https://jatim.times.co.id/
Opini

Trans7 dan Batas Etika Ruang Ulama

Rabu, 15 Oktober 2025 - 18:20
Trans7 dan Batas Etika Ruang Ulama Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik dan Pemerhati Isu Kebangsaan dan Pemikiran Keislaman Inklusif.

TIMES JATIM, GRESIK – Kemarahan publik pesantren atas tayangan Trans7 bukan reaksi spontan tanpa alasan. Tayangan yang memotret seorang kiai sepuh (KH. Anwar Manshur, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo dan Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur) dan santri dengan cara yang merendahkan telah membuka luka kolektif. Tradisi dimanipulasi, kehormatan dilecehkan, dan simbol keagamaan direduksi menjadi bahan tontonan. 

Framing semacam itu tidak lahir dari ketidaksengajaan. Ada proses produksi, penyuntingan, persetujuan redaksi, dan penayangan. Artinya, ada kesadaran, ada penyusunan, dan sangat mungkin ada agenda.

Hingga kini, pemilik Trans7, Chairul Tanjung, belum muncul memberikan klarifikasi. Padahal secara moral, tanggung jawab tertinggi dari narasi yang keluar dari sebuah lembaga penyiaran ada pada pemilik dan penanggung jawab korporasinya. 

Jika media yang begitu besar bisa menampilkan tayangan yang melukai keyakinan dan tradisi umat, tanpa koreksi cepat dari pucuk pimpinannya, maka wajar jika publik pesantren menilai bahwa ada pembiaran yang disengaja. 

Dalam tradisi pesantren, diam di hadapan kemungkaran bisa terbaca sebagai persetujuan. Maka wajar bila umat mendesak agar pihak paling atas turun tangan, bukan sekadar menyuruh staf atau tim legal memberi keterangan normatif.

Kemarahan masyarakat pesantren hari ini bukan ekspresi emosi liar, tetapi bentuk kesadaran bahwa penghinaan terhadap ulama adalah penghinaan terhadap sumber keilmuan dan marwah umat. 

Banyak kiai, aktivis santri, dan tokoh ormas menyatakan kekecewaan terbuka. Bahkan ada yang menduga, sebagaimana dikatakan KH Said Aqil Siradj, bahwa aktor-aktor di balik tayangan semacam ini tidak jauh dari kelompok radikal atau anti-tradisi Islam Nusantara. 

Dugaan ini bukan tanpa dasar, sebab pola serangan terhadap pesantren dan ulama tradisional kerap muncul dari lingkaran yang sama. Persepsi bahwa pesantren adalah entitas yang bisa digoyang dengan narasi negatif selalu muncul dalam momen-momen tertentu.

Namun demikian, kita tidak boleh menjadi liar dan menghakimi tanpa bukti. Justru agar tidak dituduh emosional, langkah yang paling tepat adalah menempuh jalur hukum. Permintaan maaf jika pun sudah disampaikan tidak menghapus unsur pidana dan perdata. 

Dalam hukum positif, pencemaran nama baik, penyesatan opini publik, dan tindakan merugikan kehormatan kelompok keagamaan telah diatur sanksinya. Tayangan Trans7 telah menimbulkan keresahan, membentuk stigma, dan mengancam citra sosial pesantren. 

Itu cukup menjadi dasar untuk melaporkan dan menggugat. Apalagi, publik santri kini semakin sadar hukum, memiliki jaringan advokasi, dan tidak lagi membiarkan pesantren menjadi korban framing tanpa pembelaan.

Langkah hukum justru memberi pesan kuat: pesantren tidak anti kritik, tetapi anti penghinaan. Media boleh mengulas tradisi, tetapi tidak boleh menggiring narasi yang menjatuhkan. Hak jawab bisa ditempuh, laporan ke KPI dan Dewan Pers bisa berjalan, dan gugatan pidana maupun perdata dapat diproses secara paralel. 

Ini bukan soal balas dendam, tetapi soal menjaga martabat. Jika kasus ini dibiarkan, maka stasiun televisi lain akan merasa bebas menayangkan hal serupa. Koreksi yang bermartabat justru menyelamatkan marwah media itu sendiri.

Trans7 harus menjelaskan siapa penanggung jawab tayangan itu, bagaimana proses editorialnya, dan apa dasar framing yang mereka pilih. Jika ada unsur kesengajaan, maka tanggung jawab hukum harus dihadapi. 

Jika itu kelalaian, maka bentuk pertanggungjawabannya tidak cukup dengan klarifikasi basa-basi. Publik menunggu sikap serius, bukan retorika pengelabuan.

Gelombang digital tidak boleh menjadi alasan untuk melecehkan tradisi yang telah menjaga akhlak bangsa selama ratusan tahun. Hari ini, umat hanya menuntut satu hal: keadilan yang bermartabat. 

Dengan langkah hukum yang terukur, pesantren menunjukkan bahwa mereka tidak tinggal diam, tidak pula bertindak sembarangan. Jika marwah ulama dijaga, maka kepercayaan publik terhadap media pun akan kembali pada posisinya yang wajar.

***

*) Oleh : Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik dan Pemerhati Isu Kebangsaan dan Pemikiran Keislaman Inklusif.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.