TIMES JATIM, MALANG – Peluncuran buku berjudul Cor Unum Et Anima Una yang mengungkap jejak panjang keberadaan komunitas Ursulin di Malang sejak tahun 1900 hingga 2025 mendapatkan sambutan hangat dari para budayawan.
Salah satunya datang dari Dwi Cahyono, budayawan sekaligus Ketua Asosiasi Museum Indonesia Daerah (Amida) Jawa Timur, yang menyebut keterbukaan Cor Jesu dalam mempublikasikan arsip sejarah internalnya merupakan langkah berani dan patut dicontoh.
“Ini penting. Komunitas lokal membuka diri. Aku dulu waktu mulai menulis sejarah Malang itu kesulitan nyari data-data dari dalam. Foto-foto saja sampai sekarang aku belum berani publish. Tapi dengan terbitnya buku ini, berarti semua datanya sudah boleh dipublikasikan. Ini cukup penting,” ujar Dwi dalam keterangannya.
Menurutnya, langkah Cor Jesu ini memberikan preseden baik bagi komunitas pemilik bangunan bersejarah lainnya di Kota Malang, seperti gereja-gereja tua, rumah sakit lama, hingga komunitas pengelola bangunan kolonial yang selama ini cenderung tertutup terhadap akses sejarah.
Membuka Akses Sejarah Lokal yang Terpendam
Bagi Dwi, keterbukaan seperti ini adalah kunci untuk membangun narasi sejarah Malang yang utuh. Ia menyinggung betapa pentingnya mengisi celah-celah atau missing link dalam sejarah, yang selama ini tak terjawab karena kurangnya data.
"Aku tadi juga ngomong soal missing link. Tiba-tiba dalam catatan sejarah muncul peristiwa seperti Jepang datang lalu membakar bangunan ini-itu. Tapi kenapa itu bisa terjadi? Setelah ada data seperti dari buku ini, akhirnya nyambung. Misalnya, oh ternyata Ursulin sudah ada sejak 1900, jadi ketika alun-alun dibangun, mereka sudah eksis. Data itu akhirnya tersambung," jelasnya.
Dwi menambahkan bahwa narasi sejarah bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga menjadi identitas kolektif sebuah kota. Maka, keterbukaan akses terhadap arsip dan dokumentasi sejarah tak seharusnya dibatasi hanya untuk momen seremonial seperti peluncuran buku.
“Ini bukan sekadar soal buku. Tapi bagaimana institusi-institusi pemilik bangunan lawas membuka diri untuk kontribusi sejarah yang lebih besar. Kalau mereka sudah mau buka sendiri, ya itu sebetulnya aset besar untuk sejarah Malang,” tandasnya.
Teladan untuk Institusi Lain
Dalam paparannya, Dwi menyebut beberapa institusi yang bisa mengambil pelajaran dari langkah Cor Jesu, antara lain Rumah Sakit Lavalette, Panti Nirmala, dan beberapa gereja tua di Malang. Menurutnya, institusi-institusi ini juga memiliki kekayaan dokumentasi sejarah yang belum tergali secara maksimal.
“Kita butuh narasi sejarah yang tersusun dengan baik. Bukan hanya cerita lisan atau asumsi. Buku seperti ini membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk penulisan sejarah lokal yang faktual dan berimbang,” tutupnya.
Peluncuran buku Cor Unum Et Anima Una menjadi momentum penting dalam menghidupkan kembali memori kolektif Kota Malang, sekaligus dorongan agar komunitas lain turut berperan aktif dalam membagikan cerita masa lalunya kepada publik. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Imadudin Muhammad |