TIMES JATIM, MALANG – Proyek revitalisasi Alun-Alun Tugu Malang kini telah dimulai. Proyek dengan anggaran sekitar Rp5 miliar tersebut melingkupi perobohan pagar, pelebaran pedestarian, penggantian dan penambahan lampu taman, pengadaan kursi, penataan pola taman serta penambahan jalur jogging track.
Namun, dalam pengerjaan proyek revitalisasi Alun-Alun Tugu Malang, ada temuan fakta baru yang merupakan bagian dari catatan sejarah.
Temuan itu adalah tiga batu berbentuk kotak berbahan andesit yang ditemukan saat proses revitalisasi berlangsung. Batuan tersebut terpasang di kawasan Bundaran Tugu dengan tulisan yang menghadap ke atas. Banyak masyarakat yang tidak tahu akan keberadaan tiga batuan tersebut yang diduga merupakan peninggalan jaman penjajahan.
Dari pengamatan yang dilakukan di Alun-Alun Tugu Malang, bebatuan itu bertuliskan kata yang berbeda. Pertama, bertuliskan 'MALANG IN MEMORY OF', kedua bertuliskan 'OOSTERHUIS' dan ketiga bertuliskan 'BAPAK TONKO'. Dalam batuan itu juga terdapat plakat bulat dengan tanda anak panah.
Di baris atas, juga terdapat tulisan diawali dengan tanda bintang dan dilanjutkan dengan tulisan WESTERLEE 1896. Sementara, dibaris bawah terdapat tulisan diawali dengan tanda salib dan dilanjutkan dengan tulisan AMBIN 1943.
Sementara, batu ketiga bertuliskan JOHAN dan JAN. Disebelah kanan tulisan terdapat dua plakat bulat dengan masing-masing tanda anak panah. Adapun juga tulisan KALABAHI 1927 dan tulisan MALANG 1945.
Tak hanya itu, batuan itu juga terdapat tulisan TJIMAHI 1933 dan LABUHANBAJO 2003 dengan awalan tanda bintang.
Pemerhati sejarah Malang, Restu Respati mengatakan, ketika ia meninjau lokasi dan memeriksa batuan tersebut, diduga itu merupakan benda cagar budaya dan memiliki catatan sejarah.
Ia juga sempat khawatir bahwa pelaksana proyek revitalisasi tidak memahami arti pentingnya objek temuan sejarah tersebut.
"Dugaan kami benar, pelaksana proyek mengaku tidak mengetahui akan keberadaan objek tersebut. Setelah kami jelaskan, barulah kami bersama-sama mencarinya. Berdasarkan foto lama yang kami pegang, kami tahu titik lokasi yang harus kami tuju. Untung saja objek tersebut masih ada, meskipun beberapa dalam kondisi cacat, karena terkena alat backhoe," ujar Restu, Rabu (5/7/2023).
Sementara, pengamat dan peneliti sejarah Tjahjana Indra Kusuma memastikan bahwa berdasarkan data dan bukti sejarah yang ia miliki, batuan tersebut bukanlah benda cagar budaya, apalagi berkaitan erat dengan sejarah Alun-Alun Tugu Malang.
Diketahuinya, bebatuan itu dipasang oleh seseorang melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) pada tahun 2016 lalu.
"Baru andesit ini ditempatkan disini pada 2016, kalau kaitan sejarah ini ya sebagai elemen pelengkapnya. Tidak berhubungan dengan nilai-nilai sejarah lingkungan kawasan," ungkapnya.
Ia menuturkan, jika bebatuan itu diberikan oleh keluarga dari Indonesia bagian Timur, dimana ayah dari keluarga tersebut pernah bertugas di Malang sebagai pasukan KNIL (Koninklijk Nederlands-Indische Leger). Sosok itu disebut bernama TONKO' Oosterhuis dengan pangkat terakhir saat bertugas di Malang, yakni Letnan Muda.
"Dia itu tentara KNIL yang dinas terakhir di Batalyon Infantri 8 di Rampal. Ini KNIL sejak muda tahun 21 memulai dinasnya di Kalabahi, Kepulauan Alor. Kemudian mutasi ke Waingapu, kemudian ke Cimahi, ke Surabaya, ke Samarinda hingga terakhir ke Malang sampai invasi Jepang dan meninggal di Ambon, karena korban romusha," jelasnya.
Selain itu, berdasarkan data yang diterima Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Malang, bebatuan tersebut terpasang karena ada kerjasama antara DLH dengan ahli waris keluarga yang memberikan kenang-kenangan untuk Kota Malang.
"Harusnya sih ada MoU-nya. Tapi kalau durasinya saya tidak begitu tahu. Itu kan dihibahkan saja. Oleh karena itu, melalui sebuah keterbukaan informasi latarbelakang apa di pembangunan iji dengan komunikasinini, harapan kami semakin jelas apa yang dimaksud dengan ini," tandasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Temuan Batu Catatan Sejarah di Proyek Revitalisasi Alun-Alun Tugu Malang
Pewarta | : Rizky Kurniawan Pratama |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |