TIMES JATIM, MALANG – Desa sering disebut jantung Indonesia. Di sana lahir kearifan, tumbuh kebersamaan, dan hidup mayoritas rakyat. Tapi kalau kita jujur, desa juga masih identik dengan keterbelakangan, ketimpangan, dan ketidakadilan dalam pembangunan. Padahal, konstitusi sudah menegaskan bahwa negara wajib menghadirkan keadilan sosial, termasuk bagi masyarakat desa.
Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya nasib tata kelola ekonomi lokal di desa hari ini? Apakah benar sudah bergerak menuju kemandirian, atau justru masih jadi korban janji-janji pembangunan yang tak kunjung nyata?
Kita bisa mulai dari Dana Desa, yang sejak 2015 digelontorkan pemerintah pusat dengan angka triliunan rupiah setiap tahun. Harapannya mulia: membangun infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan, dan menggerakkan ekonomi desa. Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu seindah yang tercatat di buku laporan.
Banyak desa memang sudah punya jalan cor, posyandu, atau jembatan kecil. Tapi di sisi lain, ekonomi lokal desa masih belum benar-benar hidup. UMKM desa kerap kesulitan modal, hasil pertanian masih dijual mentah dengan harga murah, dan tenaga kerja produktif lebih memilih merantau ke kota.
Inilah yang menunjukkan bahwa tata kelola ekonomi desa masih lemah. Dana desa lebih banyak habis untuk proyek fisik ketimbang pemberdayaan. Padahal, membangun desa tidak cukup dengan membangun jalan. Jalan tanpa aktivitas ekonomi hanya akan jadi jalan sunyi yang dilalui bus perantau, bukan jalan rezeki bagi warga desa.
Kita juga bisa melihat bagaimana desa sering terjebak dalam logika proyek. BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), yang seharusnya jadi motor ekonomi lokal, seringkali hanya formalitas. Ada papan nama, ada kantor kecil, tapi aktivitasnya minim.
Banyak BUMDes yang mati suri karena tidak ada inovasi bisnis atau salah kelola. Ujung-ujungnya, dana desa hanya berputar di tangan segelintir elite lokal, sementara masyarakat desa tetap jadi penonton.
Ironisnya, desa sering diperlakukan sebagai objek, bukan subjek pembangunan. Pemerintah pusat mengatur dari atas, sementara desa dipaksa mengikuti arahan tanpa benar-benar diberi ruang untuk menentukan prioritas sendiri.
Padahal, tiap desa punya potensi berbeda ada desa nelayan, desa pertanian, desa wisata, hingga desa industri rumahan. Tata kelola ekonomi lokal seharusnya berbasis potensi unik itu, bukan dipukul rata dengan satu resep kebijakan.
Lalu, bagaimana nasib ekonomi lokal desa di tengah gempuran globalisasi? Saat ini, produk dari desa harus bersaing dengan produk luar negeri yang masuk lewat pasar online. Tanpa dukungan serius, produk desa hanya akan jadi barang murahan di lapak digital, kalah bersaing dalam kualitas maupun branding. Ironinya, anak-anak muda desa yang kreatif justru lebih banyak mencari panggung di kota, meninggalkan desa tanpa regenerasi ekonomi.
Namun, bukan berarti harapan itu tidak ada. Beberapa desa berhasil membuktikan bahwa dengan tata kelola yang baik, ekonomi lokal bisa tumbuh. Ada desa yang sukses mengembangkan pariwisata berbasis alam, ada pula yang berhasil mengangkat produk pertanian menjadi merek dagang nasional.
Kuncinya ada di kepemimpinan desa yang jujur dan visioner, partisipasi warga yang aktif, serta dukungan kebijakan yang berpihak. Sayangnya, praktik semacam ini masih jadi pengecualian, bukan kebiasaan.
Kalau kita tarik garis besar, nasib tata kelola ekonomi desa akan selalu terkait dengan tiga hal: kapasitas pemerintah desa, partisipasi masyarakat, dan arah kebijakan nasional. Jika pemerintah desa hanya jadi kepanjangan tangan elite politik, maka desa akan sulit maju.
Jika masyarakat desa apatis dan tidak terlibat, maka pembangunan hanya akan jadi milik segelintir orang. Dan jika kebijakan nasional lebih sibuk memburu angka statistik ketimbang pemberdayaan nyata, maka desa hanya akan jadi jargon politik lima tahunan.
Desa sebenarnya bisa jadi kunci kemandirian bangsa. Bayangkan jika desa-desa di Indonesia benar-benar kuat secara ekonomi: pertanian dikelola modern, UMKM desa menembus pasar nasional, dan BUMDes jadi pusat perputaran modal. Maka arus urbanisasi akan berbalik, dari desa ke kota menjadi dari kota kembali ke desa. Indonesia akan lebih kokoh karena fondasinya kuat di akar rumput.
Tapi semua itu butuh keberanian. Berani menata ulang tata kelola dana desa agar lebih banyak untuk pemberdayaan ekonomi ketimbang infrastruktur fisik. Berani memberi ruang bagi desa untuk berinovasi sesuai potensinya. Berani memastikan BUMDes dikelola profesional, bukan hanya jadi proyek untuk menyerap anggaran.
Nasib tata kelola ekonomi lokal desa hari ini adalah cermin masa depan bangsa. Jika desa dibiarkan stagnan, maka ketimpangan kota dan desa akan semakin melebar. Namun, jika desa diberdayakan, maka Indonesia benar-benar bisa berdiri di atas kaki sendiri. Karena sejatinya, kedaulatan ekonomi nasional berawal dari kemandirian ekonomi di desa.
Pertanyaan yang harus kita ajukan bukan lagi sekadar “berapa besar dana desa yang digelontorkan?” tetapi “seberapa jauh desa mampu berdiri di atas kakinya sendiri?”.
Selama pertanyaan itu belum terjawab dengan nyata, pembangunan desa hanya akan menjadi cerita yang indah di atas kertas, tapi rapuh di akar rumput.
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |