TIMES JATIM, MALANG – Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Sementara sebagian besar warga Kabupaten Situbondo masih terlelap, di pesisir Desa Sumberanyar, langkah-langkah tergesa sudah mulai terdengar. Suara mesin kapal bersahutan dengan teriakan lelang, aroma amis ikan bercampur dengan bau garam laut yang menyengat. Ini bukan pasar biasa. Ini adalah TPI Mimbo Situbondo—tempat di mana kehidupan tidak menunggu pagi datang untuk mulai bergerak.
Di sinilah, denyut ekonomi pesisir berdetak. Sejak fajar, nelayan dari berbagai penjuru berlabuh, membawa pulang hasil laut yang ditangkap sepanjang malam. Ikan kempar, tongkol, buntok merah, layor, hingga cumi dan udang—semua naik ke darat dalam kondisi segar, hanya beberapa jam setelah ditarik dari laut Jawa.
“Kadang kami hanya punya waktu sebentar untuk istirahat. Tapi laut sudah memanggil lagi,” kata Agus, seorang nelayan berusia 41 tahun yang sudah dua dekade terakhir menghabiskan malamnya di laut.
“Kalau tidak melaut, dapur tidak ngebul,” tambahnya pelan, Senin (30/6/2025).
Agus adalah wajah dari ratusan nelayan yang bergantung pada TPI Mimbo Situbondo. Ia pergi melaut sejak pukul tiga sore, menyusuri laut hingga dini hari. Jam lima pagi, kapalnya kembali, membawa harapan yang masih basah dan beraroma garam.
Di pelabuhan pelelangan ini, tidak ada jeda. Ikan-ikan yang baru naik langsung masuk ke dalam “bok”—keranjang besar yang masing-masing beratnya bisa mencapai satu setengah ton. Diangkat oleh buruh angkut, sebagian besar dari Pulau Sapudi, Madura, yang telah menjadi bagian dari denyut Mimbo sejak bertahun-tahun lalu.
Satu kali angkut, ia dibayar Rp30.000. Tidak besar, tetapi cukup bagi para kuli angkut untuk membeli beras dan membayar listrik di kontrakan sempit dekat dermaga.
Mimbo adalah tempat bertemunya banyak kisah. Seperti Nor Haina, pedagang perempuan dari Pulau Raas, yang datang dua kali seminggu untuk membeli ikan segar.
Jarak bukan soal bagi Haina. Ia menyewa kapal nelayan, membawa es batu dari rumah, dan menempuh perjalanan lebih dari 8 jam demi mendapat ikan terbaik di TPI Mimbo Situbondo.
“Di Raas belum ada TPI. Jadi kami ke sini. Karena kualitas ikannya beda. Masih basah, masih hidup kadang,” tuturnya.
Nor Haina tak hanya membeli untuk dijual kembali. Kadang, ia membagikan sebagian kepada tetangga. Bukan karena ia berlebihan, tapi karena solidaritas adalah hal yang dia pelajari sejak kecil.
“Kami hidup di laut, harus saling bantu. Laut enggak pernah pilih kasih, semua dapat jatah kalau berusaha,” ujarnya.
Menurut data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, pada 2024 produksi perikanan tangkap provinsi ini mencapai lebih dari 735.000 ton, menjadikannya penyumbang hasil laut terbesar nasional.
Wilayah utara seperti Lamongan, Probolinggo, dan Situbondo memegang peran penting. Dan dari Situbondo, TPI Mimbo adalah pusat utama yang menopang sebagian besar distribusi hasil laut.
Setiap harinya, TPI Mimbo menyalurkan puluhan ton ikan segar ke berbagai daerah, termasuk Surabaya, Malang, Jakarta, dan Bali.
Namun, meski vital, TPI Mimbo Situbondo jauh dari kata ideal. Bangunan tua, minim fasilitas penyimpanan dingin, dan proses lelang yang masih dilakukan secara manual menjadi tantangan tersendiri.
Tidak ada teknologi digital di sini. Tidak ada pendingin modern. Yang ada hanya tangan-tangan cekatan dan naluri bertahan hidup yang terlatih.
“Kalau pagi hujan, susah. Barang enggak bisa cepat keluar. Tapi ya tetap dilakoni. Ini hidup kami,” ujar Agus.
Dalam kesederhanaan itu, Mimbo justru menunjukkan wajah Indonesia yang nyata—di mana kerja keras belum tentu dibayar setimpal, tapi tetap dijalani dengan kepala tegak.
Kini, TPI Mimbo Situbondo tak hanya menjadi simpul ekonomi lokal. Ia adalah jaringan sosial yang hidup: menghubungkan nelayan dengan pembeli, buruh dengan bandar, Madura dengan Jawa, pagi dengan malam. Semuanya bergerak dalam putaran laut dan waktu.
Pemerintah kabupaten telah mengisyaratkan rencana revitalisasi pelabuhan ini. Tetapi waktu terus berjalan, dan kehidupan tetap berputar.
Di antara ikan segar dan lelang cepat, orang-orang di Mimbo tetap bekerja, tetap berharap, tetap percaya bahwa dari laut, hidup bisa terus bertahan.
Mungkin, tidak semua orang tahu di mana itu TPI Mimbo Situbondo. Tapi bagi mereka yang tinggal di pesisir, nama itu adalah rumah. Tempat di mana suara manusia berpadu dengan suara laut, dan harapan selalu datang bersamaan dengan ombak pertama di pagi hari.(*)
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Imadudin Muhammad |