dunia pertambangan mulai meminjam prinsip tersebut, melampaui pendekatan teknokratis seperti reasonable environmentalism yang kerap kompromistis terhadap kerusakan alam.

Jalan Tengah yang Tanggung

Secara umum, reasonable environmentalism adalah pendekatan kompromi yang mencoba menyeimbangkan eksploitasi sumber daya alam dan perlindungan lingkungan.

Dalam praktiknya, pendekatan ini mewajarkan aktivitas ekstraktif selama ada upaya mitigasi kerusakan seperti reklamasi pascatambang atau penghijauan ulang. Namun, pendekatan ini kerap menjadi tameng etis yang lemah. 

Banyak perusahaan tambang tetap merusak alam, mencemari sungai, dan menggusur masyarakat adat, namun berlindung di balik narasi CSR atau "standar lingkungan" versi mereka sendiri. Penelitian menunjukkan, banyak reklamasi tambang justru gagal karena hanya formalitas.

Pada titik inilah, reasonable environmentalism berubah menjadi pembenaran moral yang permisif: "Selama prosedur dipatuhi, maka kami benar." Kita butuh paradigma yang tak hanya patuh aturan, tapi juga membangkitkan kesadaran spiritual dan tanggung jawab transendental terhadap bumi sebagai amanah Ilahi.

Warisan Hijau dari Kampus

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang merumuskan prinsip Ekologi, Teologi, dan Smart dalam pembangunan kampus yang ramah lingkungan:

Pertama, Ekologi. Ekologi bukan sekadar hubungan fisik antara manusia dan lingkungan, tetapi kesadaran spiritual bahwa semua makhluk saling terhubung dalam satu sistem ilahi. 

Dalam Islam, konsep khalifah fil ardh (QS. Al-Baqarah: 30) menegaskan bahwa manusia bukan pemilik bumi, melainkan penjaga dan pemeliharanya.

Kedua, Teologi. Lingkungan hidup harus dipahami sebagai bagian dari amanah dan keadilan. Islam menekankan prinsip mizan (keseimbangan), amanah, dan ihsan (berbuat baik) dalam relasi manusia dan alam (QS. Al-A'raf: 56). Teologi memberi dimensi etis terhadap seluruh tindakan terhadap lingkungan.

Keempat, Smart. Kecerdasan yang dimaksud bukan hanya teknologi tinggi, tetapi juga kecerdasan sosial dan spiritual dalam mengelola sumber daya secara adil, hemat energi, dan berbasis data. 

Teknologi harus menjadi alat untuk menjaga keseimbangan, bukan alat penghancur yang dibungkus efisiensi.

Menerapkan Prinsip ETS dalam Pertambangan

Bagaimana jika prinsip Ekologi, Teologi, dan Smart diterapkan pada dunia pertambangan?

Pertama, Dari Eksploitasi ke Ekosistem. Paradigma ekologi menuntut agar tambang tidak sekadar mengeksploitasi, tetapi menjadi bagian dari sistem ekosistem yang berkelanjutan. 

Desain tambang harus mempertimbangkan siklus air, biodiversitas, dan budaya lokal secara terintegrasi sejak awal.

Kedua, Menambang dengan Takwa. Teologi memberi dimensi moral terhadap seluruh rantai pertambangan: dari perizinan hingga reklamasi. 

QS. Ar-Rum: 41 memperingatkan bahwa kerusakan bumi adalah akibat perbuatan manusia. Maka menambang tanpa etika adalah pengingkaran terhadap amanah Tuhan.

Ketiga, Smart Mining yang Berbasis Keadilan. Teknologi seperti AI dan IoT harus digunakan bukan hanya untuk efisiensi, tetapi juga untuk keadilan. 

Data lingkungan, kesehatan, dan ekonomi lokal harus digunakan untuk memastikan bahwa keputusan industri tambang memberi manfaat luas, bukan hanya kepada investor.

Reklamasi yang Gagal

Banyak reklamasi pascatambang hanya bersifat kosmetik: penanaman pohon tanpa perbaikan tanah, danau buatan tanpa ekosistem, atau pelibatan masyarakat lokal tanpa pelatihan. Semua itu hanya greenwashing.

Dengan prinsip ETS, reklamasi harus menjadi restorasi ekosistem. Perusahaan perlu bekerja sama dengan ahli ekologi, ulama, dan masyarakat lokal untuk merancang reklamasi yang hidup, berkelanjutan, dan bernilai ibadah.

Peran Kampus dan Akademisi

Kampus tidak boleh hanya menjadi komentator, tetapi mitra kritis dan kontributif. UIN Malang, misalnya, telah memulai langkah ini dengan riset, pelatihan, dan integrasi kurikulum berbasis ekoteologi.

Mahasiswa dari teknik informatika, pertambangan, hingga humaniora harus dikenalkan pada prinsip spiritual dalam pengelolaan lingkungan. Generasi teknokrat masa depan harus berpandangan etis, bukan sekadar fungsional.

Paradigma Baru untuk Pemerintah dan Industri

Pemerintah perlu mengatur insentif dan kebijakan yang mendorong praktik tambang hijau berbasis spiritualitas. AMDAL tidak cukup jika hanya teknis; ia harus juga etis dan partisipatif. Pelibatan ormas keagamaan dan pesantren sebagai spiritual auditor lingkungan perlu diperkuat.

Sebagaimana saya sampaikan dalam beberapa forum, “Umat Islam harus menjadi garda terdepan dalam menjaga bumi, karena menjaga alam adalah menjaga karunia Allah SWT yang paling nyata.”

Sudah waktunya dunia tambang berhenti berpura-pura hijau. Paradigma reasonable environmentalism telah gagal menjadi pelindung bumi. 

Kita perlu berani mengambil jalan yang lebih substansial: mengintegrasikan ekologi, teologi, dan smart sebagai dasar pertambangan berkelanjutan.

Meminjam prinsip dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang adalah langkah awal untuk perubahan. Ini bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan revolusi spiritual dalam memandang bumi sebagai titipan Tuhan.

Jika kita terus menunda, maka yang tersisa hanyalah tanah gersang, sungai mati, dan generasi yang marah karena kehilangan warisan alamnya.

Pertanyaannya kini bukan lagi: “Bisakah kita menambang secara hijau?” tetapi: “Apakah kita bersedia berubah sebelum bumi menolak kita?”

***

*) Oleh : Prof. Dr. M. Suhartono, S.Si., M.Kom., Guru Besar Bidang Ilmu Komputer, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.