TIMES JATIM, BONDOWOSO – Ada 10 tokoh bangsa yang hari ini, Senin, 10 November 2025 mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah. Diantaranya, pemberian gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden RI kepada dua tokoh besar Pesantren dan NU, Syaikhona Kholil Bangkalan dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pesan singkat yang dapat dipetik adalah, kokohnya pengakuan negara terhadap peran kiai dan pesantren sebagai kekuatan penggerak moral bangsa.
Alhasil, Kedua tokoh tersebut melambangkan dua fase perjuangan ulama: perjuangan membebaskan bangsa dari penjajahan, dan perjuangan membebaskan manusia dari belenggu kemanusiaan dan ketidakadilan.
Ya, sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran para ulama, kiai, dan pesantren. Dalam dinamika sosial politik bangsa, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan keagamaan, melainkan juga pusat pembentukan karakter-moral kebangsaan dan harakah perlawanan terhadap penjajahan. Para kiai menanamkan nilai-nilai keislaman yang berjiwa nasionalisme, menjadikan cinta tanah air sebagai bagian dari iman.
Bagaimana sebenarnya nilai-nilai nasionalisme itu tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren, yang menjadikannya sebagai turats (warisan) perjuangan ulama, berikut kaitannya dengan kontribusi Syaikhona Kholil dan Gus Dur bagi bangsa Indonesia.
Nasionalisme dalam pandangan kiai bukanlah ide sekuler, melainkan bentuk pengabdian kepada Allah melalui cinta kepada tanah air. Konsep ini berakar dari kaidah hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman).
Para kiai menafsirkan dan mengimplementasikan nasionalisme sebagai tanggung jawab spiritual untuk menjaga kehidupan bangsa agar berkeadilan, bermartabat, dan berkeadaban.
Kiai dan Pesantren menanamkan nilai nasionalisme yang tidak bertentangan dengan agama, tetapi justru menumbuh-kembangkan dari ajaran universal Islam tentang keadilan (‘adl), kasih sayang (rahmah), dan kemaslahatan (maslahah).
Praksisnya, Pesantren sejak lama menjadi benteng budaya dan benteng perlawanan terhadap kolonialisme. Para santri dibentuk untuk memiliki kesadaran keagamaan sekaligus kesadaran kebangsaan. Dari pesantren lahir gerakan sosial dan politik yang menegaskan kemerdekaan sebagai bagian dari jihad fi sabilillah.
Dengan karakter dasar seperti ikhlas, tawadhu’, dan istiqamah, kiai melahirkan kepemimpinan moral yang membentuk watak bangsa. Nilai-nilai seperti gotong royong, kemandirian, dan keadilan sosial tumbuh kuat dari rahim pesantren.
Turats (warisan klasik) para ulama tidak hanya berupa karya kitab kuning dalam tradisi keilmuan, tetapi juga berupa sistem nilai yang menjadi guidance, menuntun umat untuk berperan aktif dalam membangun peradaban.
Nilai utama turats ulama yang menjadi dasar nasionalisme pesantren, bisa disebut seperti Tawassuth (moderasi): menjaga keseimbangan antara agama dan tanggung jawab kebangsaan. Tasamuh (toleransi): dalam batas tertentu, menghormati keberagaman dan kemajemukan. I’tidal (keadilan): keberpihakan kepada nilai kebenaran dan keadilan sosial.
Berikutnya, Kemandirian: memperkuat ekonomi dan pendidikan umat tanpa bergantung pada kekuasaan. dan nilai Pengabdian: menjadikan perjuangan sosial sebagai wujud ibadah.
Turats inilah yang menjadi fondasi moral bagi perjuangan kiai seperti Syaikhona Kholil dan Gus Dur dalam konteks yang berbeda zaman, tetapi satu semangat: Islam untuk kemanusiaan dan keindonesiaan.
Inspirasi Nasionalisme Spiritual
Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan (1835–1925) dikenal sebagai “gurunya para kiai Nusantara.” Ia membentuk generasi ulama pejuang seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah. Melalui pesantren Bangkalan, beliau menanamkan nilai-nilai keilmuan yang berpadu dengan semangat perjuangan kemerdekaan.
Syaikhona Kholil memandang perjuangan melawan penjajahan sebagai bagian dari jihad. Dengan kharisma spiritualnya, beliau menjadi poros penyebaran semangat nasionalisme di kalangan ulama Jawa dan Madura.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2025 ini merupakan bentuk penghormatan negara terhadap peran beliau dalam membangun kesadaran kebangsaan berbasis nilai-nilai Islam. Turats beliau melahirkan jaringan pesantren yang menjadi motor lahirnya organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang turut menegakkan NKRI.
KH. Abdurrahman Wahid (1940–2009), atau Gus Dur, merupakan wujud modern dari nasionalisme pesantren. Sebagai cucu KH. Hasyim Asy’ari dan penerus tradisi ulama, Gus Dur menghidupkan kembali nilai-nilai turats dalam konteks demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia.
Gus Dur mengajarkan bahwa Islam harus menjadi kekuatan pemersatu, bukan pemecah belah. Ia menegaskan bahwa agama harus membela manusia, bukan sebaliknya.
Dalam kepemimpinannya sebagai Presiden RI ke-4, Gus Dur menegakkan prinsip kemanusiaan, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap minoritas.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini menunjukkan pengakuan negara terhadap perjuangannya dalam menegakkan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Gus Dur adalah simbol kiai yang melangkah melampaui batas sekat-sekat sosial, membawa semangat pesantren ke ruang demokrasi nasional dan perdamaian global.
Warisan Syaikhona Kholil dan Gus Dur menunjukkan bahwa nasionalisme kiai bersifat berkelanjutan bukan nostalgia masa lalu, tetapi spirit yang menuntun masa depan bangsa. Pesantren masa kini harus menjadi pusat Penguatan pendidikan karakter kebangsaan berbasis nilai Islam moderat. Menjadi kekuatan Inovasi sosial dan ekonomi yang menumbuhkan kemandirian umat. Aktif berperan dalam demokrasi bermoral, bukan politik pragmatis. Dan menjadi pusat Pengembangan wacana keislaman progresif yang memadukan tradisi dan modernitas.
Walhasil kekokohan pesantren (dengan tantangannya) tetap relevan sebagai penjaga moral bangsa sekaligus motor peradaban Indonesia dan global, yang religius, humanis, dan berkeadaban.
Akhirnya, menjadi Tugas kita semua, menjaga dan mengawal Turats ulama untuk bangsa, dengan terus dirawat melalui pesantren, agar nasionalisme Indonesia tetap berakar pada iman, berjiwa kemanusiaan, dan berpijak pada nilai-nilai keadilan.
***
*) Oleh : H. Sutriyono, S.Ag., M.M., Mahasiswa S3 Studi Islam Unuja Paiton dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah Darul Falah Bondowoso.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |