TIMES JATIM, SITUBONDO – Tanggal 10 Muharram yang dikenal sebagai Hari Asyura menyimpan makna yang dalam dalam sejarah umat Islam. Bagi sebagian orang, ini adalah hari puasa sunah dan doa. Namun secara spiritual dan historis, Hari Asyura menandai salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Islam: gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husain, di Padang Karbala karena mempertahankan prinsip dan kebenaran.
Lebih dari sekadar peristiwa sejarah, Asyura menyampaikan pesan moral yang abadi: keberanian menyuarakan kebenaran, meskipun harus berhadapan dengan mayoritas yang salah atau kekuasaan yang menindas.
Kisah ini relevan melampaui waktu dan tempat dan menjadi sangat kontekstual di era kini, ketika kita hidup dalam zaman “kebenaran yang dikalahkan popularitas”.
Kebenaran yang Riuh
Di zaman media sosial seperti sekarang, kita tidak lagi hanya dihadapkan pada konflik antara benar dan salah, tetapi pada tarik-menarik antara apa yang benar dan apa yang viral. Tidak semua yang populer adalah benar, dan tidak semua yang benar bisa menjadi populer.
Kita menyaksikan bagaimana pernyataan-pernyataan bombastis lebih cepat mendapat panggung ketimbang suara hati yang jernih. Figur publik lebih sering dihargai karena retorika, bukan substansi.
Bahkan, banyak tokoh baik di media maupun politik memainkan peran sebagai “opinion leader” hanya karena punya jutaan pengikut, bukan karena kapasitas atau integritas mereka.
Dalam konteks ini, semangat Asyura layak direnungkan. Imam Husain memilih untuk menempuh jalan sunyi: menyampaikan kebenaran dan menolak tunduk pada kekuasaan yang zalim, meskipun ia tahu risikonya adalah kehilangan nyawa.
Ia tidak menuruti arus opini publik yang saat itu sebagian besar diam atau pasif, melainkan mempertahankan prinsip dengan keberanian luar biasa.
Masyarakat yang Reaktif
Salah satu tantangan terbesar di era digital adalah kecanduan pada opini. Masyarakat menjadi sangat reaktif terhadap peristiwa, sering kali hanya berdasarkan headline atau potongan video pendek, bukan pada pemahaman utuh.
Setiap kejadian langsung dibanjiri komentar. Dalam hitungan menit, orang sudah bersikap: pro atau kontra. Proses berpikir yang seharusnya dalam dan berjenjang kini digantikan oleh kecepatan dan insting untuk ikut tren. Banyak yang lebih takut dianggap "tidak update" daripada salah memahami.
Media sosial menciptakan ilusi partisipasi. Kita merasa telah "berjuang" hanya dengan membagikan opini, menyukai unggahan, atau membuat cuitan emosional.
Padahal, sering kali kita belum benar-benar memahami isu yang dibicarakan. Kita terjebak dalam siklus popularitas: yang penting banyak dilihat, bukan benar atau salahnya isi.
Asyura, Refleksi Moral
Apa yang bisa kita pelajari dari peristiwa Asyura di tengah budaya viral ini? Pertama, bahwa mempertahankan kebenaran tidak selalu membawa keuntungan sosial.
Imam Husain tidak memenangkan perang secara fisik, tapi kisahnya abadi sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Ini adalah pelajaran penting bahwa kadang kebenaran harus diperjuangkan dalam kesunyian, tanpa tepuk tangan, bahkan dalam ketidakpopuleran.
Kedua, Asyura mengajarkan tentang keteguhan moral. Di zaman sekarang, ketika banyak tokoh dan publik figur memilih jalan kompromi demi pengaruh atau elektabilitas, semangat Karbala menyodorkan alternatif: keberanian menolak tunduk meskipun sendiri.
Ketiga, peringatan Asyura seharusnya menjadi titik tolak untuk masyarakat agar tidak mudah terseret arus. Menjadi masyarakat yang sadar, tidak reaktif, dan mampu memilah antara opini yang dibungkus popularitas dengan nilai-nilai kebenaran yang lebih hakiki.
Politik, Media, dan Kita
Fenomena kecanduan opini ini juga menjadi ladang subur bagi kepentingan politik dan industri media. Banyak isu diangkat bukan karena urgensinya bagi rakyat, tetapi karena potensinya untuk menjadi bahan konsumsi publik. Isu digoreng, opini dipertajam, dan masyarakat dipecah untuk menjaga atensi.
Kita melihat bagaimana para tokoh sering lebih sibuk membentuk citra di media sosial ketimbang menyelesaikan masalah riil di lapangan. Banyak yang bermain aman, ikut arus, atau bahkan menciptakan narasi tandingan bukan karena keyakinan, tapi demi menjaga panggung.
Namun di tengah keriuhan ini, publik tidak bisa selamanya menjadi penonton pasif. Kita perlu membangun kembali kebiasaan berpikir kritis, membaca utuh, dan mengutamakan substansi.
Kita perlu lebih banyak mendengarkan suara yang sunyi tapi jujur, dibanding mengikuti sorakan ramai yang belum tentu benar.
Menjadikan Asyura sebagai Kesadaran Kolektif
Momentum 10 Muharram seharusnya tidak hanya berhenti pada seremoni atau peringatan simbolik. Ini adalah saat yang tepat untuk melakukan perenungan bersama: apakah kita masih mampu membedakan antara kebenaran dan opini yang viral? Apakah kita berani bersikap ketika kebenaran tampak tidak populer?
Mungkin kita tidak sedang berada di medan Karbala, tapi kita berhadapan dengan tantangan zaman yang tak kalah berat di mana suara nurani harus bersaing dengan algoritma dan trending topic.
Asyura mengajak kita semua baik rakyat biasa, tokoh publik, maupun pemegang kekuasaan untuk kembali pada kompas moral. Untuk tidak terjebak dalam euforia digital, melainkan menumbuhkan keberanian bersikap meski tidak viral.
Zaman bisa berubah. Teknologi bisa berkembang. Tapi nilai-nilai seperti keberanian, keteguhan, dan integritas tetap relevan sepanjang masa.
Asyura bukan hanya soal masa lalu, tapi juga tentang bagaimana kita bersikap hari ini. Di tengah dunia yang riuh oleh opini, semoga kita tidak kehilangan suara nurani.
***
*) Oleh : Nur Kamilia, Dosen Hukum STAI Nurul Huda Situbondo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
___________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |