TIMES JATIM, BLITAR – Menelusuri lebih dalam mengenai pecel, makanan kuno yang tetap bertahan dan eksis di era modern ini, sebenarnya masih banyak sekali sisi menarik yang perlu dibahas. Di samping pengetahuan umum yang telah diketahui oleh warga Nusantara mengenai pecel yang identik dengan olahan sayur dengan bumbu kacang, ternyata ada fakta menarik yang mengungkapkan bahwa pecel selalu disandingkan dengan lauk khususnya ayam (Bahasa Jawa; pithik).
Hal tersebut dibuktikan di dalam sebuah naskah Sunda (Sanghyang Swawar Cinta), naskah kuno Babad Tanah Jawi, kitab Pustakaraja Purwa yang ditulis oleh Ranggarwasita, serta Serat Centhini. Pada naskah Sanghyang Swawar Cinta, adanya sebutan “hayam danten dipepecel” yang berarti “ayam dara dibumbu pecel”, namun dalam naskah tersebut tidak ada keterangan lebih lengkap mengenai resepnya.
Ilustrasi - Naskah Kuno Serat Centhini (FOTO: Historia/GOOGLE)
Selain itu, dosen Antropologi Universitas Brawijaya, Ary Budiyanto mengungkapkan, dalam Centhini dan Pustakaraja terdapat tiga hidangan yang selalu jadi syarat sesajian, yakni : sêga golong, pêcêl pitik, dan jangan mênir. Tentang pêcêl pitik yaitu, “panggang pitik iwake sira cuwilana, banjur sira cêmplungêna ing sambêl, kang nganggo bumbu bawang kêncur sarta kang dèn dokoki duduh santên.” Pecel ayam itu: ayam panggang disuwir-suwir lalu dimasukan/disiram dengan sambel yang terbuat dari bawang putih dan kencur yang dimasak dengan santan.
Oleh karena itu, pecel dalam artian masa lalu adalah hidangan yang disajikan dengan sambal atau saus yang berbumbu sebagai dressing, yang ‘lauknya’ bisa saja daging dan atau sayur. Sambal tersebut bisa saja disiramkan di atasnya atau lauknya yang dimasukkan ke dalam sambal.
Pepecelan atau pecek lauk biasanya disajikan bersama dengan sayur-sayuran semacam urapan (nama kuno: lawaran/ebatan), dalam bahasa Sunda disebut dengan rumbahan atau kuluban (Jawa). Sayuran tersebut bisa jadi sudah dimasak terlebih dahulu ataupun masih mentah. Apabila lauk sudah habis, maka samabl ‘pecel’ biasanya masih dapat disajikan bersama urapan atau kulubannya. Dari situ lah adanya perpaduan antara sambal pecel dan sayur-sayuran.
Tentu pecel tersebut berbeda dengan pemahaman pecel yang sudah dikenal oleh banyak orang, seperti Pecel Madiun atau Pecel Blitar. Pecel yang berbahan sambal bumbu kacang yang dicairkan menjadi semacam saus dressing yang disiram di atas sayuran yang sudah direbus (godhog).
“Tidak ada yang tau pasti kapan bumbu pecel berbahan kacang tanah ini, namun ada sumber yang dianggap sebagai gambaran awal. Bumbu pecel ada disebut di Centhini yang masuk dalam kategori hidangan ‘sambal’,” Ujar Dosen Antropologi Kuliner Universitas Brawijaya tersebut.
Dalam pemaparannya mengenai asal muasal pecel kepada TIMES Indonesia, pria yang akrab disapa dengan Ary menyebutkan, di antara banyaknya jenis sambal yang disebutkan dalam Centhini, terdapat tiga jenis sambal yang ada kaitannya dengan cerita pecel. Pertama, Sambal Santen disebutkan bisa jadi ada hubungannya dengan pecel ayam/pithik, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Kedua, Sambal Wijen, yang mana dikaitkan dengan “sambal pecel ndesa” yang masih bisa dijumpai di Solo dan sekitarnya, yakni pejual Pecel Ndeso yang sama persis dengan pecel sayur namun dengan bumbu pecelnya dari biji wijen, bukan kacang tanah.
Ketiga, Sambal Pecel yang disebutkan di Centhini bisa jadi adalah bumbu atau sambal pecel yang kita kenal saat ini yang berbahan dasar kacang tanah. Dugaan kuat penggunaan kacang tanah sebagai bahan dasar bumbu pecel tersebut berawal dari abad 19, sebab Centhini ditulis mulai tahun 1814.
Pria yang meraih gelar Magister Kajian Agama dan Budaya di Universitas Gadjah Mada ini juga menegaskan bahwa tidak diketahui secara pasti apakah sambal wijen atau sambal kacang tanah yang pertama kali menjadi sambal pecel seperti sekarang ini, sebab wijen telah lebih dulu dikenal di Nusantara sebagaimana tertulis di Prasasti Yupa Muarakaman VI pada tahun 475 M di Kutai.
Penggunaan kacang tanah sebagai unsur utama bumbu pecel yang dikenal seperti pecel kekinian merupakan hal yang baru. Kacang tanah sendiri baru dikenal di daratan Jawa dan Nusantara di abad 17 Masehi. Kacang tanah diperkenalkan oleh para petani Cina yang kemudian membudidayakannya di sepanjang pantai utara di Jawa, dari Batavia ke Timur, pada abad 18 M sebagaimana tercatat dalam catatan Belanda. Pada saat itu kacang tanah disebut dengan Katjang Tjina, hal tersebut berdasarkan informasi dari Lombard Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia dan Aa dalam bukunya ‘Kacang Tanah’ (bersambung…). (*)
Pewarta | : Tiara Firgishanda Ipaenin (PKL) |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |