https://jatim.times.co.id/
Opini

ETLE Efektif Menekan Pelanggaran di Jalan

Rabu, 15 Oktober 2025 - 17:13
ETLE Efektif Menekan Pelanggaran di Jalan Arief B. Nugroho, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga, Dosen FISIP Universitas Brawijaya.

TIMES JATIM, MALANG – Di beberapa kota besar kita terbiasa melihat pengguna kendaraan bermotor melakukan pelanggaran rambu lalu lintas, berkendara melebihi batas kecepatan ataupun pengendara roda dua tidak menggunakan helm di jalanan utama walaupun terdapat petugas kepolisian yang sedang berjaga. 

Walaupun UU No. 22 tahun 2009 yang diperkuat dengan PP No.30 tahun 2021 telah mengatur berbagai aspek tentang keselamatan dalam berkendara, namun hal tersebut belum cukup untuk mengurangi berbagai kecelakaan lalu lintas yang terjadi.

Jika mencermati data dari WHO (2023) terdapat 1,19 juta orang yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di tiap tahunnya di seluruh dunia yang menjadi penyebab kematian bagi anak-anak dan dewasa muda berusia 5-29 tahun. 

Lebih dari setengahnya merupakan pengguna jalan rentan seperti belum cukup umur, pejalan kaki, pengendara sepeda dan pengendara sepeda motor. 92% kematian di jalan raya terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. 

Penyebabnya adalah karena faktor kecepatan berkendara, pengaruh zat aditif, tidak menggunakan pengaman (helm dan sabuk pengaman), penggunaan gawai waktu mengemudi, kondisi jalan dan kendaraan, dan penegakan hukum yang tidak memadai.

Di Indonesia dari data Pusiknas Polri (2024) menunjukkan 16.284 orang yang meninggal dunia dengan 149.544 jumlah kejadian sepanjang tahun 2024. Penyebab terbesarnya adalah karena faktor manusia selain kondisi kendaraan, sedangkan kondisi infrastruktur jalan dan alam bukan merupakan faktor yang dominan.  

Banyaknya korban di jalanan tersebut tidak lepas dari kesadaran pengendara terhadap masalah keselamatan berkendara baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Pengabaian tersebut terjadi karena faktor pengetahuan dan pemahaman keselamatan di jalan raya, penghormatan kepada pengguna jalan lain juga karena lemahnya kontrol sosial terhadap perilaku berkendara dari masyarakat dan kepolisian. 

Kepolisian di kota-kota besar telah menggunakan kamera ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) sebagai sarana penegakan hukum berbasis teknologi kamera dengan meminimalkan peran petugas di lokasi kejadian. 

ETLE diharapkan mengubah pola hubungan langsung yang dianggap masyarakat rawan penyalahgunaan oleh oknum tertentu dalam penilangan menjadi lebih impersonal, administratif dan tertib. 

Pengadaan ETLE di beberapa kota besar juga cukup besar, misalkan di Jakarta anggaran Pemerintah Provinsi ke Polda Metro Jaya untuk pengadaan ETLE mencapai 75 Milyar rupiah di tahun 2023 untuk 70 titik (2023). Namun apakah hal ini efektif?

Pengawasan Panoptik

Dalam konsepsi Michel Foucault (1995), pengawasan terhadap tubuh tidak harus dilakukan secara fisik dan pemaksaan karena itu kekuasaan bekerja dengan halus, efisien dan tidak terlihat. Pengawasan tersebut dilakukan  melalui  penciptaan kesadaran akan pengawasan yang konstan dalam diri setiap individu. 

Foucault menggunakan model panopticon pada arsitektur penjara dari Bentham sebagai penjelas bentuk  pengawasan dan kekuasaan yang dilakukan tanpa terus menerus pengawasan dari sipir ke para napi, model tersebut tidak membutuhkan kekerasan yang nyata. 

ETLE merupakan model pengawasan panoptik yang bekerja secara efisien dengan meminimalkan petugas yang bekerja di lapang sehingga diharapkan  pengendara akan mendisiplinkan dirinya sendiri tanpa selalu diingatkan dan secara sukarela mematuhi peraturan yang berlaku. 

Pelanggaran tercatat lengkap didukung oleh sistem teknologi informasi yang handal menjadi data dan dokumen di operator yang akan keluar menjadi surat peringatan tilang ke para pelanggar. Pelanggar tinggal membayar denda sesuai pelanggaran yang berlaku melalui berbagai sistem pembayaran tersedia, proses terjadi tanpa tatap muka dengan aparat.

Lalu mengapa pelanggaran di jalanan masih tetap terjadi? Terdapat beberapa prasyarat model pengawasan panoptik seperti ETLE tersebut supaya dapat berjalan. Pertama, apakah operator benar-benar menganggap bahwa sistem ini lebih ekonomis dibandingkan model konvensional?

Karena sistem pengawasan tersebut membutuhkan perawatan alat yang cukup besar apalagi jika diletakkan pada banyak titik. Keakuratan data dari sistem juga perlu diperhatikan, jangan sampai kendaraan prioritas seperti ambulance dianggap pelanggaran karena menerobos traffic light saat kondisi darurat.

Kedua, pengawasan yang dilakukan secara sporadis dan tidak konsisten. Pengendara berasumsi tidak semua kamera ETLE di jalan yang berfungsi penuh hal tersebut ditandai oleh pengendara yang melakukan pelanggaran dan tidak tidak adanya teguran berupa surat tilang yang diberikan. 

Pengalaman tersebut tersebar ke sesama pengendara sehingga memungkinkan terjadinya pelanggaran berulang di lokasi yang lain. Jikapun ada yang mendapatkan surat tilang karena pelanggaran ditempat-tempat tertentu yang ETLE nya aktif, sehingga di tempat yang tidak ada kamera ETLE pelanggaran bebas dilakukan. 

Ketiga, Tidak adanya aturan yang jelas yang dianggap “melanggar” dan “patuh”. Peraturan apapun jika tidak ada proses pengingatan maka aturan tersebut akan diabaikan. Pada akhirnya pelanggaran lain akan menyebar dengan berbagai bentuknya. 

Saat ini jarang kita temui polisi yang melakukan penindakan pelanggaran langsung ke pengendara sehingga membuat aturan berlalu lintas menjadi lebih makin kabur. Peraturan tidak hanya disampaikan sekali melalui media massa, diperlukan proses penyadaran tentang pentingnya aturan dijalankan sehingga tidak hanya sekedar sebagai kewajiban ketika melaksanakan. 

Proses tersebut dilakukan sejak usia dini hingga dewasa oleh masyarakat dan kepolisian secara terus menerus. Konsistensi tersebut juga terwujud dalam bentuk penerapan hukum yang tegas pada semua lapisan baik masyarakat ataupun aparat penegak hukum.

Harapan Kehadiran Negara

Ketertiban di jalan raya merupakan tanggungjawab bersama, namun begitu peran negara terutama kepolisian menjadi faktor penting untuk mengurangi korban di jalan raya semakin bertambah. Penggunaan ETLE saat ini belum menunjukkan efektivitas sesuai dengan yang diharapkan. Ada beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan kondisi tersebut :

Pertama, kehadiran negara dalam hal ini Polri dibutuhkan dalam sosialisasi berlalu lintas aman sedari dini hingga dewasa. Sosialisasi ini adalah bentuk keterhubungan dan kedekatan Kepolisian dengan masyarakat. 

Penindakan dibutuhkan ketika terdapat pelanggaran hukum yang merugikan bersama, namun masyarakat perlu dimanusiawikan dengan dialog dan komunikasi persuasif untuk membangun kesadaran bersama. ETLE harus dipahami sebagai alat pengawasan, namun kesadaran yang muncul dari hasil proses komunikatif dapat lebih efektif menekan pelanggaran. 

Kedua, peraturan yang berlaku umum tanpa pandang bulu. Salah satu masalah yang menjadi sumber ketidakpercayaan masyarakat adalah aturan dan hukum yang tidak berlaku untuk semua kalangan. 

Masyarakat seakan mahfum bahwa kedekatan dan faktor ekonomi membuat aturan dan hukum bisa berubah, citra hukum yang seperti ini harus dikikis dengan dedikasi dari aparat penegak hukum dengan mengedepankan kesamaan hukum. Penindakan di jalan raya yang mengatasnamakan tugas oleh para oknum perlu pula ditindak tegas dan memastikan hal serupa tidak akan terjadi lagi. 

Ketiga, Masyarakat membutuhkan figur teladan penjaga ketertiban bukan hanya menjadi penjaga aturan. Figur tersebut diharapkan dapat menjadi otoritas penjaga moral masyarakat. 

Figur seperti ini dirasa hilang oleh masyarakat terutama dengan berbagai kasus nasional dan daerah yang menyangkut institusi Polri ataupun dari oknum penegak hukum. Berbagai kasus tersebut membuat masyarakat kehilangan figur panutan yang taat hukum. 

Saat ini masyarakat membutuhkan keteladanan dalam menjaga norma sosial dan memiliki legitimasi hukum yang kuat. Jika otoritas moral tersebut gagal memberi keteladanan maka kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan hukum dan penegakannya semakin berkurang. Dampak selanjutnya adalah berbagai jenis pelanggaran semakin sering terjadi terutama di jalan raya dan menjadi perilaku yang biasa dalam kesehariannya.

Pelanggaran di jalan raya yang berdampak peningkatan kecelakaan di jalan raya harus dipahami secara reflektif sebagai bentuk cerminan penegakan hukum di masyarakat. Pelanggaran merupakan bentuk perlawanan masyarakat terhadap aturan yang tidak berjalan konsisten dan tidak berpihak pada keadilan. 

Jika dibiarkan maka akan semakin meluas ke bentuk pelanggaran-pelanggaran lain yang lebih masif ataupun ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan aparatur penegak hukum.

***

*) Oleh : Arief B. Nugroho, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sosial FISIP, Universitas Airlangga, Dosen FISIP Universitas Brawijaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.