TIMES JATIM, SURABAYA – Permasalahan penyakit kudis atau skabies di pondok pesantren masih kerap dianggap wajar. Padahal, jika hal tersebut diabaikan, maka akan menimbulkan efek jangka panjang yang tidak baik.
Melihat hal tersebut, tim pengabdian masyarakat Universitas Airlangga (Unair) melalui Departemen Dermatologi, Venereologi, dan Estetika, memberikan edukasi terkait penanganan penyakit kulit skabies di Pondok Pesantren atau Ponpes Al Fitrah, Surabaya, Rabu (8/10/2025).
Sebagai wujud nyata Tri Dharma Perguruan Tinggi, Ketua tim pengabdian masyarakat, Hasnikmah Mappamasing, dr., Sp. DVE., Subsp. DT., M.Kes menyebut, kegiatan ini adalah aplikasi dari ilmu pengetahuan yang telah dipelajari untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
"Pengabdian masyarakat ini merupakan salah satu dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat," ungkapnya.
Hasnikmah menjelaskan, dari data yang ia terima, masih banyak penyakit skabies yang ditemukan di pondok pesantren. "Dan data terbaru menunjukkan angka prevalensi skabies usia kurang 20 tahun terbanyak nomor satu untuk Indonesia," ujarnya.
Hasnikmah berharap, pengabdian ini nantinya juga bisa mendukung program pemerintah. "Yaitu Indonesia Bebas Skabies di tahun 2030," katanya.
Sementara itu, menurut Yuri Widia, dr., Sp. DVE., Subsp. DA., meskipun skabies ini bisa menyerang siapapun, penularannya lebih mudah berkembang dalam suatu komunitas yang intens. Oleh karena itu, penanganan skabies memerlukan upaya yang lebih luas, tidak hanya dari aspek medis.
"Penanganannya itu tidak bisa hanya dari aspek kesehatan saja. Perlu bantuan dari berbagai pihak karena bagaimana untuk membantu infrastrukturnya, jadi bagaimana mereka itu kalau bisa tidak terlalu banyak orang di dalam satu kamar," urainya yang juga sebagai pemateri.
Selain itu, isolasi dini bagi santri yang terserang dan intervensi kelompok terdekat, atau pemeriksaan dan pengobatan bagi yang kontak erat juga krusial untuk memutus rantai penularan.
Lebih lanjut, dr. Yuri juga menekankan bahwa pencegahan penyakit tidak hanya sebatas pemberian obat. Secara khusus ia menghimbau para santri dan pengasuh pesantren untuk memperbaiki dan menjaga kehidupan sehari-harinya.
"Diimbau untuk menjaga kebersihan, seperti mandi dengan teratur, menjaga supaya lingkungan tidak lembab, selalu bersih, kemudian juga membatasi pemakaian barang-barang pribadi secara bersama," urainya.
Dalam kesempatan yang sama, Ellyana Noer, Dokter klinik Ponpes Al Fitrah menyambut baik inisiatif ini, melihat kondisi asrama yang begitu padat.
"Saya sangat mensupport karena memang kondisi di pondok itu komunitas atau perkumpulan dari anak-anaknya sangat tinggi. Di kamar itu anak-anak sekamarnya ada yang 30, ada yang 35. Jadi penyakit skabies ini masih ditemukan," ujarnya.
Elly berharap melalui pengabdian ini, para santri bisa mengimplementasikan untuk dirinya sendiri, terlebih bisa menyebarkan kepada teman-teman sekamarnya.
"Setidaknya sharing informasi ini bisa memberikan insight untuk adik-adik dan juga mungkin untuk para pengasuh, sehingga mereka bisa ikut berkontribusi untuk upaya menurunkan kejadian skabies ini," tuturnya.
Menariknya, kegiatan ini juga dihadiri oleh Lisca Rijn, mahasiswa kedokteran dari Erasmus University Rotterdam. Ia menyatakan ketertarikannya mempelajari kasus skabies di Indonesia, terutama di pondok pesantren. "Karena di Belanda, penyakit ini tidak banyak ditemukan kalangan pelajar," tandasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Waspadai Skabies, Tim Dokter FK Unair Tekankan Pentingnya Penanganan Komprehensif
Pewarta | : Siti Nur Faizah |
Editor | : Deasy Mayasari |