TIMES JATIM, JEMBER – Beberapa waktu terakhir, ruang publik dihebohkan oleh tudingan yang menyudutkan lembaga pesantren. Ada yang menilai bahwa pesantren adalah tempat tumbuhnya feodalisme, bahkan menyebut khidmah sebagai bentuk perbudakan terselubung.
Pandangan seperti ini cepat sekali menyebar melalui media sosial, mengundang komentar dari banyak kalangan, sebagian dengan nada sinis terhadap tradisi pesantren yang selama ini menjadi benteng pendidikan Islam di Indonesia.
Narasi-narasi semacam itu lahir dari cara pandang yang dangkal terhadap kebudayaan pesantren. Dalam dunia modern, relasi sosial kerap diukur berdasarkan logika imbalan dan kesetaraan mutlak.
Setiap hubungan yang tampak tidak seimbang segera dicurigai sebagai bentuk penindasan. Cara pandang seperti ini kemudian diterapkan untuk membaca khidmah, tanpa memahami latar spiritual dan pedagogis yang melingkupinya.
Khidmah dalam tradisi pesantren bukanlah bentuk subordinasi, melainkan proses pembentukan karakter yang menumbuhkan keikhlasan, ketekunan, dan kerendahan hati dalam mencari ilmu.
Kiai dalam tradisi pesantren bukan sosok majikan, melainkan guru spiritual yang membimbing santri melewati perjalanan batin menuju kedewasaan. Santri yang membantu gurunya sedang melatih kesadaran diri bahwa ilmu menuntut adab dan ketundukan moral.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Barang siapa mengajarkan kepadaku satu huruf, maka aku menjadi hambanya.” Ungkapan itu bukan bentuk penyerahan diri secara fisik, tetapi pengakuan atas keagungan ilmu. Ia mengajarkan bahwa penghormatan terhadap guru adalah bagian dari perjalanan manusia mengenal hakikat kebenaran.
Tuduhan bahwa pesantren adalah lembaga feodal juga mengabaikan sejarah panjangnya dalam membangun bangsa. Sejak abad ke-18, pesantren telah menjadi pusat pendidikan dan perlawanan terhadap kebodohan.
Salah satu contohnya adalah Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan yang berdiri pada tahun 1745 dan kini telah berusia 289 tahun. Sidogiri bukan hanya bertahan sebagai lembaga keilmuan, tetapi juga berkembang menjadi pusat pemberdayaan masyarakat yang luar biasa.
Hingga kini, Sidogiri secara rutin mengirim ribuan guru tugas dan dai ke berbagai daerah di Indonesia sebagai bentuk khidmah kepada umat. Para guru tugas itu menjadi ujung tombak dakwah dan pendidikan di tengah masyarakat, menghidupkan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah di berbagai wilayah.
Di sisi lain, Sidogiri juga menunjukkan kemampuan luar biasa dalam membangun kemandirian ekonomi. Melalui jaringan ritel Toko Basmalah, pesantren ini telah berkembang menjadi kekuatan ekonomi umat yang mampu menyaingi jaringan ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart.
Keberadaan Sidogiri membuktikan bahwa khidmah tidak mengebiri nalar, tetapi justru melahirkan kemandirian dan tanggung jawab sosial. Santri yang dibesarkan dalam semangat khidmah memahami bahwa pengabdian kepada guru dan masyarakat adalah bagian dari pencarian makna hidup. Inilah nilai pendidikan pesantren yang tidak akan ditemukan dalam sistem pendidikan yang semata-mata menekankan hasil akademik.
Kritik terhadap pesantren tentu diperbolehkan. Tradisi Islam justru menumbuhkan budaya kritik sebagai bentuk penyempurnaan diri. Namun kritik yang benar harus lahir dari pemahaman dan rasa cinta terhadap tradisi, bukan dari kebencian atau generalisasi.
Jika ada penyimpangan di sebagian pesantren, maka itu adalah kesalahan personal, bukan bukti bahwa seluruh sistem pesantren salah. Menyalahkan seluruh pesantren karena tindakan segelintir oknum sama halnya menilai seluruh agama dari perilaku buruk sebagian kecil pemeluknya.
Pesantren bukan lembaga yang anti-modern. Banyak pesantren kini membuka ruang bagi pengembangan teknologi, ekonomi, dan kurikulum formal, tanpa meninggalkan ruh keilmuannya.
Nilai seperti ta’dzim, adab, dan khidmah tetap dijaga sebagai inti pendidikan. Di tengah dunia yang serba cepat dan cenderung materialistik, pesantren masih menjadi ruang di mana ilmu dan iman dipertemukan.
Mereka yang menuduh pesantren sebagai lembaga tertutup sesungguhnya tidak memahami bahwa dari pesantren lahir ribuan ulama, pendidik, dan pejuang bangsa. Dari pesantren pula tumbuh nilai-nilai sosial yang menanamkan kesadaran etis dan spiritual dalam masyarakat. Menyerang pesantren bukanlah bentuk keberanian berpikir, melainkan tanda kehilangan rasa hormat terhadap sumber kebijaksanaan bangsa.
Kini pesantren berada di persimpangan tafsir. Ada yang membaca dengan kacamata material, dan ada pula yang memahaminya sebagai ruang pembentukan adab dan ruhani.
Sejarah telah membuktikan bahwa pesantren selalu menjadi penyangga moral bangsa. Menjaga pesantren berarti menjaga jati diri Indonesia yang berakar pada iman dan ilmu.
Pesantren bukan sisa masa lalu yang tertinggal, melainkan pondasi masa depan yang terus menyalakan cahaya di tengah gelapnya zaman. Selama masih ada generasi yang menuntut ilmu dengan adab dan keikhlasan.
Selama itu pula pesantren akan tetap hidup, mengajarkan makna kebebasan sejati. Kebebasan yang lahir dari pengabdian kepada kebenaran.
***
*) Oleh : Moh. Fakhri As Shiddiqy, Penulis dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Jember.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |