TIMES JATIM, BANYUWANGI – Salah satu warisan budaya Kabupaten Banyuwangi, Tari Rengganis, kini berada di ambang kepunahan. Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) mengungkapkan berbagai faktor yang menyebabkan kondisi yang mengkhawatirkan ini.
Tari Rengganis Banyuwangi adalah kesenian drama tradisional yang berkembang di Banyuwangi yang diperkirakan berasal dari Kerajaan Mataram Islam.
Pertunjukan ini merupakan bentuk akulturasi dan kolaborasi dari gabungan beberapa jenis seniman seperti wayang orang, ketoprak, janger, ande-ande lumut, gandrung dan lainnya.
Kesenian rakyat ini sebagaimana ludruk dan ketoprak mulai ditinggalkan saat terjadi prahara budaya di tahun 1965. Saat ini, sisa-sisa pemain kesenian Rengganis sepuh masih dapat ditemui. Salah satunya kelompok kesenian Rengganis yang aktif terdapat di Desa Cluring, Banyuwangi.
Ketua DKB Banyuwangi, Hasan Basri, menjelaskan bahwa ada beberapa alasan utama mengapa Tari Rengganis terancam punah.
“Salah satu penyebab utama adalah kurangnya minat generasi muda untuk mempelajari dan melestarikan tarian ini. Banyak dari mereka lebih tertarik pada budaya populer modern dan tidak lagi melihat nilai dalam seni tradisional,” katanya kepada Times Indonesia, Senin (4/11/2024).
Selain itu, Hasan juga menyoroti kurangnya minat masyarakat umum untuk mengadakan hiburan atau dalam bahasa jawa biasa disebut (nanggap) pagelaran kesenian Rengganis ini.
“Berkurangnya animo masyarakat untuk nanggap kesenian Rengganis dalam berbagai acara membuat pemasukan finansial para pelaku seni kesulitan untuk mengadakan latihan rutin,” ujarnya.
Tidak bisa dipungkiri, lanjut Hasan, dukungan finansial bagi pelaku seni menjadi alasan utama mengapa kesenian ini mulai ditinggalkan.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi, Taufik Rohman, mengungkapkan alasan mengapa kurangnya minat masyarakat terhadap kesenian Rengganis. Menurutnya, biaya untuk menggelar kesenian ini cukup mahal.
“Nanggap kesenian Rengganis ini biayanya hampir sama dengan kesenian Janger. Sehingga, masyarakat lebih memilih Janger ketimbang Rengganis,” katanya.
“Alasan mengapa masyarakat lebih memilih kesenian Janger adalah karena pertunjukan Janger telah mengalami beberapa penyesuaian yang relevan dengan zaman sekarang dan mengikuti tren masa kini sehingga masyarakat lebih menyukainya,” imbuhnya.
Dalam menghadapi tantangan ini, DKB dengan pihak Disbudpar terus berusaha mengembalikan minat masyarakat terhadap kesenian Rengganis dengan cara sosialisasi dan juga mendorong para pelaku seni untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Pengakuan Tari Rengganis sebagai bagian dari Warisan Budaya Tak Benda oleh pemerintah Indonesia seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak untuk lebih peduli dan aktif dalam pelestarian budaya. Dengan demikian, atraksi dan nilai sejarah Tari Rengganis dapat terus dinikmati oleh generasi mendatang.(*)
Pewarta | : Syamsul Arifin |
Editor | : Imadudin Muhammad |