TIMES JATIM, PONOROGO – Di balik megahnya arsitektur kayu jati Masjid Jami' Tegalsari yang dibangun oleh Kiai Ageng Muhammad Besari pada abad ke-18, tersimpan khazanah lisan yang masih terjaga. Yakni Syi'ir Ujud-ujudan, sebuah tradisi pembacaan selawat dan puji-pujian khas yang telah menggema di langit Jetis, Ponorogo, selama ratusan tahun.
Bukan sekadar lantunan nada, Syi'ir Ujud-ujudan merupakan perpaduan harmonis antara nilai ketauhidan dan kearifan lokal. Tradisi ini biasanya dikumandangkan pada momen-momen sakral usai waktu salat sebagai sarana muhasabah (introspeksi diri) bagi para jamaah yang hadir di masjid bersejarah tersebut.
Warisan Spiritual yang Tak Lekang Zaman
Keberadaan syi'ir ini tidak bisa dilepaskan dari peran besar Kiai Ageng Muhammad Besari dalam menyebarkan syiar Islam di tanah Jawa. Syi'ir ini disusun sedemikian rupa agar ajaran agama dapat diterima dengan lembut oleh masyarakat tanpa menghilangkan akar budayanya.
Imam Besar Masjid Tegalsari, KH Syamsuddin, menjelaskan bahwa Ujud-ujudan bukan sekadar puji-pujian biasa. Di dalamnya terkandung esensi pengakuan hamba atas keberadaan (wujud) Sang Khalik.
"Syi'ir Ujud-ujudan ini adalah warisan turun-temurun dari para pendahulu kami di Tegalsari. Secara bahasa, 'Ujud' berarti wujud atau eksistensi. Isinya adalah pengakuan akan keagungan Allah SWT dan selawat kepada Baginda Nabi yang disampaikan dengan rima yang khas," tutur KH Syamsuddin saat ditemui di kediamannya.
KH Syamsuddin menambahkan bahwa menjaga tradisi ini adalah bagian dari menjaga identitas Tegalsari sebagai pusat peradaban Islam tertua di Ponorogo. "Kami berkomitmen agar setiap generasi yang datang ke sini tidak hanya melihat bangunan fisiknya yang antik, tapi juga merasakan ruh spiritualitas melalui syi'ir-syi'ir ini," imbuhnya.
Filosofi di Setiap Larik
Secara tekstual, Syi'ir Ujud-ujudan menggunakan bahasa yang lugas namun puitis. Struktur kalimatnya dirancang untuk menenangkan hati sekaligus memberikan penguatan iman. Bagi para peziarah yang sering berkunjung ke kompleks makam Kiai Ageng Muhammad Besari, mendengarkan lantunan syi'ir ini di dalam masjid seringkali memberikan pengalaman spiritual yang mendalam.
Di tengah gempuran modernitas, Masjid Tegalsari tetap teguh menjadikan Ujud-ujudan sebagai bagian dari napas keseharian. Hal ini membuktikan bahwa tradisi pesantren kuno mampu bertahan melintasi zaman selama ada rasa memiliki dari para pemangku kebijakan dan masyarakat sekitarnya.
Keberlanjutan Syi'ir Ujud-ujudan adalah bukti nyata bahwa Islam di nusantara tumbuh subur melalui jalan budaya dan keindahan tutur kata, sebuah warisan berharga yang masih bisa kita nikmati hingga hari ini di bumi Reog Ponorogo. (*)
| Pewarta | : M. Marhaban |
| Editor | : Bambang H Irwanto |