TIMES JATIM, MALANG – Perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia semakin tak terpisahkan dari dunia digital. Kita bangun tidur disambut notifikasi, memesan makanan lewat aplikasi, bekerja melalui platform terhubung, dan menutup hari dengan hiburan streaming.
Semua terasa mudah, praktis, dan menyenangkan. Namun di balik kenyamanan itu, ada harga yang kita bayar tanpa disadari: privasi, kontrol, dan bahkan hak-hak kita sebagai konsumen.
Fenomena yang kini menjadi sorotan global adalah bagaimana manusia perlahan-lahan bergeser dari “pengguna layanan digital” menjadi “komoditas” dalam ekosistem yang dikendalikan algoritma.
Data pribadi kita menjadi mata uang paling berharga. Alamat rumah, daftar kontak, lokasi, hingga preferensi belanja semuanya disedot, dianalisis, dan dijadikan aset ekonomi yang menguntungkan pihak lain. Setiap klik meninggalkan jejak digital yang bisa mengungkap lebih banyak tentang diri kita daripada orang terdekat sekalipun.
Di Indonesia, kasus kebocoran data yang terjadi berulang kali menjadi bukti bahwa perlindungan konsumen digital masih rapuh. Regulasi memang tersedia dalam bentuk UU Perlindungan Data Pribadi, namun efektivitasnya masih berada di fase uji coba.
Perusahaan kerap menjadikan keamanan data hanya sebagai slogan penenang, sementara praktik pengelolaan data masih jauh dari transparan. Kita jarang membaca syarat dan ketentuan yang panjangnya seperti novel, namun satu klik persetujuan berarti memberikan akses penuh kepada platform untuk memanfaatkan data kita.
Pada saat yang sama, kejahatan digital semakin canggih memanfaatkan kerentanan masyarakat. Penipuan lewat pengiriman paket palsu, phishing berkedok promo menarik, dan rekayasa sosial yang menyusup hingga informasi paling pribadi mulai dianggap sebagai risiko biasa.
Platform digital menyediakan fitur pelaporan, tetapi penyelesaiannya kerap berbelit, seolah menyiratkan bahwa keamanan adalah tanggung jawab personal. Padahal konsumen tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian melawan risiko sistem yang dibuat pihak lain.
Selain itu, kini dunia digital tidak hanya mempengaruhi pilihan kita, tetapi juga mengarahkannya. Dark patterns desain antarmuka yang disusun untuk mengelabui konsumen telah menjadi bagian dari strategi bisnis banyak platform. Tombol berlangganan dibuat besar, tombol berhenti dibuat kecil dan tersembunyi.
Promo seolah terbatas waktu, padahal tersedia setiap hari. Kita seakan memiliki kebebasan memilih, namun pilihan itu sudah diatur secara halus oleh desain yang memihak kepentingan perusahaan. Konsumen terjebak dalam permainan psikologi yang menguntungkan korporasi besar.
Masalah lain adalah dominasi platform raksasa yang menguasai hampir seluruh transaksi digital. Pasar terlihat kompetitif, tetapi sebenarnya hanya segelintir pemain yang menentukan aturan main. Mereka memutuskan siapa yang mendapat sorotan dan siapa yang tenggelam dalam sistem ranking algoritmik.
Di satu sisi, UMKM bisa naik kelas lewat marketplace. Namun di sisi lain, perubahan kebijakan sekecil apa pun bisa menjatuhkan mereka dalam hitungan hari. Ketimpangan kuasa dalam ekosistem digital semakin nyata dan berisiko menciptakan monopoli baru yang tak terlihat.
Konsumen digital di Indonesia sebenarnya berada dalam dilema. Di satu sisi, kita menikmati kenyamanan teknologi dan merasa sulit kembali pada cara-cara konvensional. Di sisi lain, kita semakin tidak berdaya menghadapi risiko yang tersembunyi.
Literasi digital sering dimaknai sebagai keterampilan mengoperasikan aplikasi, padahal yang lebih dibutuhkan adalah kesadaran kritis akan dampak setiap aktivitas digital terhadap perlindungan diri dan kepentingan publik.
Ini saatnya menegaskan bahwa hak konsumen di dunia digital sama pentingnya dengan hak di pasar fisik. Perusahaan harus menempatkan konsumen sebagai subjek yang dihormati martabatnya, bukan sekadar angka dalam grafik pertumbuhan.
Pemerintah harus hadir lebih kuat memastikan regulasi berjalan, sanksi ditegakkan, dan inovasi tidak menjadi alasan untuk melemahkan perlindungan. Sementara masyarakat harus membangun kesadaran kolektif bahwa data pribadi adalah bagian dari kedaulatan yang tidak boleh dilepas begitu saja.
Ekonomi digital adalah masa depan Indonesia. Namun masa depan itu tidak boleh dikehendaki sepenuhnya oleh platform raksasa dan pemilik modal global. Ia harus dibangun di atas prinsip keadilan, transparansi, dan penghormatan terhadap hak-hak konsumen.
Perubahan mungkin tidak terjadi dalam semalam, tetapi kesadaran publik adalah langkah awal untuk memastikan kita tidak sekadar menjadi produk dalam mesin raksasa bernama teknologi.
Kita adalah warga digital yang memiliki martabat, bukan sekadar target algoritma. Dan negara, bersama seluruh pemangku kepentingan, berkewajiban memastikan martabat itu terlindungi.
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |