TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Belakangan viral video sepasang pengantin di Lombok Tengah, NTB, yang beredar di media sosial. Fenomena ini mengundang perhatian publik disertai keprihatinan. Pasalnya, sepasang pengantin ini masih di bawah umur, masing-masing diketahui berusia 16 dan 14 tahun.
Dalam video yang beredar, nampak pengantin perempuan berteriak kekanak-kanakan memanggil ibunya dari panggung pelaminan. Dalam potongan video lainnya, ia tertawa-tawa sambil mengacungkan simbol jari metal ke arah kamera, yang kemudian ditepis perempuan dewasa di sampingnya.
Fenomena perkawinan usia dini masih menjadi topik yang kontroversial di tengah masyarakat Indonesia. Meskipun regulasi negara telah mengalami revisi dalam hal batas usia minimal menikah, praktiknya masih berlangsung terutama di daerah pedesaan.
Hal ini mengundang perdebatan antara norma hukum positif, realitas sosial, dan nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh masyarakat. Secara yuridis, Indonesia telah mengesahkan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Perubahan ini menetapkan bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak anak dan mendorong kematangan fisik dan psikis sebelum memasuki kehidupan berkeluarga.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang masih melakukan perkawinan dini, terutama karena faktor budaya, tekanan ekonomi, atau alasan kehormatan keluarga. Di beberapa wilayah, menikahkan anak di usia muda dianggap sebagai solusi atas kemiskinan atau cara untuk menjaga nama baik keluarga akibat pergaulan bebas.
Dari sisi sosial, perkawinan usia dini memiliki dampak yang kompleks. Anak yang menikah pada usia dini cenderung mengalami putus sekolah, keterbatasan akses terhadap kesehatan reproduksi, dan risiko kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, beban psikologis dan tanggung jawab rumah tangga yang berat sering kali tidak sebanding dengan kematangan usia mereka.
Pendekatan Inklusif dan Transformatif
Dalam konteks keagamaan, khususnya Islam, pandangan mengenai usia perkawinan tidak bersifat seragam. Hukum Islam tidak menetapkan usia tertentu secara eksplisit, namun mensyaratkan kematangan fisik (baligh) dan kesiapan mental sebagai syarat sahnya perkawinan.
Ini sering ditafsirkan secara fleksibel oleh sebagian masyarakat sebagai pembenaran atas praktik kawin muda. Namun, penting dicatat bahwa dalam maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan syariat), salah satu tujuannya adalah menjaga keturunan (ḥifẓ al-nasl) dan akal (ḥifẓ al-‘aql).
Maka, menikahkan anak di usia dini tanpa kesiapan bisa bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat itu sendiri. Islam sangat menekankan pada kemaslahatan, bukan semata-mata formalitas syarat sah pernikahan.
Di antara ulama kontemporer, telah muncul wacana reinterpretasi hukum pernikahan usia dini, dengan mempertimbangkan konteks sosial kekinian. Beberapa fatwa menekankan pentingnya kemaslahatan anak, pendidikan, dan perlindungan dari kerusakan fisik maupun mental. Ini merupakan bentuk ijtihad modern dalam rangka menyesuaikan hukum dengan zaman.
Dalam praktiknya, terjadi tarik-menarik antara aturan negara yang melarang perkawinan usia dini, budaya lokal yang melegitimasi praktik tersebut, dan pemahaman agama yang cenderung plural. Hal ini menuntut pendekatan yang holistik, bukan hanya bersandar pada satu sisi hukum atau moralitas saja.
Kelemahan dalam penegakan hukum juga menjadi tantangan serius. Meskipun UU telah mengatur usia minimal menikah, namun permohonan dispensasi nikah di pengadilan agama masih banyak dikabulkan. Ini menjadi celah hukum yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat yang masih memegang kuat tradisi kawin muda.
Dari segi moralitas, muncul pertanyaan: apakah sah secara hukum berarti juga benar secara moral? Di sinilah pentingnya mempertimbangkan aspek etika dan tanggung jawab sosial dalam melihat praktik perkawinan dini. Moralitas publik harus tumbuh seiring dengan kesadaran hukum dan keadaban beragama.
Solusi terhadap perkawinan usia dini tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum represif. Perlu ada edukasi menyeluruh tentang kesehatan reproduksi, peran orang tua, serta nilai-nilai keagamaan yang kontekstual dan progresif.
Peningkatan kesejahteraan dan pendidikan juga merupakan kunci utama untuk mengurangi angka perkawinan dini. Pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sipil harus saling bersinergi dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya kesiapan dalam membentuk keluarga.
Hal ini mencakup kesiapan biologis, emosional, spiritual, dan finansial yang menjadi syarat penting dalam membangun rumah tangga yang sehat dan harmonis.
Kesimpulannya, legalitas dan moralitas dalam isu perkawinan usia dini harus dilihat dalam kerangka yang utuh dan tidak parsial. Ketika hukum negara, norma sosial, dan nilai-nilai Islam dipadukan secara bijak, maka akan tercipta sistem perlindungan yang adil dan maslahat bagi generasi muda.
Melalui pendekatan yang inklusif dan transformatif, diharapkan fenomena perkawinan usia dini dapat ditekan secara signifikan. Generasi muda berhak untuk tumbuh, belajar, dan memilih masa depan mereka dengan penuh kesiapan dan kebebasan. (*)
***
*) Oleh : Ainul Yakin, Dosen Hukum Keluarga Fakultas Agama Islam Universitas Nurul Jadid Probolinggo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menakar Legalitas dan Moralitas Perkawinan Usia Dini
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |